Catatan Terakhir Cak Rusdi

Judul Buku : Seperti Roda Berputar; Catatan di Rumah Sakit
Pengarang : Rusdi Mathari
Penerbit : Mojok
Cetakan : Pertama, Juli 2018
Jumlah Halaman : viii + 78 halaman
Peresensi : Syamsuddin Nur Majid

Jangan pernah sakit.Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal. 

Adalah pesan terakhir Cak Rusdi dalam buku “Seperti Roda Berputar; Catatan di Rumah Sakit” yang juga karya terakhir beliau selama menyelami perjalanan hidup. Sebelum beliau benar-benar pergi ke hadapan yang kuasa pada suatu pagi yang khidmat, saat sang anak (Voja) dan bapak (Rusdi) saling bersitatap, saling memegang tangan.

Ya, tepat 8 maret 2018 Cak Rusdi tidak ada napas, Cak Rusdi telah berpulang. Sebagai penulis, gerak dan laku-nya tak bisa lepas dari menulis-walaupun dalam kondisi dan situasi apapun.
Ketikan terakhir Rusdi Mathari dalam buku ini,

Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup. Menulis adalah pekerjaan saya. Karena itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipus hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik. 

Lebih seperti novel yang belum tuntas, buku ini menceritakan pengalaman Cak Rusdi  ketika opname di rumah sakit. Sejak pertama kali yang dialaminya ketika masih muda, tifus akut yang mengantarkan Cak Rusdi ke rumah sakit, hingga yang terakhir, tumor yang rajin menggerogoti leher dan punggungya (Hlm. 3).

Diagnosa dokter soal tumor yang menyerangnya tentu membuat shock, terlebih sebelumya Cak Rusdi merasa selalu hidup sehat. Rajin berolahraga, selalu fit, dan nyaris tak pernah sakit. Apalagi sebagai jurnalis, loncat kesana-kemari adalah rutinitas sehari-hari. Selalu tegar dan penuh semangat adalah keharusan. Namun, ketika penyakit datang dan menyergap dan memaksa kita dirawat, apa pilihan kita?

“Semua berawal dari rasa nyeri di punggung bagian tengah yang menghantam di awal 2016. Saya menduga syarat terjepit, namun ada benjolan yang terakhir diketahui istri saya semakin kesini semakin membesar” kata Cak Rusdi saat mengetahui tumor telah bersarang dan menggerogoti tubunhya. Akhirnya, langkah medis ditempuh untuk mengobati penyakit itu. Mulai dari konsultasi ke Dokter Ortopedi, hingga akhirnya harus di bedah dan operasi. (Hlm. 13)

Soal BPJS

Walaupun dalam keadaan sakit, rasa ingin tahu dan selalu bertanya masih tetap ia lakukan. Layaknya seorang wartawan yang bertanya pada narasumber. Kejadian itu tertulis dalam bagian tulisan dengan judul “Di Rumah Sakit” (Hlm. 7).

Beliau menceritakan pengalaman saat pertama sakit dan dirawat karena sakit tifus, dan yang terakhir terkena tumor, sampai bagaimana rumitnya mengurus BPJS (sampai bisa digunakan) dan mendapat pelayanan.

Ternyata, prosedur pelayanan yang digunakan masyarakat penikmat BPJS tidak semudah membalikkan telapak tangan. Problemnya, pasien harus banyak menabung kesabaran ketika menggunakan kartu tersebut.

Dimulai dengan mendatangi klinik atau puskesmas terdekat dengan antrean panjang pasien (dan tentu saja dokternya tak akan sanggup menangani kanker dan penyakit berat lainnya), yang diberikan hanya blangko rujukan ke rumah sakit tingkat kota/kabupaten. Bahkan Cak Rusdi sendiri menunggu dua bulan untuk bisa diperiksa dokter spesialis tulang sejak mendaftar di rumah sakit (Hlm. 16). Bayangkan, apakah penyakit bisa diminta pending untuk sekadar menunggu antrean BPJS?

Tentang Perawat

Selama opname di rumah sakit, Cak Rusdi mendapat pengalaman baru tentang dunia keperawatan. Mereka adalah manusia-manusia yang luar biasa, melayani pasien dan menjadi penghubung antara pasien dan dokter. Biasanya, (perawat yang ramah) adalah perawat “junior”.

Suka duka menjadi perawat didapatkan cak rusdi ketika ngobrol dengan mereka. Jam kerja terbagi menjadi tiga giliran: pagi, sore, malam dengan masing-masing delapan jam kerja. Tugas “junior” adalah serombongan setiap pagi datang ke kamar-kamar pasien dengan khas senyum manis dan berucap “selamat pagi” dan menyapa keluarga pasien.

Tidak hanya itu, dari segi pakaianpun dibedakan. Perawat junior memkai warna putih (mirip perawat serial film “Warkop DKI”) sedangkan yang senior biasanya seragam pemberian dari rumah sakit. Pun pola kerja, hubungan senior ke junior adalah “disuruh-suruh”. Bahkan ada perawat magang yang kastanya di bawah junior pola hubungan kerjanya sama, sama disuruh-suruh (Hlm. 58).

Daya Dukung Sosial

Cak Rusdi menyadari bahwa kehidupan terus berputar. Bukan soal fatalisme atau menyerah dengan keadaan yang kita anggap sebagai takdir. Berjuang untuk sembuh melawan penyakit adalah kewajiban.

Apakah bisa sembuh? Bisa, walaupun dalam waktu yang panjang. Lalu, siapkah kita jika suatu saat kematian menghampiri kita? yang mampu menjawab adalah pribadi kita masing-masing.

Cak Rusdi telah mencontohkan, bahwa hidup harus berjuang. Satu lagi, bahwa daya dukung sosial mampu menggerakkan kita. Cerita selama di rumah sakit, bahwa selain perawat juga teman-teman Cak Rusdi lintas generasi berdatangan untuk menjenguk bahkan tinggal untuk menemani kesehariannya.

Bagaimana tidak membutuhkan orang lain, jika hanya sekedar buang air kecil saja harus dibopong karena nyaris punggungnya sudah tak bisa menyangga. Apalagi berjalan, sekadar duduk pun tidak bisa.

Sudah hampir dua bulan lebih menginap di rumah sakit. Tentu menyita banyak waktu, dan meninggalkan tanggungan sebagai kepala keluarga dalam menafkahi anak dan istrinya. Lantas apa mau menyerah begitu saja?

Daya dukung sosial yang diceritakan buku ini menggambarkan bahwa banyak yang peduli pada Cak Rusdi. Rekan-rekan, murid-murid kelas menulis Cak Rusdi, yang menganggap Cak Rusdi sebagai bapak kedua. Bahkan, dengan orang yang pernah berseteru dengannya.

Kenapa cak rusdi dipedulikan banyak orang? Investasi apa yang ditanam selama hidupnya? Hanya cak rusdi yang tahu semuanya. Dan yang pasti, beliau adalah orang baik, baik kepada siapa saja, di mana saja, kapan saja, sehingga membentuk daya dukung social tersebut. Maka jelas bahwa daya dukung sosial itu mempu menggerakkan semangat ketika kita merasa tidak mampu menghadapinya.