“Patriotisme
merupakan kejahatan di negara penjajah. Tapi, patriotisme merupakan sebutan
Agung di negeri yang dijajah. Karena ia mengejar keadilan, kemerdekaan, dan
harga diri sendiri” (Mahbub Djunaidi, h. 45)
Demikianlah lontaran kata-kata Mahbub pada
buku “Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan” di dalam buku ini. Bagi wartawan
sekaligus aktivis sekaliber Mahbub, sebuah lontaran kata tentu tidak berangkat
dari ruang kosong. Ada analisis matang dan data komprehensif yang mendasarinya.
Pada buku tipis bersampul orange inilah Mahbub
memaparkan analisis dan data yang menjadi dasar argumentasinya. Buku yang
tipisnya menyerupai tempe goreng pasar turi ini sebenarnya merupakan buku lawas
yang ditulis oleh tokoh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tersebut.
Buku ini diterbitkan pertama kali oleh PT.
Al-Ma’arif Bandung pada tahun 1975 dengan jumlah halaman yang hanya 70 lembar.
Setelah sekian lama tidak beredar lagi, buku yang merekam peristiwa penting di
Filipina Selatan ini akhirnya diterbitkan ulang pada Juli 2020 oleh penerbit
Buku Revolusi yang bekerjasama dengan CV. Karya Jaya Sentosa.
Menurut Isfandiari, putra Mahbub Djunaidi,
buku ini merupakan sebuah karya jurnalistik berupa depth reporting. Rekaman peristiwa, collecting data, evaluasi, wawancara, sampai pandangan subjektif
yang tajam ditunjukkan Mahbub dalam buku ini. Walhasil, terbitlah sebuah karya
jurnalistik yang ciamik nan inspiratif.
Mahbub memulai buku ini dengan penjabaran
satu dokumen penting yang lahir di Filipina Selatan. Dokumen itu
dikeluarkan dan ditandatangani oleh kelompok Islam yang merasa terpinggirkan
oleh pemerintahan pusat Filipina.
Manifesto 1 Mei
Dokumen tersebut adalah “Manifesto 1 Mei
1968”, yang ditandatangani oleh Datuk Utdog Matalam, bekas gubernur Cotabaco.
Dalam dokumen tersebut tergambar semangat Islam yang berapi-api, kekecewaan
sosial, kenangan manis sejarah silam, gelagat berontak, dan niatan mendirikan
sebuah Republik baru, terlepas dari induknya Filipina.
Mengenai wilayah Republik baru tersebut,
Manifesto berkata; Negara Islam meliputi wilayah Filipina bagian Selatan yang
penduduknya umat Islam. Wilayah tersebut adalah Cotabaco, Davao daerah, Kota
Zamboanga, Basilan, Lanao, Sulu, Palawan, serta pulau dan perairan sekitarnya
yang berada dibawah pengaruh umat Islam. Mereka menamai Republik baru itu
dengan nama “Republik Mindanao dan Sulu atau disingkat RMS”.
Seperti yang telah tergambar dalam
Manifesto, dasar dari adanya tuntutan keras dari umat Islam tersebut adalah
kekecewaan yang mendalam atas sikap pemerintah terhadap umat Islam di Filipina
bagian selatan. Kekecewaan yang telah
lama dipendam oleh umat Islam tersebut
mendapat momentumnya saat deklarasi Manifesto 1 Mei 1968.
Sebelum Manifesto 1968 dicetuskan
sebenarnya ada beberapa peristiwa yang memicu kemarahan umat Islam. Salah
satunya adalah “Peristiwa Corregidor” yang terjadi selang dua bulan sebelum
deklarasi Manifesto.
Singkatnya, peristiwa itu merupakan
penjagalan serta pembunuhan terhadap sejumlah pemuda Islam yang sedang
menjalani pelatihan militer oleh Civil Affairs Office di sebuah daerah yang
bernama Cortregidor. Pelatihan militer tersebut dikomandoi oleh Eduardo
Martelino, salah satu pimpinan di Departemen Pertahanan Filipina dibawah
perintah langsung dari Presiden Filipina, Ferdinand Marcos.
Tidak diketahui pasti apa tujuan Martelino
maumpun Presiden Marcos mengadakan pelatihan militer tersebut. Menurut Arula,
salah seorang peserta yang lolos dari penjagalan tersebut, tujuan diadakannya
pelatihan militer adalah untuk merebut Sabah secara paksa dari Malaysia. Tapi jika
itu tujuannya, lantas mengapa peserta pelatihan malah diberondong senjata?
Atas dasar itulah kemudian umat Islam
berang terhadap pemerintah Filipina. Manifesto 1 Mei 1968 merupakan puncak dari
kemarahan umat Islam di Filipina Selatan. Selain itu, ketegangan antara umat
Islam dengan umat Nasrani yang mendiami wilayah Utara juga menjadi sejarah
panjang penyebab berangnya umat Islam.
Umat Nasrani yang selama ini mendiami
wilayah Utara Filipina (pulau Luzon dan Visayas) menjadi alasan yang cukup kuat
bagi umat Islam untuk menyatakan keinginan berpisah dari Negara Filipina. Hal
itu dikarenakan sikap umat Nasrani yang keblinger
dalam beberapa tahun silam. Bagaimana tidak? Umat Nasrani senantiasa
menunjukkan keinginannya untuk memonopili kepemimpinan dan kemeriahan kota-kota
besar, tanpa memberikan kesempatan kepada umat Islam (h. 5).
