Oleh
Minerva Foundation, KOPRI PMII UIN Walisongo, dan KOHATI HMI UIN Walisongo
Hari/tanggal :
Kamis, 27 September 2018
Waktu :
20.00 – 22.30 WIB
Tempat :
Hall Audit II Lantai II Kampus 3 UIN Walisongo Semarang
Sejumlah mahasiswa kurang lebih 50 orang menghadiri
nobar dan diskusi seputar sejarah 65 yang digelar di Kampus UIN Walisongo. Usai
penayangan film dokumenter “Perempuan yang Tertuduh” diskusipun dimulai.
Moderator membuka diskusi dengan memperkenalkan para narasumber. Yang pertama
Yunantyo Adi S, nama panggilannya Yas, sejarawan dan pegiat sosial Kota
Semarang. Beliau sangat memahami persoalan 65 dan juga aktif mengadvokasi
berbagai masalah, terutama berkenaan pelurusan sejarah dan HAM. Lalu yang kedua
ada Mutiara Ika Pratiwi atau yang akrab disapa Ika, adalah direktur Komite
Nasional Perempuan Mahardhika, NGO yang memang aktif mengkaji dan mengadvokasi
isu-isu seputar perempuan dan HAM. Diskusi dimulai dengan materi pertama
Yunantyo berdasarkan perspektif sejarah.
Pemateri : Yunantyo Adi S.
Materi :
Nasib Perempuan ketika peristiwa G30S.
Terimakasih atas waktunya. Sebagaimana kita
tahu dalam film G30S ada tarian cabul yang dituduhkan kepada Gerwani, dan itu
yang selalu digemborkan media masa waktu itu. Isu bahwa para jenderal meninggal
disilet-silet gerwani, matanya dicungkil, ini kan memicu kemarahan yang sangat
tinggi di masyarakat dan inilah yang kemudian memicu pembunuhan besar-besaran
di berbagai daerah. Ketika itu terjadi, ada banyak analisa disana. Sampai 35
tahun setelah peristiwa, misal di Jatim itu ditengarai berasal dari konflik
sepihak yang kemudian menyulut konflik horisontal. Atau yang lain, ada teori
pra peristiwa pas peristiwa dan pasca peristwia, tapi hampir tidak pernah semua
teori itu menyinggung tentang jenderal dan para perempuan di lubang buaya.
Hampir tidak pernah mengungkap apakah tarian cabul itu benar. Hal itu hampir
dilupakan.
Baru setelah 35 tahun kemudian, Saskia Wieringa, aktivis Gender
Belanda, yang fokus meneliti tentang aspek-aspek perempuan yang dipakai orba
untuk membangun narasinya, untuk membangun rezim yang berdiri diatas kebohongan
cerita tentang perempuan itu dan pembantaian massal yang sepertinya dimulai
dari simbol-simbol perempuan yang dikhianati. Siapa yang tidak marah dengan semua
penyiksaan terhadap jenderal itu. Tetapi setelah itu dilakukan otopsi, hasilnya
disembunyikan.
Akibat kemarahan itu lalu memunculkan
peristiwa pembantaian terhadap gerwani. Padahal ketika terjadi g30s, gerwani
tidak di lubang buaya. Tempat latihan mereka di Cipete, mereka biasa latihan
dwikora. Rencananya pemuda NU juga akan bergabung pada 1 oktober, tetapi pada
30 september terjadi peristiwa itu. Ada orang yang diminta menyiapkan dapur di
dekat lubang buaya itu tapi mereka tidak tahu. Mereka merasa aneh, tapi mereka
tidak mengerti kecurigaaan itu. Baru setelah peristiwa, ternyata ada kegiatan
menyiapkan makanan untuk pasukan g30s dari Jawa Timur Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Siapa yang meyuruh? ternyata ada aktifis pemuda rakyat yang meminta, tapi Cuma
satu yang tahu, lainnya tidak. Saat pembunuhan terjadi merekapun tahu, kemudian
esoknya mereka ditangkap. Propaganda counter wacana terjadi, tapi media
ditutup, sehingga informasi satu arah. Sehingga narasi gerwani sebagai
organisasi cabul masih ada sampai sekarang. Padahal mereka hanya ibu-ibu rumah
tangga biasa yang ikut organisasi.
