Judul :
Amina
Penulis :
Mohammed Umar
Penerjemah :
Yudith Listiandri
Penerbit :
Insist Press, Yogyakarta
Tahun terbit :
2006
Jumlah hlm :
384
ISBN :
979-3457-78-3
Peresensi :
Umi Ma’rufah
"“Salah satu sebab utama ketertindasan perempuan adalah ketidakpedulian kita."” (Amina: H. 21)"
Kalimat itu adalah pemantik dari sahabatnya, Fatima supaya ia tergerak untuk melakukan pembebasan bagi para perempuan di sekelilingnya. Awalnya, kalimat itu terdengar biasa saja. Tetapi semakin lama ia diajak berdiskusi oleh temannya itu, juga dengan teman-temannya yang lain ketika kebetulan kamarnya digunakan sebagai tempat pertemuan, ditambah buku-buku bacaan yang membuat matanya semakin terbuka, ia sadar untuk melakukan sesuatu bagi kaumnya. Ia adalah Amina.
Sebagai pembaca awalnya saya merasa tidak cocok judul buku ini Amina karena tokoh yang cerdas dan patut dijadikan pemain utama menurut saya adalah Fatima. Sejak awal saya dibuat terkesima pada setiap kalimat dan sikap yang dimiliki oleh Fatima. Seperti;
Setuju atau tidak, setiap manusia adalah politikus. Pilihan satu-satunya adalah menjadi aktif atau pasif. Jika kau tak siap menggunakan kekuatan dan kontrol atas hal-hal yang mempengaruhimu, orang lain yang akan melakukannya untukmu (h. 18).
Dalam politik, tak ada jalan tengah. Tidak ada yang namanya duduk di pagar pembatas. Kau harus putuskan untuk setuju atau melawan tatanan yang ada (h. 18-19).
Fatima pula yang memberi Amina pemikiran progresifnya mengenai bagaimana seharusnya perempuan seperti Amina menggunakan potensinya dalam membuat perubahan bagi perempuan di lingkungannya. Katanya;
Cobalah organisir para perempuan di wilayah ini. Didiklah mereka, dalam artian yang luas. Buka mata mereka agar mereka bisa melihat dunia yang mereka tinggali dengan lebih jelas. Seseorang pernah berkata, ‘sekali seseorang bisa membaca, ia akan terbebas selamanya.’ Kau bisa tunjukkan pada mereka bagaimana hidup yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih bahagia (h. 26).
Singkatnya, Fatima adalah sosok aktivis perempuan yang ideal.
Tetapi semakin masuk ke dalam cerita, kita akan menemukan bahwa di situlah letak dinamika kisah ini. Kita dibawa untuk semakin menjelajah halaman demi halaman sekedar untuk tahu mengapa harus Amina yang menjadi tokoh utama? Semakin kita menjelajah, kita bukan hanya akan menemukan alasan itu, juga pengalaman keperempuanan yang dialami oleh Amina yang semakin menghidupkan karakternya sebagai perempuan yang bertransformasi secara utuh. Proses itulah yang bagi saya menarik untuk diikuti sejak awal kita membaca buku ini.
Amina Sebagai Inspirator
Melalui sosok Amina, Umar berusaha menampilkan bagaimana pergulatan batin yang dialami oleh para perempuan dengan kondisi di bawah tekanan sistem patriarki. Bagaimana perempuan tak pernah menjadi pribadi yang berhak memutuskan sendiri apa yang terbaik untuknya.
Dalam pembelaan yang ia lakukan di muka pengadilan, Amina menegaskan, perempuan harus dipandang sebagai pihak yang sanggup bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan harus turut dapat menikmati semua hak sebagai manusia. Mereka tidak seharusnya dieksploitasi atau ditindas (h. 362).
Amina adalah sosok yang mampu dijadikan inspirasi bagi gerakan perempuan saat ini. Melalui asosiasi perempuannya, ia membuktikan bahwa kita bisa menyelamatkan perempuan dari keterpurukan. Berbagai program yang dibuatnya, seperti pendidikan untuk orang dewasa, program kesehatan, dan koperasi dengan dibantu oleh para aktivis mahasiswa telah membebaskan perempuan dari kebodohan dan kesengsaraan.