Umat nasrani memonopoli kekuasan hanya
untuk daerah Utara saja. Sementara daerah Selatan yang notabene ditempati oleh
umat Islam tidak disentuh sama sekali. Jadilah Filipina Selatan sebagai wilayah
tertinggal diantara banyak wilayah di Negara Filipina (layaknya Papua di
Indonesia).
Sejarah
Panjang yang Kelam
Usut punya usut, konfrontasi yang terjadi
antara dua agama ini ternyata berasal dari satu sumber yang sama. Sejarah kelam
masa lalu menunjukkan titik terang mengapa ada jurang yang sangat dalam antara
wilayah Utara dan wilayah Selatan. Sejarah itu bernama Kolonialisme dan
Imperialisme. Kedua “isme” ini menjadi dalang dibalik perseteruan panjang
antara umat Nasrani dan umat Islam di Negara Filipina.
Semua bermula ketika Imperium Spanyol
menginjakkan kakinya di Negara Filipina. Sebagai Negara penjajah, Spanyol tentu
berusaha membuat seluruh Filipina tunduk dan patuh. Sebagian rakyat Filipina
pada akhirnya tunduk kepada Spanyol, baik dari segi kekuasaan maupun
kepercayaan. Mereka yang tunduk kepada Spanyol kemudian memeluk agama Nasrani.
Sementara di sisi lain, banyak pula yang
menentang dan tak mau tunduk terhadap Spanyol. Mayoritas mereka yang masih
memegang idealisme kebangsaan itu adalah orang-orang yang beragama Islam.
Mereka terus melakukan perjuangan dan pergerakan menolak Spanyol dari tanah
mereka, Filipina.
Mereka menolak lewat berbagai cara, mulai
pemberontakan-pemberontakan, statuta kenegaraan, hingga kongres dunia. Sayang
perjuangan mereka belum menemukan titik terang, setidaknya sampai Mahbub
menulis buku ini.
Pada akhirnya, Spanyol memakai politik adu
domba untuk mengamankan posisi mereka dari gencarnya pemberontakan umat Islam.
Spanyol memakai umat Nasrani sebagai pion untuk membuat konfontrasi semakin
pelik.
Kebijakan politik tatktiknya pun cenderung
pilih kasih. Wilayah pengikut mereka (umat Nasrani) dibangun sedemikian rupa,
dipoles dengan berbagai kecanggihan. Kebijakan tersebut mempengaruhi mindset
umat Nasrani hingga akhirnya mereka pun ikut meminggirkan umat Islam.
Tinggallah wilayah Selatan Filipina yang
tandus dan gersang. Jauh dari peradaban teknologi dan pendidikan. Infrastruktur
terbengkalai, ekonomi sulit, budaya terbelakang. Umat Islam dianaktirikan
sedemikian rupa karena idealismenya.
Pada tahun 1898, Filipina oleh Spanyol
diserahkan kepada Amerika Serikat setelah peperangan yang terjadi antara
keduanya. Filipina merupakan bungkusan warisan yang pindah tangan (h. 48).
Pengharapan
Seiring berjalannya waktu, kebobrokan
kekuasaan Filipina (yang didalangi oleh Amerika Serikat) terus menuai
kekecewaan publik. Pada waktunya, kekecewaan tersebut tidak hanya dirasakan
oleh umat Islam saja, namun juga lapisan masyarakat yang lain.
Terbukti pasca dekade 60an, muncul suatu
gerakan baru yang diinisiasi oleh salah seorang pimpinan Katolik Filipina, Raul
S. Manglapus. Gerakan ini diberi nama Christian Social Movement. Secara
gagasan, gerakan ini menolak kapitalisme, liberalisme, ataupun komunisme (h. 69)
Tujuan kongkritnya adalah supremasi
kesejahteraan rakyat Filipina. Mengupayakan rumah bagi para penduduk, memberikan
tanah bagi para petani, menjamin pekerjaan para buruh, dan perjuangan
kerakyatan lainnya.
Gerakan itu kemudian disambut dan
diapresiasi oleh banyak kalangan. Beberapa pimpinan lapisan masyarakat juga
ikut bergabung di dalamnya. Bahkan salah satu pimpinan umat Islam yang berada
di pemerintahan, Mamintal A. Tamano, juga ikut menyetujui dan menyepakati
gerakan tersebut.
Sejak saat itu kesadaran masyarakat
Filipina mulai terbangun, perlahan tapi pasti. Masyarakat mulai menyoroti
kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Pembelaan terhadap kaum
minoritas mulai diperbincangkaan dan disikapi dengan bijak. Walau hal tersebut
tidak bisa memutus secara penuh rantai kebencian yang diciptakan oleh
kolonialisme, setidaknya pola pikir masyarakat mulai bergerak kearah yang lebih
positif.
Pergolakan umat dan rakyat tentu masih
ada, karena hal itu adalah keniscayaan dalam demokrasi. Selain itu, pergerakan
dan perjuangan kebangsaan yang telah diupayakan sejak lama harus terus
berlanjut. Sikap bijak rakyat dan umat adalah jawaban atas banyak problematika
yang ada.
Demikian pula dengan Mahbub Djunaidi yang telah mengupayakan dan membuka tabir intelektual dalam buku ini. Tentu harus disikapi dengan cermat dan bijak oleh kita sebagai pembaca. Karena pembaca yang baik adalah pembaca yang mampu mengolah bacaannya dan tidak terburu-buru dalam menyimpulkan hasil telaahnya.
Judul Buku : Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan
Penulis : H. Mahbub Djunaidi
Penerbit : Buku Revolusi
Cetakan : Pertama, Juli 2020
Tebal : 124 Halaman
ISBN : 978-623-91694-7-3
Peresensi : Nanang Bagus Zuliadi