Pasca itu yang terjadi adalah penyiksaaan. Foto-foto
menari itu bukan pada malam itu, sebelum menari mereka sudah disiksa. Yang
adegan perempuan tandatangan mengaku ketua gerwani adalah seorang pelacur buta
huruf yang dia akan diberi uang apabila mau tandatangan. Diberi 200 rupah dan
akan dilunasi 1 juta rupiah. Ternyata dia tidak dilepas setelah itu, dia
ditahan sampai 1979.
Anda akan banyak mendapat cerita tentang
rekayasa itu melalui buku Penghancuran Gerakan Perempuan, yang meneliti
peristiwa pasca 65. Sebuah arena penghancuran yang dilakukan melalui simbol
perempuan. Lalu kenapa hanya gerwani? Ada juga perempuan pemuda rakyat, ada
BTI, ada istri-istri cakrabirawa, kenapa gerwani? Tampaknya simbol2 seksual ini
betul-betul dimainkan untuk membangun narasi yang arahnya kebiadaban bahwa ada
perempuan biadab terhadap jenderal. Yang diserang juga simbol kejantanan jenderal.
Di Pare ada anggota gerwani dia berangkat
sekolah dan hamil tua, suaminya menjemput naik sepeda, gara-gara pemuda disitu
terpengaruh berita kebohongan itu, suami istri dicegat, suami lalu dihajar.
Perempuannya selain disiksa perutnya dibelah dan bayinya dikeluarkan. Ini
dampak dari simbol-simbol gender yang dimanipulasi yang arahnya adalah
menganiaya simbol-simbol kejantanan juga. Jadi hampir semua perempuan yang
ditangkap itu pasti mengalami penyiksaan dan perkosaan.
Sebenarnya banyak perempuan korban ketika diinterview
selalu mengatakan ‘ada perempuan yang mengalami’ padahal iapun mengalami.
Trauma ini terus berkelanjutan sejak adanya bangunan yang hoax tadi.
Film G30SPKI adalah film paling hoax di Indonesia. Karena Gerwani yang tidak tahu apa-apa tapi dituduh jadi pelaku dan dimonumenkan.Kalau kita menceritakan peristiwa sejarah ini tidak akan ada habisnya. Dulu pernah ada perempuan Jogja dia membuat kesaksian tentang pelecehan seksual yang dialami, dan pelakunya adalah petinggi ugm. Ketika itu dia masih sanggup cerita, setelah pulang ke Indonesia dia mengalami gangguan mental. Sampai sekarang anda tidak bisa menanyai dia lagi karena trauma itu.
Tidak hanya itu, banyak dosen perempuan
dipecati tanpa alasan. Beberapa di ugm sudah direhabilitasi, baru UGM yang lain
belum. Termasuk suami-suami mereka yang juga pendiri fakultas UGM yang dipecat
itu direhabilitasi. Ada orang semarang bu Heryani Busono itu yang suaminya
pendiri fakultas, tapi fotonya di fakultas ndak ada, hanya namanya. Baru 2016
akhir itu direhabilitasi. Di Kendal setiap ada pembantaian massal pasti ada
satu perempuan yang disertakan. Termasuk di Plumbon salah satunya perempuan
pendiri TK Melati. Satu perempuan dan lainnya laki-laki. Mereka Gerwani ini
sebetulnya orang-orang yang cerdas, sehingga mereka banyak memberi keterampilan
di wilayah Plantungan. Mereka agak beruntung karena tidak disiksa seperti di
tempat lain, tapi ada juga yang sampai hamil, terjun ke sungai tapi tertangkap
lagi.
Mungkin nanti bisa kita urai di tanya jawab. Bisa
juga kita perdebatkan film G30SPKI apakah layak ditonton, dan mencari fakta
yang layak diketahui. Karena ada, kita disuruh nonton g30s tapi melarang film
yang lain. Kalau mau adil putar saja semua, karena ini peristiwa yang sangat
besar. Misalnya ada tabrakan mobil dan motor, dan anda tanya, anda bisa dapat
berapa versi dari situ? Pasti akan ada perbedaan. Bisa ada 11 versi dari satu
peristiwa. Lha bagaimana peristiwa 65 ini hanya ada satu versi? Maka bebas saja
masyarakat untuk memutar film apapun. Nah ini yang tidak sehat. Nanti kita
lanjutkan lagi di diskusi.