Selain sebagai inspirator bagi gerakan perempuan, secara umum Novel Amina ini dapat menjadi pengingat agar kita menjadi orang yang mencintai buku, mau menulis, dan melakukan gerakan sosial. Kata Umar meminjam tokoh Fatima,
Dengan membaca, kau belajar banyak tentang kehidupan dan manusia. Buku meringankan hatimu, mencerahkan pandanganmu, menghilangkan salah paham, dan membuatmu merasa kau adalah bagian dari kemanusiaan. Buku menunjukkan bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan. Aku bisa mengenal dunia dengan lebih baik, memperdalam pemahamanku akan sesuatu, menjelaskan padaku bagaimana dunia berputar dan berubah. Tapi kau harus membaca dengan pikiran kritis, karena kau tak akan menemukan inspirasi dan pengetahuan pada buku-buku yang ada di perpustakaan kita. Kebanyakan buku-buku itu kosong (h. 82).
dan semangat revolusi yang harus terus berkobar. Berikut kata Amina,
Revolusi yang bisa mengubah seluruh struktur masyarakat dan menjadi penjaga jalan hidup yang baru. Yang membawa keadilan, kebebasan, kesetaraan, cinta, pengertian, dan hormat kepada kita semua. Revolusi sejati yang akan memuaskan seluruh rakyat. Memberi tanah, makanan, kehidupan yang lebih baik pada petani dan keluarganya; memberi pekerjaan pada para pekerja; harapan dan pendidikan pada orang-orang muda; dan kesempatan pada perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan masyarakat (h. 377).
Juga keteguhan dalam memegang prinsip. Ketika Amina mendapat tawaran sebuah jabatan di pemerintahan, ia menjawab;
Terimakasih atas ajakanmu. Tapi aku tak seputus asa itu. Tolong katakan pada Administrator Militer, aku tak bisa ikut ambil bagian dalam perusakan sistematis negara yang kucintai (h. 382).
Amina Dalam Konteks Indonesia
Tentu kita tidak boleh lupa tentang seperti apa konteks sosial politik yang ada dalam kisah ini, Nigeria di tahun 80-an yang selain jauh secara tempat juga waktu. Tetapi hemat saya pembaca tidak akan merasa jauh dari cerita ini sebab dalam beberapa hal Novel Amina masih sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini.
Misalnya saja ketika menyikapi hukum yang tidak berpihak pada kaum perempuan. Amina dan teman-temannya berusaha agar undang-undang itu tidak jadi disahkan. Memang ketika itu tidak ada perempuan yang menjadi wakil di parlemen, sehingga suara Amina tidak didengarkan bahkan dicemooh dan difitnah.
Dalam konteks Indonesia kita mendapati desakan kaum perempuan agar DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung mendapat respon positif. Tetapi nasib baiknya, demonstrasi para perempuan yang memperjuangkan pengesahan RUU-PKS di sini tidak sampai membuat pemerintah bertindak keras sebagaimana yang dialami oleh Amina dan para perempuan yang bersamanya.
Dalam aksi damainya, Amina dkk terpaksa dibubarkan oleh aparat menggunakan gas air mata, bahkan salah seorang kawannya tewas karena tembakan salah satu polisi. Ia dan beberapa perempuan lain ditahan dalam kondisi yang buruk.
Dalam konteks ini penulis seketika terkoneksi dengan aksi mahasiswa pada kurun 24-30 September lalu. Lima orang meninggal tanpa pertanggungjawaban pelaku. Dan yang lain mendapat kekerasan kemudian beberapa orang ditahan. Perilaku aparat negara yang demikian menunjukkan betapa di manapun aparat negara digunakan untuk mengamankan pemerintah dan menyerang orang-orang yang menentangnya, sekalipun itu adalah rakyat yang tak bersenjata.
Amina membuktikan bahwa perjuangan tidak boleh padam hanya karena perlawanan aparat negara. Menurutnya;
Sebagai seorang muslim, aku tidak boleh berpura-pura tidak melihat seorang pemimpin yang berbuat tidak adil. Nabi bersabda, siapapun yang melihat ketidakadilan harus berusaha keras mengubahnya. Kurasa itu menjelaskan posisiku (h. 376).
Jika kamu membaca buku ini lalu hanyut bersama ceritanya, tak terasa air mata pun mengalir di pipimu. Apalagi kita yang mungkin bernasib sama seperti para perempuan yang diceritakan di dalamnya.
Meskipun tidak semua perempuan dalam novel ini adalah perempuan lemah dan tertindas. Perempuan dari kelas elit yang kebanyakan adalah istri penguasa justru cenderung menindas dan acuh terhadap nasib orang kecil.
Buku ini menunjukkan bahwa perempuan bukanlah entitas yang homogen. Melainkan dinamis tergantung pada kondisi dan sikapnya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh basis material yang dimilikinya.
