![]() |
Resensi Buku Melawan Lupa Menepis Stigma dari Ravi Oktavian |
Resensi buku seperti ini berat, tetapi
penting untuk generasi muda yang tidak mengalaminya secara langsung. Peristiwa
G30S/PKI atau yang sekarang lebih nyaman disebut dengan G30S, selalu menjadi
bahan perbincangan menarik di penghujung September setiap tahunnya. Masih hangat dalam ingatan di tahun 2019, saya
dan sejumlah kawan berdebat tentang Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang hendak
memperingati G30S. Dengan nada merayakan sebuah hari bahagia, mereka
menggunakan diksi “selamat”. Perbedabatan bergulir dan mengahantarkan kami pada
diskursus panjang dan terbuka mengenai kebenaran factual peristiwa tersebut.
Saat
itu tidak bisa dipungkiri perasaan kami sungguh was-was, tsayat acara akademis
semacam ini dibubarkan intel berbaju preman. Tetapi kami merasa senang pasca
keluar dari ruangan diskusi dengan menuntaskan pembahasan. Sayangnya, di tahun
ini keadaan berbeda. Tidak ada lagi diskusi, nonton film bareng, atau sekedar kongkow santai membahas peristiwa ini,
perkuliahan saja dilsayakan secara daring. Semua berkat Covid-19.
Tidak
kehabisan minat dan akal, cara lain kutempuh untuk menyegarkan kembali
pemahaman mengenai G30S itu di kondisi seperti ini. Saya membaca sebuah buku
karya Asvi Warman Adam berjudul Melawan
Lupa, Menepis Stigma: Setelah Prahara 1965. Buku ini adalah ulasan-ulasan
mengenai beberapa kajian peristiwa G30S. Saya membuat sedikit cacatan dari buku
setebal 216 halaman ini dan kali ini ingin kubagikan kepada kalian yang
bersedia menatap tulisan ini, dan menggesernya ke bawah hingga rampung.
Kepingan-kepingan Fakta G30S
Hal yang selalu menjadi poin utama dalam
pembahasan G30S selalu menjurus pada pertanyaan “Siapa dalang dan pihak yang
terlibat dalam G30S?”. Jawaban sudah diberikan dalam versi pemerintahan
Soeharto yaitu, PKI-lah pihak yang musti bertanggungjawab mengemban beban
“orang yang salah”. Sementara Soekarno yang dekat dengan PKI tersudutkan serta
dianggap sebagai dalang. Namun, pasca reformasi narasi Orde Baru mendapatkan
banyak gugatan dan akhirnya memunculkan banyak versi mengenai keterelibatan
beberapa pihak dalam G30S.
Kerstin
Beie dalam bukunya yang berjudul Apakah
Soekarno Terlibat Peristiwa G30S? (Ombak, 2004), mengungkapkan paling tidak
ada beberapa teori tentang dalang G30S. 1) Partai Komunis Indonesia, 2) Perwira
Progresif, 3) Angkatan Darat (AD) dan Seoharto, 4) CIA, 5) Chaos atau dalangnya tidak tunggal, dan 6) Seokarno.
Tetapi dalam buku yang
sedang saya resensi, Asvi merasa teori Kerstin terlalu ksaya dan sangat sempit
untuk Peristiwa G30S. Asvi menentang teori tersebut dengan menuliskan:
“Tidak jelas mengapa penggolongannya seperti ini. Kenapa AD digabungkan
dengan Soeharto? Kalau bung Karno menjadi kategori tersendiri kenapa Soeharto
tidak diperlsayakan sama. Bahkan belakangan ini “kudeta merangkak” Soeharto
semakin sering disebutkan. Di samping itu, bagian dari AD seperti Kodam
Diponegoro sebetulnya bisa juga dianggap sebagai kategori sendiri. Demikian
pula unsur luar negeri, bukan hanya CIA, tetapi dinas rahasia Inggris pun
disebut-sebut ambil andil dalam penghancuran komunis” (h.. 12).
Saya dapat mengerti
ulasan Asvi yang memandang Perstiwa G30S bagaikan gelas pecah. Sementara
dalang-dalang yang diduga terlibat adalah kepingan pecahan gelas yang
masing-masing tajam dan tumpul. Dengan bukunya ini Asvi mencoba mengulurkan
kepingan yang ada ditangannya, lalu membandingkannya agar kita bisa melihat
kerangka gelas tersebut lebih jelas.
