Membaca Sejarah Lewat Suara Penyintas 1965


Judul Buku               : Mengembara dalam Prahara; Dari Wirogunan sampai Plantungan*
Nama Penulis           : Heryani Busono Wiwoho
Penerbit                  : Pustaka Binatama
Kota Terbit               : Semarang
Tahun Terbit             : 2012
Jumlah Halaman       : 204 halaman
Resensator              : Umi Ma'rufah
Heryani Busono Wiwoho adalah salah seorang penyintas korban tragedi 1965. Saat ini beliau menjalani masa senjanya di salah satu sudut Kota Semarang, di rumah peninggalan orangtuanya. Jejaknya pernah hilang antara tahun 1965 hingga 1979 karena ditahan dari penjara ke penjara. Selama 13 tahun ia di penjara tanpa tahu kesalahan dan tuduhan yang tidak berdasar. Hingga kemudian dibebaskan dengan masih menanggung beban perlakuan berbeda sebagai mantan tahanan politik Orde Baru.
Atas desakan anak-anaknya, Bu Heryani akhirnya mau menceritakan pengalaman hidupnya dari mulai kehidupannya di Medan sampai kemudian hidup sebagai mantan tahanan politik. Bukunya yang berjudul Mengembara dalam Prahara, yang ditulisnya pada tahun 2003 merupakan satu catatan penting diantara ribuan catatan lainnya yang mengisahkan tentang pengalaman menjadi korban kekejaman penguasa Orde Baru pasca 1965.
Bukan hanya dirinya, suaminya juga di penjara tanpa proses hukum yang jelas. Ada ribuan bahkan jutaan orang lainnya yang bernasib sama waktu itu, bahkan lebih buruk. Ada yang dibunuh secara sembarangan. Disiksa lalu dibuang di sungai dan hilang tanpa kabar. Sampai saat ini sejarah kelam tersebut masih belum juga mendapatkan haknya agar terjadi keterbukaan informasi serta proses rekonsiliasi oleh pemerintah negara.
Maka melalui bukulah kisah-kisah diluar skema sejarah penguasa dapat membuka wawasan kita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Kisah hidup Bu Heryani patut kita ingat sebagai satu bukti bahwa ada yang salah dengan sejarah yang selama ini kita terima. Bahkan hampir semua yang diceritakan dalam buku-buku pelajaran sekolah juga film G30S-PKI yang selalu diputar pada zaman Orde Baru adalah rekayasa sejarah yang sengaja ditanam mengakar di masyarakat kita agar dipercaya sebagai sebuah kebenaran. 32 tahun adalah waktu yang sangat lama sehingga ingatan mengenai peristiwa 65 akan sangat sulit untuk didekontruksi.
Melalui bukunya ini, Bu Heryani mencoba membuka serta menyampaikan kebenaran yang penting untuk kita ketahui dalam rangka pelurusan sejarah. Adapun kesalahan sejarah yang tercatat dalam ingatan kita diantaranya adalah bahwa GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) melakukan penganiayaan terhadap tujuh jenderal militer dengan menyilet-nyilet dan memotong tubuh para jenderal tersebut sembari menari telanjang. Hal itu dinyatakan dengan jelas oleh Bu heryani sebagai fitnah untuk menjatuhkan Gerwani (hlm. 118).
Salah satu yang menjadi bukti kuatnya ialah ketika bertemu dengan seorang bernama Nurgiyanti, sesama korban tahanan politik di Wirogunan. Diceritakan bahwa Nurgiyanti adalah seorang pelacur yang difitnah sebagai Gerwani lubang buaya. Cerita itu berawal dari saat ia di Magelang ia dibawa oleh seorang PM ke markas mereka. Ia diajak nonton bioskop, dibelikan pakaian baru, dan dijanjikan akan dikawini. Syaratnya Nur harus mau difoto membawa senjata dan harus mengaku bahwa dia adalah gerwani lubang buaya. Dia mau saja demi iming-iming tadi. Celakanya, fitnah itu terus mengalir hingga sekarang. Masyarakat masih beranggapan bahwa Gerwani adalah para perempuan lacur yang tidak memiliki moral. Sungguh kejam.
Melalui buku ini, Bu Heryani menuturkan pengalamannya singgah dari penjara ke penjara. Pertama di Den-POM di daerah Tugu Yogya, Wirogunan, Benteng Bastion Ambarawa, LP Perempuan Bulu, dan terakhir di Plantungan Kendal. Selama 13 tahun ia terpisah dari keluarga, suami, dan keempat orang anaknya. Setelah dibebaskanpun mereka masih mendapat diskriminasi. Terlihat dari dicantumkannya ET dibelakang nama mereka yang artinya Eks-Tapol. Hal itulah yang kemudian berdampak pada sulitnya mencari pekerjaan. Selain itu jika memiliki usaha pribadi mesti mendapat izin usaha dari Kodam dengan proses yang berbelit dan harus selalu diperbarui setiap 2 tahun. Setelah semua dirampas, masih pula mendapat tekanan sedemikian rupa. Padahal mereka toh juga membayar pajak yang sama besarnya.