Sayang sekali buku ini sepertinya sulit dicari saat ini. Kalaupun ada mungkin itu bekas seperti yang penulis baca, buku bekas hasil penjelajahan seorang kawan di toko loakan buku. Tetapi apabila beruntung, pastikan kamu membacanya. Sebab tak banyak novel yang memberi inspirasi sangat penting bagi perempuan. Yang tidak hanya membongkar kesadaran akan ketertindasannya di dalam sistem patriarki, tapi juga dalam sistem yang lebih kuat, negara dan kapitalisme.
Sebagai pembaca awalnya saya merasa tidak cocok judul buku ini Amina karena tokoh yang cerdas dan patut dijadikan pemain utama menurut saya adalah Fatima. Sejak awal saya dibuat terkesima pada setiap kalimat dan sikap yang dimiliki oleh Fatima. Seperti;
Setuju atau tidak, setiap manusia adalah politikus. Pilihan satu-satunya adalah menjadi aktif atau pasif. Jika kau tak siap menggunakan kekuatan dan kontrol atas hal-hal yang mempengaruhimu, orang lain yang akan melakukannya untukmu (h. 18).
Dalam politik, tak ada jalan tengah. Tidak ada yang namanya duduk di pagar pembatas. Kau harus putuskan untuk setuju atau melawan tatanan yang ada (h. 18-19).
Fatima pula yang memberi Amina pemikiran progresifnya mengenai bagaimana seharusnya perempuan seperti Amina menggunakan potensinya dalam membuat perubahan bagi perempuan di lingkungannya. Katanya;
Cobalah organisir para perempuan di wilayah ini. Didiklah mereka, dalam artian yang luas. Buka mata mereka agar mereka bisa melihat dunia yang mereka tinggali dengan lebih jelas. Seseorang pernah berkata, ‘sekali seseorang bisa membaca, ia akan terbebas selamanya.’ Kau bisa tunjukkan pada mereka bagaimana hidup yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih bahagia (h. 26).
Singkatnya, Fatima adalah sosok aktivis perempuan yang ideal.
Tetapi semakin masuk ke dalam cerita, kita akan menemukan bahwa di situlah letak dinamika kisah ini. Kita dibawa untuk semakin menjelajah halaman demi halaman sekedar untuk tahu mengapa harus Amina yang menjadi tokoh utama? Semakin kita menjelajah, kita bukan hanya akan menemukan alasan itu, juga pengalaman keperempuanan yang dialami oleh Amina yang semakin menghidupkan karakternya sebagai perempuan yang bertransformasi secara utuh. Proses itulah yang bagi saya menarik untuk diikuti sejak awal kita membaca buku ini.
Amina Sebagai Inspirator
Melalui sosok Amina, Umar berusaha menampilkan bagaimana pergulatan batin yang dialami oleh para perempuan dengan kondisi di bawah tekanan sistem patriarki. Bagaimana perempuan tak pernah menjadi pribadi yang berhak memutuskan sendiri apa yang terbaik untuknya.
Dalam pembelaan yang ia lakukan di muka pengadilan, Amina menegaskan, perempuan harus dipandang sebagai pihak yang sanggup bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan harus turut dapat menikmati semua hak sebagai manusia. Mereka tidak seharusnya dieksploitasi atau ditindas (h. 362).
Amina adalah sosok yang mampu dijadikan inspirasi bagi gerakan perempuan saat ini. Melalui asosiasi perempuannya, ia membuktikan bahwa kita bisa menyelamatkan perempuan dari keterpurukan. Berbagai program yang dibuatnya, seperti pendidikan untuk orang dewasa, program kesehatan, dan koperasi dengan dibantu oleh para aktivis mahasiswa telah membebaskan perempuan dari kebodohan dan kesengsaraan.
Selain sebagai inspirator bagi gerakan perempuan, secara umum Novel Amina ini dapat menjadi pengingat agar kita menjadi orang yang mencintai buku, mau menulis, dan melakukan gerakan sosial. Kata Umar meminjam tokoh Fatima,
Dengan membaca, kau belajar banyak tentang kehidupan dan manusia. Buku meringankan hatimu, mencerahkan pandanganmu, menghilangkan salah paham, dan membuatmu merasa kau adalah bagian dari kemanusiaan. Buku menunjukkan bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan. Aku bisa mengenal dunia dengan lebih baik, memperdalam pemahamanku akan sesuatu, menjelaskan padaku bagaimana dunia berputar dan berubah. Tapi kau harus membaca dengan pikiran kritis, karena kau tak akan menemukan inspirasi dan pengetahuan pada buku-buku yang ada di perpustakaan kita. Kebanyakan buku-buku itu kosong (h. 82).
