Pada dasarnya kesehatan adalah anugerah utama yang harus selalu disyukuri. Dengan kondisi sehat, kita bisa beraktivitas secara optimal. Kasus menarik adalah ketika banyak orang takut memeriksakan kesehatan ke pakar, semisal ke dokter setelah orang merasakan kemunculan gejala-gejala yang tidak enak dirasakan tubuh. Tapi apakah segala gejala itu ‘harus selalu’ kita periksakan ke dokter (?). Mahatma Gandhi (1869 – 1948), pejuang kemerdekaan India punya jawaban menarik.
Kesehatan adalah topik menarik. Di masa pandemi korona virus, masyarakat menjadi lebih sadar pada kesehatan. Pemerintah melakukan berbagai cara untuk mensosialisasikan bagaimana tata cara hidup yang sehat. Namun apakah yang dimaksud sehat itu? Toh tiap orang memiliki definisi dan standarnya masing-masing. Dalam konteks kesehatan ragawi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefisisikan “sehat” sebagai “(1) baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit); waras dan (2) (yang) mendatangkan kebaikan pada badan (kbbi.kemendikbud.go.id).
Gandhi bukanlah lulusan akademi kesehatan/kedokteran. Ia menempuh pendidikannya sebagai seorang pakar hukum (pengacara). Uniknya, Gandhi menuliskan buku tentang kesehatan yang berjudul “A Guide to Health”. Buku ini tidak serumit perspektif keilmuan medis yang kadang sulit dicerna oleh orang-orang awam (non-medis). Kelebihan buku ini, Gandhi meletakkan perspektifnya pada ilmu antropologi kesehatan serta mudah dipahami awam. Terlihat ketika ia menuliskan keluhannya, “
Kita telah terjebak kebiasaan mendatangi dokter untuk penyakit-penyakit paling sepele. Bilamana tidak ada dokter yang biasa tersedia, kita hanya mendengar nasihat dari dukun. Kita menderita delusi fatal bahwa tidak ada penyakit dapat disembuhkan tanpa obat” (h.10).
Kemudian Gandhi memberikan ‘diagnosanya’, “Kondisi sakit atau penyakit hanya peringatan Alam bahwa kotoran manusia telah menumpuk di satu atau beberapa bagian dari tubuh; dan pastilah menjadi bagian dari pikiran sehat untuk membiarkan Alam meyingkirkan kotoran, alih-alih menutupinya dengan bantuan obat-obatan. Mereka yang meminum obat-obatan sesungguhnya membuat tugas Alam bertambah susah” (h.10-11).
Gandhi berpandangan bahwa harus ada keselarasan manusia dan Alam. Ketika ada yang tidak beres pada tubuh manusia, berarti ada keseimbangan Alam yang terkoyak dalam diri manusia.
Buku ini terbagi menjadi dua bab. Bab pertama memaparkan bagaimana pandangan Gandhi tentang makna kesehatan, tubuh manusia, makan dan makanan, olahraga, pakaian, hubungan seksual, dan elemen air serta udara. Pada Bab kedua, Gandhi membahas praktik-praktik pengobatan yang mudah serta alami menggunakan udara, air dan tanah. Lalu pengobatan berbagai penyakit, tentang kehamilan dan persalinan, pengasuhan anak serta pertolongan pertama pada gigitan hewan berbisa.
Antara Ilmiah dan ‘Kontoversi’
Pandangan Gandhi tidak bisa dipisahkan dari kuatnya kondisi sosio-kultural masyarakat India pada saat itu. Gandi yang menganut agama Hindu mencontohkan dalam bab “makan” bahwa untuk menjaga kesehatan, Gandhi menyarankan untuk berpuasa setidaknya sekali dalam dua minggu. Hal ini dinisbatkan pada “banyak orang Hindu yang saleh makan hanya satu kali dalam sehari selama musim hujan” (h.70).
Dengan pendekatan antropologi medis, Gandhi menyimpulkan, “Saat udara lembab dan langit berawan, organ-organ pencernaan lebih lemah dari biasanya, sehingga perlu ada pengurangan dalam jumlah makanan (h.70)”. Ajaran berpuasa adalah ajaran universal di banyak agama. Penelitian ilmiah tentang puasa juga sudah banyak dilakukan oleh para pakar dan relasi positif antara kesehatan dan kebiasaan berpuasa banyak didapatkan.
