Aksi Nirkekerasan, Syarat dan Hambatannya Agar berhasil


Menurut Chaiwat Satha-Anand (berikutnya akan ditulis sebagai CSA), islam pada dasarnya mempunyai orientasi nilai untuk bertindak, sehingga mendorong pengikutnya agar bereaksi melawan ketidakadilan. Hal ini membuat umat islam memasuki lorong yang dinamakan jihad. Selanjutnya jihad dengan cara kekerasan atau nirkekerasan dieksplorasi lebih luas oleh CSA dalam seluruh isi bukunya.

CSA mencoba menampilkan data-data bagaimana aksi gerakan nir kekerasan ternyata jauh lebih efektif dibanding aksi dengan kekerasan. Terlihat bagaimana argument ini tidak ingin ia menangkan berdasarkan dari asumsi saja, melainkan data-data yang terhampar luas di dunia gerakan. Dia menyarankan agar penelitian semacam ini (nirkekerasan) terus dikembangkan dan diperbanyak.

CSA banyak mengambil referensi teoritikus aksi nirkeerasan, baik dari Gandhi atau yang kontemporer, Gene Sharp. CSA sendiri mengelaborasi teori-teori tersebut dengan nilai-nilai ajaran yang sudah tertanam di Islam. Meski ia sadarda potensi ajaran Islam yang bisa dijadikan dalih aksi kekerasan.

Kemudian ia menjelaskan terkait 5 pilar yang membuat aksi nirkekerasan umat islam bisa berhasil. Jika seorang muslim yang menjalankan agamanya dengan taat maka ia 1) berpotensi tidak patuh terhadap kezaliman, 2) disiplin dalam menjalankan aksi ketidakpatuhannya, 3) beraksi berdasarkan kesadaran terhadap realitas masyarakat, 4)bersabar dan berkemauan berkorban demi satu tujuan dan 5) mempunyai gagasan persatuan (h.57).

Gandhi sendiri juga punya beberapa syarat agar aksi nirkekerasan dalam mengabdi pada kebenaran berhasil. 1) jangan menyimpan kebencian terhadap musuh, 2) pokok persoalannya harus benar dan mendasar, 3) harus siap menderita sampai akhir, 4) semua aksi diletakkan pada doa untuk mendapatkan perlindungan dari Tuhan (h.87).

Dalam terminologi peace-keeping, peace-making dan peace-building, CSA sangat kental dengan nuansa pemikiran Johan Galtung. Keduanya menekankan betapa pentingnya peace-building (bina damai) yang memakai kekerasan struktural. Tetapi dalam islam sendiri CSA terlihat sadar bahwa nilai memerangi kekerasan struktural ini juga berpotensi menjadi jihad yang salah. Maka terlihat jelas ia selalu menekankan pelurusan makna jihad. Pemikir Islam lain yang mengkampanyekan Bina Damai ada Mohammad Abu Nimer.

Pelurusan makna jihad terlihat sebagai salah satu kerja utama CSA dalam buku ini, karena dengan ulet ia mencoba membantah tulisan-tulisan sarjana barat yang mengidentikan islam dengan pedang. Dia secara teliti menampilkan fakta bahwa perlawanan berbagai kelompok islam ternyata berhasil dengan metode nirkekerasan. CSA juga mampu menarik benang merah setiap aksi tersebut untuk dihubungkan dengan nilai islami, baik dari Al-Quran maupun sunnah.

Islamopobia di barat, menurut CSA disebabkan oleh beberapa literatur yang menyerang islam sebagai agama pedang. Meski begitu ia juga sadar bahwa diskursus terorisme dan beberapa perang (kekerasan) di timur tengah memperburuk dan menegaskan citra tersebut. Tetapi dalam bab yang panjang, ia menyajikan ilustrasi filosofis bagaimana mentransformasikan terorisme menjadi aksi nirkekerasan umat islam. Keyakinannya didasari persamaan dari dua hal tersebut, baik terorisme dan aksi nirkekerasan yaitu, sama-sama menentang struktur ketidakadilan, yang membuat pelakunya tidak takut jika harus kehilangan nyawa.

Perbedaannya hanya pada cara pandang terhadap lawan. Terorisme mengandaikan kondisi perang sebagai pembelaan atas korban tidak berdosa yang terdampar serangannya. Sementara aksi nirkekerasan melihat lawan masih sebagai manusia, sehingga mengorbankan manusia tidak berdosa harus dihindari. Data dan struktur penyajiannya yang runtut mengenai sejarah dan fakta terorisme, memudahkan kita mengikuti bahasan berat ini untuk tetap bisa menangkap alur narasinya.

CSA setelah menggebu-gebu meyakinkan pembaca bahwa nirkekerasan efektif dan jalan perjuangan terbaik, kemudian menelisik apa saja yang menghalanginya berkembang sebagai metode aksi perjuangan umat islam?

Dia menemukan jawabannya dalam buku Arab Non violence political in the middle east, dalam buku tersebut ada “anggapan” bahwa nirkekerasan tidak bisa dijadikan alasan membela diri, trik imprealis untuk meninabobokan gerakan muslim, tidak ada aksi nirkekerasan dalam sejarah arab, sampai keyakinan bahwa nirkekerasan tidak akan mampu mengubah opini dunia dalam melawan penindasan (h.161).

CSA juga berpendapat bahwa problem bahasa juga mempengaruhi. Secara umum nirkekerasan diterjemahkan dalan bahasa arab menjadi la-unf, secara harfiah dimaknai tanpa kekerasan. Ia menganggap kata ini menyiratkan tanpa aksi. Maka beberapa sarjana yang fokus pada kajian ini (nirkekerasan) mencoba menawarkan keragaman bahasa terjemahnya seperti, al-nidal al-silmi (perjuangan damai) atau al-nidal al-madani (perjuangan sipil).

Setelah melacak diskursus relasi profan-suci dari Mirca Eliade, Peter Berger sampai seyyed Hossein Nasr, CSA menyimpulkan bahwa orang yang jatuh dalam pertentangan konflik Sara, akan mudah mengalami kesadaran teralih (altered states). Ia meminjam istilah barbara Ehrenreich untuk menjelaskan bagaimana orang awam sangat mudah terprovokasi dalam menggunakan kekerasan demi iman atau tanah airnya.

Meski sadar jika konflik semacam itu dikatalisasi pemimpin politik, tokoh militer dan tokoh agama, CSA memandang kesadaran teralihlah yang lebih efektif untuk merubah orang melakukan sesuatu yang hanya mungkin dilakukan dalam kondisi perang. Kesadaran teralih membangkitkan identitas kolektif. Csa menganjurkan adanya pengaturan jarak yang tepat antara realitas yang suci dengan manusia, sehingga nalar dan refleksi dapat memandu iman manusia secara tepat.

Dalam dua Bab terakhirnya, ia mengelaborasi aksi nirkekerasan Budha, Yesus dan Muhammad sebagai contoh bagaimana urgennya peran tokoh agama dalam keterlibatannya di aksi nirkekerasan. Saya menangkap bahwa CSA ingin menegaskan bahwa Islam, termasuk ajaran agama lainnya, sudah mempraktikkan aksi nirkekerasan sejak lama. Di Indonesia sendiri belum banyak kajian seputar aksi nirkekerasan yang massif, terutama di era paska reformasi. Menurut saya, terbaru adalah perjuangan aliansi masyarakat penolak pendirian pabrik semen, yang paling memenuhi kriteria semacam itu.

Penulis Ahmad Muqsith