Kekejaman Belanda Lebih Baik dibanding Orde Baru
Mestinya pembaca bertanya-tanya, bagaimana mungkin kekejaman Belanda yang menjajah Indonesia selama ratusan tahun masih lebih baik daripada apa yang telah dilakukan Soeharto pada masa kekuasaannya, masa Orde Baru? Ini semakin tidak logis jika mengingat bahwa bukankah saat itu Indonesia sudah merdeka? Ya, pertanyaan itulah yang juga hinggap dikepala saya ketika dalam bukunya, Bu Heryani bercerita mengenai perlakuan Belanda ketika hendak memenjarakan ayahnya yang dibandingkan dengan ketika dirinya juga akan ditangkap oleh aparat keamanan pasca tragedi 1965 (hal. 99). Juga ketika membandingkan tindakan pemenjaraan Presiden Soekarno yang dilakukan pasca tragedi 1965 lalu dengan perlakuan Belanda yang juga pernah memenjarakan Soekarno (hal. 166).
Diceritakan dalam buku ini bahwa ketika Bu Heryani kembali dari Blora, di Yogya ia didatangi oleh beberapa orang PM (Polisi-Militer). Ia dibawa ke kantor Den-POM untuk diinterogasi. Karena merasa tidak melakukan kesalahan apapun, Bu Heryani tanpa takut mengikuti perintah itu. Sesampainya disana ia diminta kembali lagi besok untuk mengambil surat jalan. Sayangnya ketika keesokan harinya ia kembali mendatangi kantor Den-POM, bukan surat yang ia dapatkan tapi justru penangkapan dirinya. Ia merasa dibohongi dan diperlakukan tidak adil. Karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya sehingga ia tak sempat melakukan persiapan apapun. Hanya baju yang melekat di tubuhnya yang ia bawa. Petugas sama sekali tidak mengizinkan Bu Heryani untuk mengambil pakaian atau memberi kabar keluarganya yang di Semarang. Sedangkan pada waktu ayahnya ditangkap Belanda pada tahun 1947, Belanda memberi waktu kepada ayahnya untuk mengambil pakaian dan tidak asal tangkap saja.
Lebih ironis lagi, perlakuan Orde Baru terhadap Presiden Soekarno. Beliau di penjara seorang diri, tanpa kawan bicara, tanpa majalah, tanpa buku bacaan. Bahkan ketika sakit, hampir tidak pernah diberikan perawatan medis. Padahal di zaman kolonial, beliau masih bisa membaca Koran, menerima tamu, dan bahkan masih menerima gaji. Kesalahan apa sampai ia diperlakukan sebegitu buruk? Dia sudah berjuang demi kemerdekaan Indonesia sejak umur 16 tahun, apa pantas diperlakukan demikian? Konon kesalahannya ialah karena tidak mau membubarkan PKI. Padahal alasan sesungguhnya adalah mereka ingin menjatuhkan Soekarno. Itulah mengapa Soekarno pernah mengingatkan, bahwa tantangan kita sekarang lebih berat, karena musuh kita adalah bangsa kita sendiri.
Adakah Harapan Rekonsiliasi?
Sampai kini kita terus bertanya, apakah masih mungkin dilakukan rekonsiliasi terhadap para korban tragedi 1965? Rekonsiliasi memerlukan keterbukaan dan pelurusan terhadap sejarah yang dibelokkan. Karena akan sulit melakukan hal itu jika masyarakat masih meyakini bahwa PKI dan Gerwanilah dalang dari peristiwa pemberontakan 30 September 1965 yang pantas ditumpas serta dihabisi keberadaannya. Akan tetapi sulit juga apabila kita menuntut pemerintah agar mau membuka sejarah itu. Karena keterlibatan para elit kita tentu tak menghendaki respon masyarakat apabila terjadi penuntutan. Jangankan kasus 65 yang notabenenya merupakan kasus genosida terbesar kedua setelah Nazi Hitler, kasus penghilangan ataupun pembunuhan terhadap aktivis seperti Thukul dan Munir pada masa Orba saja sampai saat ini belum terungkap jelas siapa dalangnya.
Bagi Bu Heryani, untuk mewujudkan rekonsiliasi, pemerintah seharusnya mencabut TAP MPRS No. XXXIII/1967. Bung Karno serta tapol 1965 harus direhabilitasi. Tidak mungkin rekonsiliasi berjalan seperti yang kita harapkan bilamana kondisi masyarakat masih diskriminatif. Apalagi tindak diskriminasi itu dilakukan oleh Negara terhadap warganya. Riwayat hidup serta harapan yang dibuat Bu Heryani-juga para korban 1965 lainnya- agaknya sampai sekarang masih juga sekedar menjadi harapan. Negara bahkan juga sebagian masyarakat belum bisa secara terbuka untuk memperbaiki catatan sejarah kelam bangsa ini. Harapan hanya ada di ruang-ruang akademis yang harus selalu mau belajar menelisik dan membongkar ulang sejarah agar generasi tidak menderita penyakit yang sama.
*Resensi ini pernah dimuat di ksmwsemarang.com dengan judul Korban 1965; Belasan Tahun di Penjara Tanpa Kesalahan, Logiskah?” pada 16 September 2017

Baca Juga :Revolusi Ekologi