dan semangat revolusi yang harus terus berkobar. Berikut kata Amina,
Revolusi yang bisa mengubah seluruh struktur masyarakat dan menjadi penjaga jalan hidup yang baru. Yang membawa keadilan, kebebasan, kesetaraan, cinta, pengertian, dan hormat kepada kita semua. Revolusi sejati yang akan memuaskan seluruh rakyat. Memberi tanah, makanan, kehidupan yang lebih baik pada petani dan keluarganya; memberi pekerjaan pada para pekerja; harapan dan pendidikan pada orang-orang muda; dan kesempatan pada perempuan untuk berperan aktif dalam pembangunan masyarakat (h. 377).
Juga keteguhan dalam memegang prinsip. Ketika Amina mendapat tawaran sebuah jabatan di pemerintahan, ia menjawab;
Terimakasih atas ajakanmu. Tapi aku tak seputus asa itu. Tolong katakan pada Administrator Militer, aku tak bisa ikut ambil bagian dalam perusakan sistematis negara yang kucintai (h. 382).
Amina Dalam Konteks Indonesia
Tentu kita tidak boleh lupa tentang seperti apa konteks sosial politik yang ada dalam kisah ini, Nigeria di tahun 80-an yang selain jauh secara tempat juga waktu. Tetapi hemat saya pembaca tidak akan merasa jauh dari cerita ini sebab dalam beberapa hal Novel Amina masih sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini.
Misalnya saja ketika menyikapi hukum yang tidak berpihak pada kaum perempuan. Amina dan teman-temannya berusaha agar undang-undang itu tidak jadi disahkan. Memang ketika itu tidak ada perempuan yang menjadi wakil di parlemen, sehingga suara Amina tidak didengarkan bahkan dicemooh dan difitnah.
Dalam konteks Indonesia kita mendapati desakan kaum perempuan agar DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung mendapat respon positif. Tetapi nasib baiknya, demonstrasi para perempuan yang memperjuangkan pengesahan RUU-PKS di sini tidak sampai membuat pemerintah bertindak keras sebagaimana yang dialami oleh Amina dan para perempuan yang bersamanya.
Dalam aksi damainya, Amina dkk terpaksa dibubarkan oleh aparat menggunakan gas air mata, bahkan salah seorang kawannya tewas karena tembakan salah satu polisi. Ia dan beberapa perempuan lain ditahan dalam kondisi yang buruk.
Dalam konteks ini penulis seketika terkoneksi dengan aksi mahasiswa pada kurun 24-30 September lalu. Lima orang meninggal tanpa pertanggungjawaban pelaku. Dan yang lain mendapat kekerasan kemudian beberapa orang ditahan. Perilaku aparat negara yang demikian menunjukkan betapa di manapun aparat negara digunakan untuk mengamankan pemerintah dan menyerang orang-orang yang menentangnya, sekalipun itu adalah rakyat yang tak bersenjata.
Amina membuktikan bahwa perjuangan tidak boleh padam hanya karena perlawanan aparat negara. Menurutnya;
Sebagai seorang muslim, aku tidak boleh berpura-pura tidak melihat seorang pemimpin yang berbuat tidak adil. Nabi bersabda, siapapun yang melihat ketidakadilan harus berusaha keras mengubahnya. Kurasa itu menjelaskan posisiku (h. 376).
Jika kamu membaca buku ini lalu hanyut bersama ceritanya, tak terasa air mata pun mengalir di pipimu. Apalagi kita yang mungkin bernasib sama seperti para perempuan yang diceritakan di dalamnya.
Meskipun tidak semua perempuan dalam novel ini adalah perempuan lemah dan tertindas. Perempuan dari kelas elit yang kebanyakan adalah istri penguasa justru cenderung menindas dan acuh terhadap nasib orang kecil.
Buku ini menunjukkan bahwa perempuan bukanlah entitas yang homogen. Melainkan dinamis tergantung pada kondisi dan sikapnya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh basis material yang dimilikinya.
Sayang sekali buku ini sepertinya sulit dicari saat ini. Kalaupun ada mungkin itu bekas seperti yang penulis baca, buku bekas hasil penjelajahan seorang kawan di toko loakan buku. Tetapi apabila beruntung, pastikan kamu membacanya. Sebab tak banyak novel yang memberi inspirasi sangat penting bagi perempuan. Yang tidak hanya membongkar kesadaran akan ketertindasannya di dalam sistem patriarki, tapi juga dalam sistem yang lebih kuat, negara dan kapitalisme.