Pemateri : Mutiara Ika Pratiwi
Materi : Gerwani dan Gerakan Perempuan
Pasca 65
Selamat malam. Menurut tor saya diminta untuk
menyampaikan pengantar tentang gerwani dan gerakan perempuan pasca 65. Saya
apresiasi untuk teman2 yang telah mengorganisir acara ini. Sebab pertama, kita
di era demokrasi yang tengah-tengah begini, menjelang pemilu nasional banyak
yang ingin memanfaatkan kebencian terhadap komunis. Diskusi seperti ini bisa jadi
oase ditengah situasi itu, dan tentu saja berusaha untuk mendalami gerakan
perempuan itu sendiri. Fakta yang disampaikan oleh Mas Yunantyo tadi belum
banyak diketahui masyarakat, tapi yang paling mendalam dari itu adalah
penghancuran gerakan perempuan. Maka menganalisa gerwani itu suatu hal yang
sangat kita butuhkan.
Ketika kita bicara tentang gerwani, ini
penting di tengah hoax yang sangat mendominasi. Kita jadi bisa melihat
bagaimana dinamika proses dan upaya pemberdayaan perempuan waktu itu. Kita
melihat sendiri bahwa saat ini perempuan masih termarginalkan, tetapi ada satu
masa dalam sejarah proses pemberdayaan perempuan ini jadi satu kekuatan yang
sangat berpengaruh dalam revolusi pergerakan nasional. Saya mencoba untuk
memberikan referensi artikel berjudul Kuntilanak Wangi yang ditulis oleh Saskia
Wieringa, seorang Belanda indonesianis yang punya minat terhadap perempuan Indonesia.
Saya suka karena judulnya yang provokatif sekali. Artikel ini mungkin bisa
disebut rangkuman dari buku Penghancuran Gerakan Perempuan. bagaimana Gerwani
tumbuh dan berkembang sebagai organisasi perempuan, referensinya selain artikel
ini ada dua buku lain. Karena memang tidak begitu banyak, jadi sama dengan
referensi yang dipakai mas Yunantyo. Untuk literasi gerakan pasca 65 juga tidak
banyak. Buku mbak yanti muhtar, ini tesisnya ketika dia sakit, ia pendiri
organisasi perempuan juga. Satu dari buku, kedua dari pengalaman. Jadi nanti
ketika bicara gerwani juga merefleksikan upaya yang saya temui ketika membangun
organisasi perempuan.
Gerwani ini dia disepakati jadi organisasi massa
ada dinamikanya, dari bentuknya yang organisasi kader lalu berubah jadi organisasi
massa. Awal terbentuknya Gerwani ini dulu diinisiasi oleh Gerwis (Gerakan Wanita
Istri Sedar) yang dibangun oleh kelompok perempuan yang aktif dalam perjuangan
kemerdekaan. Kalau dibandingkan dengan gerakan perempuan internasional, ini serupa
tapi tak sama, apalagi di negara dunia ketiga. Yang saya pikir positif bahwa organisasi
perempuan yang otonom sejak dulu sudah terbangun. Gerwani itu juga banyak
referensinya dari peremupuan sosialis, seperti Clara Zetkin. Mereka menyebut
diri mereka perempuan yang otonom dan independen sosialis.
Gerwani ini asik
banget kalau dibaca karena sejak awal sudah menunjukkan bagaimana perempuan
punya peran penting untuk perjuangan kemerdekaan. Mereka ingin merangkul
perempuan-perempuan yang belum paham kesetaraan dan feminisme. Ini yang kupikir
menarik. Dan keberpihakan gerwani yang sangat besar terhadap lapisan bawah
seperti buruh tani, bagaimana ia memberikan ruang partisipasi, membuatnya cept
banget akumulasi anggotanya. Gerwani adalah organisasi perempuan terbesar di
asia tenggara, anggotanya mencapai 2 juta orang. Ini beda dengan beberapa
organisasi yang juga berkembang waktu itu.
Merubah bentuk organisasi juga melalui
perdebatan. Itu berarti berpengaruh pada tujuan dan misi organisasi sehingga
mempengaruhi visi misi gerwani. Intinya adalah saya ingin menyampaikan bahwa
asiknya mengamati organisasi gerwani karena dia mencoba mengambil terobosan baru.