Terkait penyakit cacar yang saat itu menjadi wabah di banyak belahan dunia. Gandhi tidak ambil diam. Ia ikut mengkritisi pandangan masyarakat India saat itu yang menganggap penyakit cacar sebagai dewa (h. 125). Pandangannya yang jernih dan ilmiah mencerahkan masyarakat luas. Menurutnya cacar disebabkan, seperti halnya penyakit-penyakit lain, karena darah menjadi tidak murni akibat gangguan usus; dan racun yang menumpuk dalam system tubuh dikeluarkan dalam bentuk cacar (h.125).
Tetapi ada pernyataannya yang ‘kontroversial’, sesuai dengan konteks masa itu. Gandhi adalah golongan “anti-vaksin”, merujuk pada istilah zaman now. Ia menganggap vaksin adalah “praktik bar-bar, dan merupakan salah stau yang paling fatal dari semua delusi yang timbul pada masa sekarang, yang tidak ditemukan bahkan di antara ras-ras manusia yang disebut biadab di dunia” (h.126). Lanjut Gandhi melawan vaksinasi, “Selain itu, vaksinasi adalah proses sangat kotor, karena serum yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia menyertakan tidak hanya sapi, tetapi juga dari pasien cacar yang sebenarnya. Seornag pria biasa, bahkan akan muntah hanya dengan melihat hal ini” (h.127).
Pandangannya ini tidak melulu kontoversial. Gandhi pun memiliki saran-saran yang bisa kita refleksikan dalam kondisi wabah virus korona ini. Ia menyarankan kepada siapapun yang menjadi korban keganasan wabah atau penyakit menular agar “mereka tidak boleh, dalam keadaan apapun, bersikap panik, karena rasa takut selalu melumpuhkan saraf dan meningkatkan bahaya kematian” (h.137).
Dalam buku ini, Gandhi cukup banyak menguti pendapat para pakar dan dokter yang bisa memperkuat argumennya. Jika masyarakat Jawa mengenalkan jamu sebagai obat alami, Mahatma Gandhi dan tradisi India juga banyak menggunakan elemen-elemen alam sebagi obat. Semisal elemen tanah. Dia menceritakan pengalamannya ketika mengobati pusing dengan melilitkan perban lumpur ke sekeliling kepala (h. 114). Penyakit pencernaan juga dapat disembuhkan dengan menggunakan tapal lumpur pada perut selama dua atau tiga hari (h. 114). Juga masih banyak lagi pengobatan alami yang Gandhi wariskan pada buku ini.
Kesehatan bagi Gandhi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Namun dia bukanlah orang yang menganggap kesehatan dinilai secara ragawi saja. Kesehatal jiwa/mental menjadi perhatiannya juga. Ketegasannya dan keteguhan pandangannya sangat tampak pada jalan hidupnya untuk Brahmacharya (pria dan wanita harus menahan diri dari bersenang-senang satu sama lain) (h.86).
Berhubungan seksual, bahkan memikirkan hal itu adalah pantangan tegas. Sehingga akal dan hati kita terbelenggu oleh nafsu. Itulah yang berusaha dihindari Gandhi untuk mencapai derajat kesehatan ideal dalam buku ini. Ia berpendapat, “Kita hampir tidak menyadari fakta bahwa ketidakmampuan mengendaikan nafsu adalah sumber penyebab semua kesombongan, kemarahan, ketakutan, dan kedengkian di dunia” (h.87).
Dan itu semua disebabkan ketidakseimbangan pada derajat kesehatan ragawi, jiwa, dan kontrol atas nafsu. Kesadaran kita yang meningkat mengenai isu kesehatan harus selalu dipelihara, meski pandemic besok akan berakhir kita harus melakukan hal yang sama. Puasa di masa pandemi bisa kita maknai dengan menahan diri berkumpul-kumpul dengan banyak orang, tidak lagi seenaknya untuk tidak mencuci tangan dengan sabun setelah bepergian, membiasakan pakai masker dan tentunya mengelola pikiran postif dan optimis.
Pengarang : Mahatma Gandhi
Penerbit : Bright Publisher
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2017
Tebal halaman : 176 halaman
ISBN : 978-602-6657-55-8
Peresensi : Maulana Malik Ibrahim (Santri Ponpes RKSS)