Di dalam buku ini pembaca diberikan paparan dua tokoh
yang menjadi rujukan banyak orang di muka bumi. Mereka adalah Nabi Muhammad SAW yang merupakan tokoh terpenting dalam ajaran agama Islam dan Karl Marx yang merupakan pioner kaum komunis
yang ingin membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan.
Perbedaan proyeksi mereka hanya terletak pada tataran
konsep epistemologis, di mana Nabi Muhammad SAW mendapatkan ilham dari wahyu
(al-Qura’n) dan ijtihad yang termanifestasi dalam hadits, sedangkan Karl Marx
mendapatkan ilham dari teori Materealisme historis dan Materealisme dialektika
(h. 243).
Dalam menjalankan proyeksi itu tentu mereka
mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan seperti diskriminasi dan
pengasingan. Meski demikian, mereka tetap berjuang tanpa kenal lelah hingga titik
darah penghabisan. Keduanya ialah sosok yang hingga kini masih terus dikenang
dan dipuja-puja karena pemikirannya yang mencakup berbagai disiplin ilmu
pengetahuan (“Generalis Ekstrem).
Sosialisme dalam Pandangan Dua Tokoh
Kondisi perekonomian Mekah sebelum Muhammad menjadi Nabi sangatlah tidak adil, karena hanya segelintir orang atau suku saja yang boleh menimbun kekayaan. Belum lagi, praktik perdagangan yang culas serta praktik perbudakan yang dilazimkan (h. 87).
Oleh sebab itu, salah satu misi Muhammad setelah menjadi Nabi tidak hanya mengajak
masyarakat Mekah untuk menyembah Allah SWT, melainkan juga mencerahkan wajah
peradaban yang kala itu penuh noda hitam kemanusiaan.
Dengan rumusan kalimat tayyibah La ilaha illa Allah,
Ia tak hanya menampik berhala-berhala yang dipajang bebas di Ka’bah, melainkan
juga tidak bersedia mengakui otoritas kaum yang berkuasa dan struktur sosial yang
ada pada masa itu (h.133).
Dari sinilah kemudian Nabi merintis sosialisme Islam (paham tentang masyarakat
tanpa kelas dalam Islam) yang berasaskan pada keadilan, persamaan hak dan
persaudaraan dalam menjalankan perekonomian. Dengan ini, Nabi Muhammad SAW melarang
penimbunan kekayaan, eksploitasi terhadap sesama dan memerintahkan untuk menggunakan alat produksi
secara egaliter.
Doktrin persamaan kelas tersebut mendapatkan tantangan
keras dari masyarakat Mekah, sebagaimana ditulis oleh Munir:
"Dakwah Nabi Muhammad SAW mendapat tantangan
dan perlawanan keras dari Masyarakat Mekah, baik aktif maupun pasif. Tantangan
yang sengit terutama datang dari kelompok oligarki yang menguasai kehidupan
kota tersebut (h. 96)."
Jadi, perlawanan tersebut dipicu bukan karena Nabi Muhammad
SAW mengajak masyarakat Mekah untuk meninggalkan berhala-berhalanya, melainkan
karena Ia juga berkeinginan merombak struktur sosial yang ada. Seperti yang dikatakan oleh
Asghar Ali Eingneer:
"Berhala yang disembah di sekitar Mekah
bukan bagian integral dari masyarakat Mekah dan mereka sendiri tidak memiliki
ketulusan terhadap berhala-berhala yang diimpor dari masyarakat agamis Syiria
itu sendiri."
Di samping itu, berkaitan dengan hak-hak pekerja, pembaca diajak untuk meneladani sifat Muhammad SAW yaitu, memperlakukan pekerja dengan baik seperti saudara sendiri (h.149).
Sehingga, hubungan
harmonis ini merupakan ajaran sosialisme Islam yang berbuntut pada hilangnya
masyarakat kelas dalam Masyarakat jazirah Arab (h.150).
Dalam hal pengupahan pekerja, Islam punya ajaran, Bayarlah upah pekerja itu sebelum kering keringatnya. Menurut Munir, dengan begitu, Nabi Muhammad SAW telah menawarkan terobosan
jitu mengenai masalah upah sekaligus menjaga hak pekerja.
Sementara itu, sosialisme yang digaungkan oleh Marx
merupakan sebuah anti thesis terhadap eksploitasi manusia dalam sistem
kapitalisme yang mengakibatkan manusia teralienasi, terasingkan dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, salah satu tujuan dari
sosialisme ini ialah mengatasi alienasi terhadap manusia (h.180).