Dibandingkan Perwari misalnya, terkait poligami, mengatakan kok gerwani gak
ngritik sukarno sih. Nah itu menjadi kritik bagi gerwani oleh temen-temen yang
punya konten feminis. Dia memberi peluang kepada generasi muda dan semua
elemen. Dulu itu di organisasi kalau dari kalangan atas mudah jadi pimpinan.
Gerwani ini tidak. Misal suaminya punya jabatan tinggi di PKI belum tentu jadi
pimpinan di Gerwani. Ini salah satu terobosan dalam hal partisipasi.
Lalu ideologinya. Yang dikatakan oleh Saskia, Gerwani ini adalah organisasi perempuan yang mencampurkan sosok srikandi dengan ibu rumah tangga. Ini yang membedakannya dengan organisasi perempuan internasional.Mereka akan bertanya organisasi feminis kok mendasarkan ideologinya pada ibu, bukankah feminis menolak kodrat perempuan. Ini fenomena yang menarik untuk dikaji. Ideologi gerwani adalah ibu militan. Perempuan berjuang tapi tidak melupakan peran utama sebagai ibu. Lalu perkembangannya ketika gerwani mendorong ikut perjuangan kemerdekaan nasional, pasti ada kontradiksi dengan rumah ketika perempuan harus rapat, baca tulis, dan angkat senjata. Proses ini yang menarik. Inilah kontradiksi dalam makna yang postif. Gerwani ada kebijakan pembagian kerja dalam rumah tangga. Tentunya ini tidak kemudian hal yang tanpa perdebatan dan pertarungan.
Gerakan perempuan tahun 50 sampai 64
ekskalasinya menarik. Apabila tidak ada penghancuran di tahun 65 Indonesia
pasti punya budaya yang baru. Seperti Perancis, tahun 1968 dimana pemuda zaman
itu selalu memunculkan sebuah budaya baru. Indonesia mengalami titik kelam
dalam 65.
Tentu dipengaruhi situasi internasional, perang dingin, blok barat
dan timur, namun yang mau diangkat pada malam ini adalah titik baliknya. Untuk
membuat perempuan maju, berdaya, dan keluar rumah, itu terhenti pada 65. Yang
mau saya sampaikan adalah apa yang tadi mas yas bilang bukti-bukti yang dialami
gerwani, kenapa beritayuda pada bulan oktober 65 mengutamakan berita penyiletan oleh
perempuan gerwani itu untuk membuat orang benci komunisme dengan memakai simbol
perempuan.
Ada kelompok dengan kepentingan menghancurkan Sukarno
dan kelompok anti komunisme, mereka ketemu dengan masyarakat konservatif yang menganggap ideologi perempuan yang aktif
bicara sebagai perempuan binal. Orba mempersatukan kelompok ini untuk membangun
kebencian terhadap suatu ideologi tertentu. Orba sangat serius dengan ini. Salah
satu buktinya organisasi perempuan yang dibangun Orba membalikkan perempuan
yang militan dengan perempuan patuh. Misalnya darmawanita, organisasi para
istri. Itu struktur istri mengacu struktur suami suami. Misal istri Gubernur
jateng maka istrinya adalah ketua PKK. Ini kan sebenarnya bertolak belakang
sekali dari sebelum masa orba. Kadang orang bertanya, masak orba gitu. Soalnya
tingkat partisipasi perempuan lebih banyak waktu Orba ketimbang zaman SBY atau Jokowi.
Menteri perempuan udah ada, organisasi perempuan ada. Ini menjadi propaganda
balik.
Nah kita harus lihat bagaimana politik gender
yang dibawa oleh Orba. Ada pengaruh-pengaruh
dari internasional bagaimana Orba harus membuka ruang bagi demokrasi, tapi
tetap menghambat ideologi komunisme, ini tidak hanya di Indonesia tapi juga di Internasional.
Kalau Soeharto terlalu otoriter ini akan bahaya untuk proses liberalisasi maka dia
harus distabilkan agar tidak menekan radikalisasi, untuk itulah diberi
ruang-ruang untuk perempuan dan bagaimana perempuan juga jadi target pembangunan.
