Menguak Sejarah yang Dibelokkan


Novel Pemenang Khatulistiwa Literary Award tahun 2013 ini sangat menarik untuk dibaca. “Pulang”, menggambarkan keinginan tokoh utamanya untuk dapat kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah, Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.

“Memang apa yang tidak politis dalam dunia ini?”

Pada tahun1965 Kantor Berita Nusantara, tempat Dimas Suryo beserta kawan-kawannya bekerja tak luput dari sasaran sergapan tentara. Dimas beserta ketiga kawannya, Nugroho, Tjai, dan Risjaf yang saat itu ditugaskan menghadiri konferensi jurnalis tertahan di Prancis. Tidak bisa pulang ke Indonesia.

Pada Tahun 1968 Dimas mendapat kabar bahwa kawannya, Hananto, terjaring intel. Kemudian dieksekusi tiga tahun kemudian tanpa pengadilan. Di tengah rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja, para eksil politik ini mendirikan restoran Tanah Air di Paris untuk mengisi hidup dan mengenang tanah airnya.

Sementara itu, Lintang Utara, puteri Dimas berhasil memperoleh visa dan berencana mengerjakan tugas akhir bertemakan tragedi 30 September 1965 di Indonesia. Keberangkatannya justru berpapasan dengan memanasnya kondisi perpolitikan di Indonesia.. Bersama Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi bersejarah terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Suharto setelah 32 tahun berkuasa.

Tragedi 30 September 1965

“Di Santiago, di tengah konferensi itu, kami mendengar dari ketua panitia Jose Ximenes tentang meletusnya peristiwa 30 September. Kami terpana. Sama sekali tidak meduga ada peristiwa sekeji itu. Berkali-kali aku meminta Mas Nug mengulang apa yang dia dengar dari Ximenez. Jenderal-jenderal diculik? Dibunuh?”

Lintang memaparkan berbagai teori tentang peristiwa 30 September, mulai dari yang percaya keterlibatan PKI sampai dengan keterlibatan perwira “kiri” dan perpecahan elite militer. Semua ia pelajari lewat kliping yang disusun oleh Ayahnya, Dimas.

Sebelum peristiwa 30 September meletus, simpatisan PKI begitu agresif menghajar lawannya, membunuh anak-anak muda non-komunis yang dilempar ke sungai. Di mana dituliskan, saat setelah tragedi 30 September, bukan hanya pembalasan dendam yang terjadi, tapi rasa benci masyarakat terhadap PKI dipompa habis-habisan oleh pemerintah. Akibatnya, terjadi penangkapan, pembantaian, penyiksaan, penembakan pada mereka yang dianggap bersalah. Sampai dengan anak cucu turunan PKI atau pihak yang tak jelas afiliasi politiknya mendapat perlakuan yang tidak semestinya.

Dalam masa-masa itu sesuai dengan sejarah: jenderal diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya merupakan salah Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI, termasuk anak-anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa. Para korban mengalami berbagai bentuk penganiayaan, pelecehan seksual, perkosaan, bahkan sampai pembunuhan.

Ada kebijakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan yang diluncurkan pemerintah pada tahun 1981. Kebijakan ini mewajibkan Pegawai Negeri atau pemegang jabatan strategis harus melalui proses penelitian khusus dan harus dinyatakan bersih dari relasi keluarga tahanan politik. Namun, setelah diadakan rekonsiliasi, kebijakan diskriminatif tersebut telah dihapuskan dan anak cucu turunan PKI telah mendapat hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Tragedi dan Reformasi Mei 1998

Bertepatan dengan bulan Mei, nampaknya sangat relevan untuk kembali membicarakan novel ‘Pulang’ ini. Sebagaimana pikiran Lintang yang sedang berkecamuk, yang mengatakan

“Lalu mengapa harus ada peristiwa kekerasan persis di depan mataku pada saat aku mulai mencintai tempat ini, juga orang-orangnya? Menyerang dan menghajar rumah-rumah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa? Tahun berapakan ini? 1998? Apakah kita mundur dua abad sembari mengadopsi kedunguan rasialisme? Atau setelah 33 tahun, tak ada yang berubah? Aku harus mengoreksi ucapanku pada Ayah (h. 429).”

Sebelum di Jakarta, Lintang meyakini bahwa Indonesia saat ini lebih maju dari yang diceritakan Ayahnya. Namun, pada kenyataannya saat Lintang menginjakkan kaki di Jakarta justru saat itu terjadi kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa; penjarahan, pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penghilangan orang secara paksa, pemerkosaan dilakukan oleh pihak yang dalam novel ini dikatakan belum pasti kebenarannya.

Lintang menyebutkan:

“Pagi itu, aku tak bisa lagi peduli punggung yang rontok atau mata yang baru terpejam selama tiga jam. Aku yakin seluruh Jakarta, atau Indonesia, semakin tegang dengan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti kemarin.” (h. 416)

Lintang dan kawan-kawannya, saat itu dikisahkan juga turut dalam suasana aksi yang diadakan di kampus Trisakti. Sampai saat ini, kasus tertembaknya empat mahasiswa saat demonstrasi tersebut masih belum mendapat keadilan. Aksi yang berlangsung selama dua puluh hari tersebut, pada puncaknya menyerukan Presiden Suharto untuk melepaskan jabatan. Hingga pada tanggal 21 Mei, Presiden Suharto mengucapkan pidato pengunduran diri.

Leila S. Chudori begitu apik menceriterakan novel beralur maju-mundur ini. Sebagai wartawan Leila terlihat begitu detail dan rinci dalam riset penyusunan novel. Data-data dalam novel ini bersumber dari para eksil politik, ahli sejarah, serta literatur-literatur yang berkaitan dengan latar sosial yang ada.

Pada tahun 1993, tokoh Alam dalam Novel ini mengunjungi Monumen Pancasila Sakti ketika kelas 5 SD. Pemandu menjelaskan bahwa di tempat itu telah terjadi penyiksaan dan pembunuhan jenderal oleh PKI. Ini merupakan salah satu indoktrinasi ‘sejarah yang dibelokkan’ sejak masa dini. Pemerintahan Suharto kemudian juga mewajibkan menonton film produksi pemerintah, G30S/PKI setiap tanggal 30 September. Sejak reformasi 1998, pelajaran sejarah yaang berkaitan dengan G30S tidak lagi menjadikan PKI satu-satunya pemain tunggal. Kini, terdapat beberapa teori yang diajarkan. Kewajiban menonton film tersebut juga telah dihilangkan.

Bagi saya, novel “Pulang” merupakan representasi protes terhadap sejarah yang dibelokkan oleh negara. Begitu pengetahuan masuk alam bawah sadar, akan sulit untuk digoyahkan kecuali bagi mereka yang berani kritis. Maka, pesimisme bahwa semua hal di dunia ini politis, dalam hal sejarah yang dibelokkan ini adalah benar. Jika manusia adalah produk belajar, maka sejarah adalah guru terbaik. Lalu bagaimana jika sejarah yang ada justru dibelokkan demi kepentingan pihak tertentu?


Judul Buku : Pulang
Pengarang Buku : Leila S. Chudori
Penerbit Buku : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : Cetakan Pertama 2012
Tebal Buku : 464 halaman
ISBN : 978-979-91-0515-8
Peresensi : Siti Barokhatin Ni’mah