Lebih lanjut, sosialisme Marx juga merupakan
bentuk protes terhadap eksploitasi sumber daya alam dalam sistem kapitalisme
yang menyebabkan kerusakan lingkungan, bencana dsb. Dalam hal ini, tujuan
sosialisme Marx ialah menciptakan hubungan yang integral dan harmonis antara
manusia dengan alam. Untuk itu, menggunakan alat-alat produksi secara bersama-sama
yang berimplikasi pada masyarakat tanpa kelas ialah solusinya.
Guna mewujudkan hal tersebut, menurut Marx, masyarakat
harus melalui beberapa tahapan yakni, tahap komunisme primitive, tahap
perbudakan, tahap feodal, tahap kapitalisme dan barulah kemudian sosialisme
(h.185). Perjuangan kelas merupakan hal yang diperlukan untuk mencapai itu.
Pada intinya, sosialisme ala Nabi Muhammad SAW dan sosialisme ala Marx ialah sistem sosial-ekonomi yang humanis karena tujuan akhir mereka ialah pembebasan manusia dari segala bentuk ketertindasan, sekalipun pendekatan yang mereka gunakan berbeda.
Saya perlu untuk memberikan kritikan terhadap penulis buku ini, Munir. Menurut saya, setidaknya ada lima hal yang perlu dibenahi dan ditinjau lebih dalam oleh Munir: pertama, sebagaimana argumen Gus Dur di dalam kata pengantar, Munir tidak mengkontekstualisasikan pandangan Nabi Muhammad SAW dan Karl Marx dalam konteks kehidupan sekarang. Selain itu, bagi saya, Munir juga tidak berangkat pada kondisi material. Hal ini mengakibatkan segala pandangannya hanyalah utopia belaka.
Kedua, adanya kontradiksi antar argumen. Munir berargumen
bahwa dalam konteks al-Qur’an, ciri-ciri dari konsep sosialisme bukan
didasarkan pada perang modal dan perjuangan kelas, melainkan sosialisme yang
didasarkan pada karakter dan moral tinggi yang dapat menjamin persamaan kelas
dan adanya kerja sama atas dasar kebaikan dan kebaktian (h.141).
Namun di lain halaman, Ia justru
menunjukkan ayat al-Qura’n yang mendeskripsikan perjuangan kelas (h.163).
Selain itu, Ia juga beberapa kali menekankan bahwa persamaan kelas merupakan
konsepsi sosialime barat (baca: sosialisme Marx).
Ketiga, perihal komunisme ilmiah dan komunisme utopis. Munir
menulis bahwa inti dari marxisme yang merupakan ajaran komunisme ialah
“cita-cita utopis masyarakat di mana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya
dimiliki bersama” (h.177). Padahal, komunisme yang dicetuskan oleh Marx
bukanlah utopis, melainkan ilmiah.
Perbedaan diantara keduanya ialah jika komunisme utopis
tidak mempunyai konsepsi ideologi yang jelas mengenai siapa yang diperjuangkan
dan apa yang akan diubah. Sedangkan, komunisme ilmiah, jelas ingin
memperjuangkan kelas proletariat dan membentuk masyarakat tanpa kelas dengan
penghapusan hak milik pribadi.
Keempat, mengutip pemikiran tokoh secara sembrono. Sejak awal
hingga akhir buku, Munir berkali-kali meminjam pemikiran tokoh-tokoh tanpa
mengambil jarak teoritis yang jelas di antara mereka. Dengan kata lain, ia
seenaknya mengutip Fazlur Rahman, Asghar Ali, Eko Prasetyo dsb tanpa mengambil
batas-batas teoritis yang jelas diantara mereka. Apa yang dilakukan Munir ini
tak ubahnya dengan orang yang pertama kali mengenal filsafat.
Terakhir, Perlunya menyempurnakan pandangan Nabi Muhammad
SAW dan Karl Marx. Menurut saya, pandangan dua tokoh ini perihal sosialisme
atau masyarakat tanpa kelas yang dipaparkan oleh Munir, masih kurang sempurna.
Ia sama sekali tidak menyorot bagaimana cara mewujudkan sosialisme ala Nabi Muhammad
SAW. Di samping itu, gagasan-gagasan Marx mengenai nilai lebih, fethisisme
komoditi dan akumulasi juga sama sekali tidak disorot olehnya.
Judul : Muhammad SAW & Karl Marx: Tentang Masyarakat Tanpa Kelas
Penulis : Munir Che Anam
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : Tahun 2008
Tebal : 289 halaman
ISBN : 9786028055390
Peresensi : M. Akbar Darojat Restu Putra