Jadi untuk melihat politik representasi perempuan zaman Orba tidak bermakna
pembebasan perempuan. itu adalah ilusi.
Ini berpengaruh pada organ perempuan pasca Orba.
Pasca 65 tumbuh organ LSM dengan konsep pembangunan yang dibawa oleh negara
imperialis. Inilah yang membangun karakter organ perempuan di zaman Orba. Ada
yang memilih jalur radikal, menolak pembangunan karena sejatinya menolak
pembebasan perempuan. Dimana dia dikasih modal ekonomi tapi jadi korban KDRT.
Ini yang coba diatasi kelompok perempuan Orba waktu itu. Ada yang semakin
tunduk pada pembangunaisme ada juga yang keluar dan radikal. Pada 98 ketemu
momentum, dimana elit berseteru, situasi internasional krisis keuangan dan
desakan gerakan massa rakyat, buruh tani, mahasiswa, dan yang pasti perempuan.
Yang pertama mengkritik Soeharto adalah perempuan, melalui isu kenaikan harga
susu dan pangan yang dibawa oleh koalisi ibu peduli, namun hal ini yang sering
dilupakan. Organisasi perempuan pasca 65 tidak mati,
hingga akhrinya berani bersama memunculkan isu tuntutan terhadap militer dan Orba.
Itu pengantarnya dan semoga lebih kaya dengan diskusi.
Sesi Interaktif
Peserta: Kita ini
terlalu banyak membaca aktifis barat, padahal Indonesia lebih menarik.
Kebanyakan penulis laki-laki, sehingga orang mau menyebutkan perempuan hebat
sulit. Saya teringat, aktivis ham amerika, susan, dia mau sekolah tapi tidak boleh
pada tahun 18 sekian. Dia bingung kok jadi guru honornya perempuan lebih
rendah. Akhirnya dia berontak. Lalu dia ketemu dengan temannya elizabet dan
membuat kelompok perempuan, lalu banyak massa. Lalu pertanyaannya, Gerwani kan
organisasi hebat punya peran di kemerdekaan, apakah Gerwani diberi penghargaan
dari indonesia?
Ika: Saya kira
jelas dari film bahwa mereka masih berstigma sebagai perempuan yang amoral dan
menyalahi kodrat, jadi sangat jauh dari penghargaan. Walau begitu mereka tidak
menunggu. Bu Utari misalnya, saat ini sama temen2 membuat grup dialita (diatas
50 tahun). Kehidupan mereka ketika di penjara itu sepi, dan untuk mengisi itu
mereka bernyanyi. Tidak ditulis di kertas, tapi di ingatan. Pasca 98 semakin
sering bisa ketemu. Saya pernah menghadiri konser mereka. Dari situlah mencoba
mengapresiasi proses diri sendiri. Kalau nuntut sama pemerintah sudah sangat
tidak mungkin. Jokowi aja oke ngangkat isu munir atau marsinah, tapi tidak
terealisasi. Teman-teman ini berdaya dengan menulis kembali kenangan mereka.
Selain juga bertahan seperti itu, mereka juga mengandalkan pengadilan
internasional.
Yas: Sebetulnya
kalau kita lihat militansi gerakan perempuan itu memang paling afdhol jaman
kolonial sampai orde lama. Orba ada tapi dikendalikan oleh istri-istri tentara.
Kalau posisi sekarang para aktivis jaman orba, sepanjang dulu ada pendukung
bung karno, dihabisi juga. Jadi korbannya bukan hanya gerwani. Bung karno juga
dihabisi dnegan adanya Tap MPR, dan dituduh seolah mendukung G30S dan
macem-macem. Dia juga terguling gara-gara isu gerwani, karena ada fitnah bahwa
kenapa Soekarno tidak diserang ketika terjadi penangkapan para Jenderal. Ini
yang menggulingkan sukarno dan stigma itu yang sampai sekarang masih ada.
