Bukan Sekadar Astrofisika

Judul : Astrofisika untuk Orang Sibuk
Penulis : Neil de Grasse Tyson
Penerjemah : Zia Anshor
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2018
Jumlah Halaman : xi + 146 halaman
ISBN : 978-602-06-1632-2
Peresensi : Joko Priyono

Kehadiran buku berjudul Astrofisika untuk Orang Sibuk semakin menambah perkara mendasar dalam khasanah keilmuan—sains populer di Indonesia. Sebab apa? Tak bisa ditampik  bahwasannya buku-buku sains populer yang ada di pasaran kita, kebanyakan dari penulis luar.

Sedangkan akademisi maupun intelektual asli Indonesia yang memiliki fokus pada sains populer masih sangat begitu sedikit. Mafhum, kita semakin populer dengan berbagai karya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, diantaranya: Stephen Hawking, Carl Sagan, Carlo Rovelli, Jared
Diamond, Yual Novan Harari, Richard Dawkins, Mat Ridley hingga Neil deGrasse Tyson itu sendiri.

Tidak mengherankan ketika penulis cum pustakawan, Muhidin M. Dahlan dalam bukunya berjudul Inilah Esai (Iboekoe, 2016)—sedikit menjelaskan hal-ihwal sains populer yang ada di Indonesia. Beberapa orang terkemuka yang kiranya menjadi harapan akan sains populer adalah Andi Hakim Nasution, Karlina Supelli Leksono, Nirwan Ahmad Arsuka, Sudjoko serta Liek Wilardjo.

Meskipun demikian, kita masih terus berharap lahirnya ilmuwan yang menaruh perhatian pada ilmu populer tentunya, terutama kepada perguruan tinggi yang membuka program studi untuk pengembangan sains—matematika, fisika, biologi, kimia hingga astronomi.

Judul asli buku tersebut adalah Asthrophysics for People in Hurry yang kemudian setelah diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Astrofisika untuk Orang Sibuk. Melihat judul buku tersebut, kesan pertama para (calon) pembaca mungkin: penasaran dan bahkan jengkel atas penggunaan frasa orang sibuk yang dikesankan tidak mungkin menaruh perhatian pada dunia astrofisika.

Namun, begitulah kenyataan yang seringkali ditemui akan perspektif orang terhadap dunia sains. Dunia sains terkadang dianggap sebagai hal yang kompleks, rumit, berjubel persamaan matematika dan terkesan njlimet dan memuakkan.

Melalui argumen yang disampaikan dalam prakatanya, “Di buku tipis ini, Anda akan mendapat pemahaman dasar atas segala gagasan dan penemuan besar yang mendukung pemahaman modern kita atas alam semesta” (hlm. xii), seolah Neil ingin menampik segala persepsi tersebut. Ia berusaha untuk memberikan tawaran baru yang berkaitan dengan pengetahuan ihwal alam semesta dengan berbagai komponen yang ada.

Perlu diketahui, sebanyak dua belas judul esai yang termaktub dalam buku tersebut ditulis oleh Neil dalam kurun waktu mulai tahun 1997 hingga 2007.

Astrofisika itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari bidang keilmuan fisika. Ia berbicara mengenai jagat raya seperti: planet, bintang, galaksi, dan medium antar-bintang serta interaksi yang terjadi.

Tak bisa dipungkiri memang, semenjak kelahiran fisika yang kemudian mengalami perkembangan pesat, fisika terbagi ke dalam beberapa cabang keilmuan yang notabenenya spesifik terhadap objek kajian yang ada di alam. Konsepsi dalam pembahasan terkait alam semesta, manusia di muka bumi kemudian mengenal istilah Big Bang atau Ledakan Besar.

Dalam khasanah keilmuan fisika, Sir Isaac Newton dengan gagasannya berupa hukum gravitasi universal menjadi tokoh awal dalam kelahiran ilmu fisika. Ia merupakan bapak ilmu fisika. Gagasan terkait hukum gravitasi universal termaktub dalam mahakaryanya berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1687). Ia, pada akhirnya merupakan sosok yang mendapatkan julukan sebagai “Bapak Ilmu Fisika”.

Gagasan itu juga lah yang menjadi landasan perkembangan fisika klasik hingga tahun 1901, sebelum kehadiran mekanika kuantum—yang ditandai dengan lahirnya gagasan dari Max Planck, bapak mekanika kuantum, berupa energi dari cahaya terbagi menjadi ke dalam berapa paket yang disebut dengan kuanta.

