Lebih dari Sekadar Tamasya Bola






Judul Buku: Tamasya Bola
Pengarang:  Darmanto Simaepa
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan: April, 2016
Tebal Buku: xvii+384halaman, 15x23 cm
Peresensi: Fathan Zainur Rosyid

Membicarakan sepak bola memang tiada habisnya. Mulai dari pengayuh becak, akademisi hingga pejabat tinggi agaknya tidak canggung membicarakan persoalan ini. Perbincangannya seputar klub favorit, transfer pemain, gaya bermain klub, pemain kesayangan hingga industri sepak bola. Membicarakan sepak bola tak mengenal kelas sosial.

Bagi para mania bola, salah satu bekal agar obrolan tentang bola berlangsung lama dan tak ajeg di situ-situ saja biasanya sebelumnya mereka membaca beberapa koran atau website tentang bola macam Pandit football, Fandom, Detik Sepak bola dan The Guardian untuk sekadar ingin melihat hasil pertadingan atau statistik tim.

Dalam rangka menambah perbendaharaan obrolan tentang sepak bola, buku di tangan saya bisa menjadi salah satu opsi. Terutama jika kalian penggemar permainan atraktif seperti Ajax era 70-an, AC Milan-nya Aragio Sacchi, Barcelona-nya Johan Cruyff yang diyakini berhasil memadukan totaalvoetbal dengan semangat nasionalisme Catalan, menurun ke murid kesayangannya, Pep Guardiola juga dengan Barcelona-nya.

Konon, sebagian pengamat bola menilai bahwa Barcelona-nya Pep adalah representasi keindahan sepak bola itu sendiri dengan aktor-aktor La Masia-nya macam Messi, Iniesta hingga Xavi. Kombinasi umpan-umpan pendek (tiki-taka) nan presisi dipadukan dengan finisher- finisher nomor wahid.

Kalau kita amati, belakangan ini proyek serupa ingin diulangi Pep dengan City-nya. Namun hanya waktu yang bisa menjawab dan semoga saja hegemoni City dengan uang dan permainan kolektifnya segera “usai”. Bukan karena saya tidak menyukai filosofi Pep. Namun, ini semata karena saya penggemar Manchester United (MU).

Sama seperi Darmanto Simaepa, penulis buku ini dengan sangat percaya diri meramalkan orang seperti Mourinho dengan segala arogansi, ambisi dan terkenal memainkan sepak bola “negatif” itu cocok menahkodai tim seperti MU. Namun  kita semua tahu bagaimana akhir karier Mourinho di MU.Dengan ramalannya tersebut seakan ia ingin menegaskan kepada para Manchunian bahwa sejarah filosofi MU bukanlah permainan satu-dua sentuhan ala Barca, bukan pula permainan dengan konsep ball-possession harga mati.

“Tidak  banyak fantasi dan kreasi, tapi penuh determinasi. Tidak elegan tapi memberi banyak tekanan. Tidak gemulai, tapi penuh pengorbanan.” (hlm. 41)

Entah antara perspektif dan simplifikatif, Darmanto menganggap bahwa persoalan MU belum menemukan permainan terbaiknya. Ini lantaran MU belum menemukan sosok The next Scholes dan Keane, double pivot legendaris MU. Sembari berharap siklus tahun 90’an MU tak terulang.

Dari Pelosok Mentawai Hingga Leiden

Dari aspek geografis, cerita buku ini membentang dari Leiden menyusuri kawasan Eropa  hingga salah satu kampung kecil di pulau indah Mentawai. Mulai dari bercerita gaya main tim sepak bola pelajar Indonesia di Leiden Belanda yang ia perkuat, hingga membicarakan sejarah perseteruan pelatih dua kutub ideologi berbeda antara Pep Guardiola vs Mourinho.

Menyoal yang terakhir ini, saya baru tahu ternyata mereka satu seperguruan di Barca. Pun baru tahu mengapa sampai detik ini Mou terlihat begitu benci dengan Barca yang sering ia ejek sebagai tim favorit anak kecil. Salah satunya karena ambisi Mourinho untuk membesut Barcelona telah gagal.
Tidak melulu bicara ndakik-ndakik tentang sepak bola Eropa, Darmanto secara mengalir dan ringan juga membicarakan berbagai klenik sepak bola Nusantara termasuk kampung kecilnya di Mentawai.
Darmanto seperti menuangkan indahnya permainan tiki-taka menjadi tulisan sepak bola. Ia ibarat Pep Guardiola yang ia gambarkan sendiri. Lebih dari sekadar pelatih sepak bola, baginya tidak ada pelatih yang lebih detail darinya.

Permainan Di Balik Sepak Bola


Hemat saya, Darmanto tak sekadar menulis 90 menit permainan sepak bola. Ia melampaui itu. Misalnya, ia dengan cerdas mengitegrasikan rumus kapital M-C-M’ dalam skema perputaran industri sepak bola. Ia mengibaratkan klub dan permainan sepak bola adalah barang atau komoditas yang bisa dibeli untuk mendapatkan lebih banyak uang.

Baginya gocekan Messi, umpatan Rooney, biografi Maradona, kebengalan Balloteli atau tajamnya mulut Mourinho bisa menjadi uang melalui siaran televisi, penjualan tabloid, dan portal media. Tiket pertandingan adalah cara memindahkan upah-upah buruh kembali ke tangan juragannya.

Hal di atas dengan sangat rasional menjelaskan mengapa para taipan berlomba-lomba membeli klub-klub bola. Kursi federasi dari PSSI hingga FIFA diperebutkan mati-matian. Orang seperti Nurdin Halid menjadi sangat bebal dan tutup kuping rapat-rapat ketika pecinta sepak bola tanah air memintanya mundur dari kursi ketua umum PSSI. Dan terakhir, mantan presiden UEFA Michel Platini tersandung dugaan kasus korupsi piala dunia 2022.

Mungkin terlalu berlebihan jika menyejajarkan Darmanto dengan romo Sindhunata atau Zen RS, namun buku ini sulit diabaikan bagi para pecinta bola. Apalagi untuk ukuran seperti yang diungkapkan Mahfud Ikhwan dalam pengantar buku ini, sebagai seorang yang berangkat dari kegelisahan sebab macetnya media mainstream menulis sepak bola. Dari tabloid bola tahun 80’an hingga bertebarannya situs-situs khusus bola gaya penulisan dan diksinya “itu-itu saja”.

Walhasil, buku ini mengajarkan kita agar melihat sepak bola dari berbagai macam sudut. Mungkin, untuk alasan yang sama Mahfud Ikhwan berani mengajak berkelahi bagi siapa saja pecinta sepak bola yang mengabaikan buku ini.[]