Gerwani paling sulit dihilangkan dari stigma itu. Karena sudah terlanjur
diterima berpuluh tahun, sehingga kalau dikasih narasi lain, dia masih terseret
oleh narasi Orba. Sehingga kalau kita masih membayangkan tokoh jaman lalu
diberi penghargaan, pemerintah mungkin tidak, tapi masyarakat mungkin, kita
masyarakat sipil. Pram kan juga dihargai sebab karyanya. Sejak penggulingaan Soekarno
itu, stigma terhadap Gerwani yang masih hidup tetap ada. Tapi anugerah dari masyarakat
itu bisa diupayakan. Dialita banyak diterima publik dan jadi populer. Bu Suwarni
misalnya itu juga mendapat tempat terlepas dia distigma. Bu Heryani juga
mendapat penghargaan oleh UGM, dan dipulihkan namanya.
Ruang-ruang itu masih
terbuka sepanjang itu secara pelan. Mungkin tidak grombolan, sedikit-sedikit masih
bisa. Kalau langsung serangannya hebat juga. Contohnya pak Rusdi, ia termasuk Pemuda
Pancasila Sulawesi Tengah jadi Walikota Palu dia lalu merehabilitasi korban 65.
Bahkan dia membuat APBD untuk korban 65. Tahun 2012 itu direhabilitasi. Kalau
diangkat ke nasional, akan polemik. Karena sebagian alat negara tidak terima,
misal yang di Palu itu jadi isu nasional rame pasti, karena ada yang tidak
terima. Itu keunikan peristiwa 65 disitu. Seharusnya orang bersalah kan
disidang dulu, ini ndak. Ini yang kemudian menjadi masalah, karena banyak yang
tidak tahu apa-apa diciduk, dibunuh, dan disiksa. 9 jenis penyiksaan masuk
semua di 65, dan itu orang-orang yang tidak ngerti apa yang terjadi di lubang buaya.
Ada pihak-pihak yang merawat stigma, karena tidak mau disalahkan, dan untuk
memelihara kekuasaan. Untuk merehabilitasi diangkat nasional mungkin problem,
kalau lokal ada peluang.
Peserta: saya mau
tanya, ketika berbicara gerwani saya langsung berpikiran gender dan feminisme,
apakah gerakan wanita masih relevan? Dulu tidak hanya perempuan tapi nasional
jadi banyak anggotanya. Saya baca buku Sukarno, dia kurang setuju dengan Gerwani
karena takut ada faktor dari luar, dan mudah memecahbelah kekuatan laki-laki
dan perempuan. lalu bagaimana soal ini? Kedua, terkait PKI, Muso itu kan
berbeda pendapat dengan Tan Malaka, Sukarno juga, nah kalau Gerwani lebih ke
Muso. Apakah ini benar? atau ini hanya trik Soeharto untuk menghancurkan
Gerwani?
Peserta: Kaitan
organisasi lain seperti IPPI dan PR dengan gerwani ini bagaimana? Kenapa bisa
jadi korban juga? dan bagaimana kita mewariskan semangat Gerwani saat ini?
Ika: Yang menarik
menjadi gerwani adalah ketika mereka mengorganisir masyarakat desa itu, isu yang
diangkat seputar poligami, hak waris, akses tanah, perdagangan anak dan
perempuan, pelacuran, pemberantasan buta huruf, ini menjadikan organisasi
perempuan besar. Pada 1920an sampai 1960 ada 6 kali kongres perempuan Indonesia
dari berbagai daerah dan latar belakang serta ideologi. Perdebatan terjadi,
tapi tidak menghilangkan perjuangan bersama, seperti penghapusan buta huruf dan
kemerdekaan Indonesia. Itu satu warisan yang bisa kita pelajari, ini bagaimana
perempuan bisa aktif. Di garmen saya sering mengahadapi pertanyaan itu, bagaimana
perempuan bisa aktif, saran saya adalah kita harus merubah kacamata keaktifan, karena
sebenarnya perempuan itu aktif banget. Pagi ngurus rumah siang bekerja dan
sebagainya. Sebagai pengurus organisasi sebaiknya juga melihat bagaimana peran
perempuan ini. Lalu juga perlu melibatkan perempuan dalam pendidikan, kita
sering mefasilitasi pengasuhan anak agar ibu-ibu bisa belajar.