Mekanika kuantum berkembang hingga tahun 1920-an, di mana telah menyediakan penjelasan modern untuk segala yang kecil: molekul, atom, dan zarah (particles) subatomik.

“Namun kedua pemahaman atas alam itu secara formal tak saling cocok, sehingga para ahli fisika berlomba menyatukan teori tentang yang kecil dan teori tentang yang besar menjadi satu teori gravitasi kuantum yang koheren” (hlm. 2). 

Gagasan revolusioner yang pernah lahir kaitannya dengan hal tersebut adalah teori relativitas yang dicetuskan oleh oleh Albert Einstein, sosok yang terkenal pemalas saat di masa sekolah, melalui dua fase yaitu relativitas khusus (1905) dan relativitas umum (1915). Bersamaan itu juga, kosmologi semakin berkembang di kalangan para ilmuwan.

Kehadiran Albert Einstein dengan gagasan tersebut kemudian menjadi titik balik dalam perkembangan dunia sains, tak terkecuali fisika. Tak ayal, ia kerap kali disebut sebagai sosok tonggak lahirnya Big Science. Kemudian lahirlah banyak ilmuwan dengan berbagai teori untuk membahas keseluruhan alam semesta beserta agihan-agihan data yang ada.

Meski demikian, ada satu hal yang perlu diketahui dari sosok tersebut yakni terkait kesalahan terbesar yang pernah dilakukan hingga kemudian hari, ia pun mengakuinya. “Tak diragukan lagi, kesalahan terbesar Einstein adalah menyatakan lambda sebagai kesalahan terbesarnya” (hlm. 69).

Gaya mendasar yang bekerja pada alam semesta terdiri dari empat hal, yakni masing-masing adalah:
gaya gravitasi, gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, dan gaya nuklir kuat. Masing-masing dari gaya tersebut memiliki tingkatan energi yang berbeda-beda.

Perlu diketahui, data dari para kosmolog terkait mengenai agihan materi-energi dalam skala besar pernah disampaikan oleh ahli astronomi, Karlina Supelli dalam esai panjangnya berjudul Ciri Antropologis Pengetahuan (2010), bahwasannya 5% kandungan alam semesta adalah materi-energi konvensional yang diketahui dan dapat diamati melalui berbagai panjang-gelombang, 23% adalah materi gelap dingin (cold dark matter) alias dugaan-dugaan yang dapat diprediksi dan mulai mendapat topangan bukti pendukung meski wujud konkretnya masih belum diketahui, sementara 72% adalah energi gelap (dark energy).

‘Energi gelap’ itu nyata, sebagaimana dijelaskan juga oleh Neil dalam esainya yang berjudul Energi Gelap. Banyak teori dari berbagai kelompok ilmuwan yang membahas mengenai energi gelap. Baik berupa penelitian maupun asumsi-asumsi yang menyertainya.

“Sedekat-dekatnya perkiraan adalah anggapan bahwa energi gelap merupakan efek kuantum—bahwa ruang hampa, bukannya kosong, sebenarnya penuh zarah dan antizat pasangannya. Semuanya muncul dan hilang berpasangan, dan tak bertahan cukup lama sampai diukur” (hlm. 68-69).

Astrofisika kemudian menjadi sebuah keilmuan yang menyatakan pada aras alam semesta. Kita akan tahu bahwasannya alam semesta yang dalam kelahiran itu bermula adanya sebuah kekacauan (chaos), lambat laun dengan bertambahnya waktu menuju pada kondisi teratur maupun harmonis (cosmos). 

Tak bisa ditampik, ia pun laik dijadikan kerangka kosmik dalam tiap individu manusia dalam melihat setiap sudut pandang kosmik yang ada. Orang diajak berimajinasi maupun melakukan perjalanan kosmik pada bentang luasan alam semesta ini.

Hingga kemudian, pada akhirnya kita yang mungkin menjadi bagian orang sibuk diingatkan oleh Neil, “Sains bukan hanya soal melihat, melainkan juga mengukur, kalau bisa dengan sesuatu yang bukan mata kita sendiri, yang terbebani otak kita. Beban itu sering kali berupa sekarung prasangka, gagasan, dan bias” (hlm. 53-54).

Melalui pernyatan tersebut, seakan Neil mengajak pembaca untuk refleksi menuju pada sebuah kesadaran ilmiah—bahwasannya aktivitas sains tidak berhenti begitu saja. Namun, melainkan dari itu, ia akan terus tumbuh dan berkembang melalui daya pikir yang ilmiah, rasional, dan penjelajahan terhadap fenomena yang ada pada luasan alam semesta ini.