Sehimpun Reportase yang Mencerahkan


Judul : Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam ; Sehimpun Reportase
Pengarang : Rusdi Mathari
Penerbit : Mojok
Cetakan : pertama, Juli 2018
Jumlah Halaman : vii + 215 halaman
ISBN : 978-602-1318-63-8
Resensator : Syamsuddin Nur Majid

“emok ngetong jhelena ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamacok” (mereka sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam)
Rusdi Mathari
 
Cak Rusdi, panggilan akrab wartawan senior Rusdi Mathari, pria kelahiran Situbondo Jawa Timur. Ia aktif berkecimpung di dunia jurnalistik sejak 1990 sampai napas terakhir, tepatnya 2 maret 2018. Sebuah perjalanan panjang dan penuh warna untuk mengabdi pada kebenaran yang kemudian ia tuangkan dalam sehimpun reportase “Mereka sibuk menghitung langkah ayam”.

Sehimpun reportase ini merupakan tulisan Cak Rusdi dalam rentang tahun 2007-2014. Terdiri atas 19 naskah dan terbagi menjadi 2 BAB dengan topik bahasan tematik. Khas bahasa yang lugas, menggelitik, dan vulgar tersaji dalam semua tulisannya.

Hasil reportase yang ditulis dalam bahasa cerita membuat pembaca larut dalam alur tulisan. Cak Rusdi mampu membeberkan fakta lain yang tidak diketahui orang awam maupun media konvensional lain. Penyajian data dan narasumber secara orisinal dan komplit menambah poin plus untuk buku ini.

Demokrasi dan HAM

Pergulatan Cak Rusdi dalam isu kemanusiaan dan HAM tertuang jelas dalam beberapa tulisannya. Soal ODHA (Orang dengan HIV & AIDS) misalnya, bahwa mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Mereka tidak boleh dikucilkan dan diskriminasi.

Cak Rusdi bercerita kisah seorang ibu dan anak,  Nuel dan Yanti namanya, yang harus mengidap AIDS karena “korban keadaan” sehingga ia harus menanggung sanksi sosial di masyarakat. Anak berumur 3 tahun divonis positif AIDS akibat infeksi genetis dari orang tuanya yang pengidap AIDS. Hingga kekebalan tubuhnya rentan dan ia harus menghela napas terakhir (h. 4).

Kemudian dalam reportase kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, Cak Rusdi mengulas momen yang terjadi saat di pengadilan bersama Usman Hamid yang saat itu menjadi Koordinator Komite KontraS. 

Dia menceritakan tahap demi tahap kasus pembunuhan munir sekaligus membeberkan bahwa hukum di Indonesia masih memihak pada kepentingan. Ia juga memperjelas bahwa negara menjadi  alat untuk memusnahkan orang-orang yang menyuarakan kebenaran, seperti Munir (hlm. 35).

Lain halnya dalam kasus sodomi di sebuah sekolah bertaraf internasional JIS. Cak Rusdi mengulas perspektif kritis dalam kasus tersebut. Dia mempertanyakan apakah benar sorang pegawai kebersihan berani melakukan tindakan menjijikan terhadap anak di bawah umur yang notabene kelas menengah ke atas? Tentunya tidak mungkin. Kasus pelecehan seksual terhadap seorang anak TK  di JIS menyimpan kisah lain yang memedihkan. Kisah dari orang-orang yang tidak berdaya, yang terlanjur dianggap sebagai pelaku sodomi (h. 47).

Tentang Idealisme

Idealisme Cak Rusdi juga tertuang dalam reportase yang dilakukannya. Ia pernah dilobi untuk membuka semua aib dan kasus seorang mantan ketua KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Nasiruddin Zulkarnanen, petinggi RNI (Rajawali Nusantara Indonesia), sebuah perusahan besar yang bergerak dalam bidang agro industri, farmasi, dan alat kesehatan.

Ia ditawari akan diberi semua yang diminta dengan catatan harus membuka semua aib dan kasus Antasari Azhar. Namun dia menolak. Baginya, profesi wartawan dengan banyak informasi yang didapatkan tidak bisa ditukar dengan apapun. Sebuah idealisme yang patut dicontoh bagi semua wartawan.