Kedua militansi, pada perjuangan kemerdekaan perempuan
menjadi kurir, menyembunyikan informasi di tubuhnya, juga jadi perawat dan
dapur umum. Setelah kemerdekaan, banyak roda pembangunan ekonomi juga
digerakkan perempuan. Bahkan mengunjungi daerah untuk mengorganisir dengan jalan
kaki, ada orang Jawa mengorganisir di Batak. Ini testimoni langsung dari para
organizer perempuan waktu itu yang dilakukan oleh Saskia. Yang menjadikannya
besar bukan karena dekat dengan PKI atau Soekarno tapi pengorganisiran yang
luar biasa. Maka yang perlu kita pelajari itu metodenya. Termasuk pertanyaan tadi
tentang pendapat Soekarno, justru dia ikut menguri-uri, adanya Sarinah dan
mengkampanyekan Clara Zektin supaya jadi acuan bacaan. Tapi memang satu yang
menjadi kontradiksi, ketakutan organ perempuan akan menentang laki-laki, baik
masa Gerwani maupun masa Orba. Itu riil. Hebatnya perempuan waktu itu tidak
hanya menunjukan dengan ucapan tapi juga tindakan. Mereka membuktikan diri perempuan
punya kepentingan yang sama.
Intinya adalah bagi para pimpinan laki-laki
termasuk Soekarno isu perempuan harus disubordinasikan jangan jadi utama. Dulu
kan yang digadang-gadang sosialisme, kalau sudah sosialis maka wacana perempuan
akan terselesaikan. Itu yang ditekankan dulu. Ini yang dalam realita tidak bisa
dibuktikan teori otomatisasi itu, istilah saya. Isu ini terus ada dan akan
terus dihadapi. Tapi jagnan takut, kita harus menjelaskan bagaimana hal itu
tidak bisa dilihat secara otomatis. Terkait PKI itu rumit banget. Itu kan ada
lapisannya, pada lapisan tertentu kadang tidak diketahui siapa kepala komite
sentralnya. Jadi masih abu-abu saya tidak bisa memberikan keterangan yang lebih
jelas terkait internal PKI.
Yas: Saat Gerwani
berdiri Tan dan Muso sudah mati. Gerwani mulai rintisan pada 50 keatas, mungkin
dihubungkan. Tapi bicara gerakan perempuan tidak peduli ideologi Tan atau Muso,
termasuk Soekarno. Soekarno sama sekali tidak ada sifat anti. Ia juga konflik
dengan PKI tapi tidak menolak PKI. Gus sholah pernah ditanya kenapa Bung Karno
tidak mau membubarkan PKI? Jawabnya hanya Bung Karno yang tahu. Karena sering
dikaitkan dengan PKI mungkin juga dikaitkan dengan pemikiran muso dan tan. Bung
hatta dan bung karno juga sering konflik. Tapi bukan berarti menolak. Cuman
peristiwa gerwani itu kan dimulai dari peristiwa lubang buaya yang
dibesar-besarkan. Ibarat Pak Harto
pengen mematikan nyamuk di rumah, rumahnya di bom. Sukarno kan tidak begitu.
Kalau gerwani dihubungkan Muso itu bagian dari
propaganda. Yang dekat dengan Muso itu justru pak harto sendiri, ketika ada
konflik di Madiun. Makanya pasca 65 diantara orang yang selamat itu Sumarsono
karena dekat dengan Harto. Harto itu lihai improvisasi. Ia tahu soal g30s, Latif
bilang mau nyulik jenderal, dia diam tidak melapor. Konteks tindak pidana dia
terlibat. Dia juga harus disidang dalam mahmilub. Semua pelaku G30S itu dekat
dengan Soeharto. Jadi peristiwa ini membingungkan. Bahwa pimpinan PKI terlibat
iya, tapi kadarnya seperti apa kurang jelas. Apakah aidit dimanfaatkan atau cuma
mendukung itu juga kurang jelas, tapi semua pimpinan PKI yang lain itu tidak
tahu. Kalau yang bersalah aidit seharusnya hanya aidit yang diadili. Nah
rekonsiliasi dilakukan Gusdur waktu jadi presiden dan ketua PBNU. Banyak orang
mulai rekonsliasi, maka saya heran orang seperti Gatot Nurmantyo masih saja
memanas-manasi isu PKI. Ini kan problem. Mari kita belajar pada forum
silaturahmi anak bangsa, tujuannya utk rekonsiliasi dan rehabilitasi.
Noted by : Umi Ma’rufah