Drama kasus Antasari Azhar tidak sekedar tentang pembunuhan yang mengakibatkan mantan ketua KPK tersebut dinyatakan sebagi tersangka dan mendekam selama 12 tahun di penjara. Sebelum menerima grasi dari presiden Joko Widodo pada awal tahun 2017, Antasari Azhar dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.

Cak Rusdi mengungkapkan adanya konspirasi kasus  maha dahsyat terkait kebobrokan KPU dalam pengadaan alat berupa ICR (Intelligent Character Recognition) pemilu 2009. Dia menyebutkan adanya Red Herring atau pengalihan isu yang membuat Antasari merasa dijebak dalam kasus itu. Akhirnya, setelah dibebaskan awal 2017, Antasari bersama keluarga Nasirudin Zulkarnaen menuntut keadilan atas kejadian tersebut. 

Kasus lain yang menarik adalah liputan Cak Rusdi tentang ekspansi kelapa sawit di hutan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dia melakukan reportase bersama 4 kawannya untuk mengulas dampak sawit terhadap hutan dan sawah warga. Selama 2 tahun Cak Rusdi melakukan reportase banyak kisah yang dialami, mulai dari didatangi preman perusahaan hingga kekerasan fisik.

Berawal dari kejayaan illegal logging yang terjadi di Badau, salah satu kecamatan di Provinsi Kalimantan Barat hingga akhirnya menjadi kelapa sawit pada awal 2010 hingga sekarang. Peristiwa panjang tersebut dikorek Cak Rusdi dalam tulisannya. Setelah hutang ditebangi, dan wilayah hutan gundul, investor kelapa sawit mulai tertarik untuk tanam saham sektor sawit. PT. Sinar Mas Agro Resources & Technology (Smart) adalah perusahaan pertama yang melakukan ekspansi kelapa sawit di daerah tersebut. Perusahaan ini hingga 2014 mengembangkan lahan sawit seluas 160 ribu hektare.

Kehadiran perkebunan-perkebunan kelapa sawit tersebut lantas memicu pro-kontra di kalangan penduduk. Masalah status hutan, pola pembagian lahan, sosialisasi hingga isu lingkungan mencuat di permukaan. Pola pembagian lahan 80:20 ditawarkan perusahaan ditolak oleh masyarakat karena dianggap merugikan.

Selain itu, dampak lingkungan akibat limbah pupuk kelapa sawit yang mengalir hingga danau Santarum dapat mematikan ikan air tawar yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Padahal lahan masyarakat telah diserahkan semua ke perusahaan, yang tersisa adalah hutan lindung dan hutan adat. 

Selanjutnya, reportase pembakaran rumah penduduk penganut syiah di Sampang Madura. Ini merupakan karya penting selama hidup Cak Rusdi. Dia memaparkan secara mendalam akar permasalahan konflik tersebut. Bahwa yang terjadi kasus tersebut hanyalah sekedar salah paham dan konflik persaudaraan antara Rois dan Tajul yang berkembang menjadi isu agama dan kepercayaan. Motif yang paling dominan adalah soal iri dengan jumlah jamaah pengajian kedua pemuka agama tersebut.

Bermula dari Pilkada lalu muncul konflik sara. Mulai dari Bupati Sampang dituding telah melecehkan NU, sehingga setiap harinya disibukkan oleh unjuk rasa yang mengatasnamakan NU (h. 202). Isu yang berkembang di masyarakat tentang NU dengan Non- NU mencuat.

Tambah lagi, isu kiai yang hanya memihak kepada orang kaya. Seperti saat maulid Nabi Muhammad SAW, kiai lebih memlih menghadiri undangan orang kaya daripada orang miskin.
Semua itu, bagi Cak Rusdi seperti yang dikatakan dalam bahasa Madura “emok ngetong jhelena ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamacok” atau mereka sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam. 

Sebagai seorang jurnalis, Cak Rusdi menyajikan data secara seimbang. Sehingga mengarahkan kepada pembaca untuk merumuskan sendiri simpulan tulisannya. Pemilihan diksi judul dengan analogi dan berupa pertanyaan membuat pembaca diarahkan untuk membaca tulisan ini sampai tuntas. Jadi, meskipun mungkin bagi pembaca awal akan sedikit kebingungan dengan analogi-analogi yang tersaji di tulisan Cak Rusdi, semoga tidak mengurangi minat untuk membaca buku ini sampai selesai.