Selain mencoba untuk
menguraikan teori-teori dan beberapa kelemahan dan kekurangan dari teori
mengenai Peristiwa G30S, buku ini juga mencoba menawarkan pendekatan lain untuk
mendapakan kebulatan cerita. Dengan menggunakan pendekatan melihat dari
berbagai aspek yang ada, Asvin memulai dari kajian pra kejadian G30S, berbagai
kajian mengenai beberapa tokoh lain di luar dalang-dalang yang dibahas dalam teori
Kerstin.
Contohnya pada bagian
pertama buku ini, semua sudut pandang coba dijabarkan mulai dari tokoh berunsur PKI seperti D.N Aidit, Sjam Kamaruzzaman,
Untung, dan beberapa nama lainnnya. Beberapa dari kalangan militer seperti
pasukan kusus Chakrabirawa, Angkatan Darat (termasuk di dalamnya Soeharto),
hingga para petinggi di Angkatan Udara RI (seperti Omar Dani dan Latief), dan
unsur parlemen yang dalam buku ini diwakili oleh Jenderal A.H. Nasutioin (meski
juga mewakili kalangan militer).
Asvin berusaha
mendapatkan jawaban dari pertanyaan “mengapa harus ada Peristiwa G30S” melalui perbandingan
kisah para tokoh-tokoh tersebut. Upaya buku ini mampu memberikan alternatif
bagi setiap orang yang ingin mengetahui peristiwa berdarah di akhir September
tersebut. Bahwa kepingan itu nanti akan bisa disusun oleh para pembaca menjadi
sintesis yang paling baik, tentu saja tergantung dari sudut pandang menilai
setiap ulasan Asvi dalam buku ini.
Kebenaran tetap ada, tetapi masih tetap menjadi bagian dari dimensi lain. Fakta-fakta keras tetap bisa digugat jika terdapat bahan bukti lainnya. Buku ini memberikan pengetahuan kepada kita bahwa realitas masa lalu selalu bisa dijangkau, tetapi juga susah karena masa lalu dan segala sesuatunya tetap menjadi bagian dimensi lain.
Dalam narasi umum yang
disebarkan Orde Baru, peristiwa G30S adalah kejadian maha dahsyat di Indonesia
yang terjadi dalam waktu semalam. Peristiwa mengenai penculikan dan direnggutnya
nyawa 5 jenderal di Lubang Buaya tersebut didguga oleh komplotan PKI. Saya pun
berfikir seperti itu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, tetapi
ternyata tidak sedemikian sederhana itu.
Asvi
melalui bukunya menjelaskan rangkaian tersebut dalam fase-fase. Pertama,
persitiwa semalam pada tangggal 30 September 1965. Kedua, penangkapan,
penahanan, perburuan, pembunuhan massal yang memakan korban minimal setengah
juta jiwa 1965/1966. Ketiga, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri
sehingga mereka menjadi orang terbuang (manusia eksil). Keempat, pembuangan
paksa lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru (1969-1979). Kelima, sebagai epilog
adalah stigma dan diskriminasi terhadap jutaan keluarga korban 1965.
Saya
mulai merasa miris kepada bangsa ini ketika membaca bagian kisah mengenai
dampak-dampak peristiwa G30S, terutama bagi mereka yang dianggap sebagai orang
“salah” dan “korban”. Stigma negatif timbul pada mereka dan tidak berhenti
meskipun nyawanya telah melayang. Salah satu contohnya menimpa Heru Atmodjo
yang semasa hidupnya memiliki prestasi bintang gerilya lalu ketika meninggal di
makamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Namun, karena dianggap sebagai
wakil komandan G30S, kuburannya dibongkar dan jenazahnya harus dipindahkan dari
tanah tersebut pada tahun 2011 (h. 77-78).
Banyak
pihak mencoba memperingatinya dengan berbagai cara, salah satunya menonton film
Pengkhianatan G30S/PKI tetapi lebih
memilih memperingatinya dengan cara saya sendiri yaitu, mencari kebenaran lain
dari membaca buku ini. Lalu, apa yang kalian lakukan untuk mengenang peristiwa tragedi
kemanusian tersebut?
Judul : Melawan Lupa, Menepis Stigma:
Setelah Prahara 1965
Penulis: Asvi Warman Adam
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Tahun Terbit: 2015
Tebal Halaman: xxiv+216 halaman
Peresensi: Ravi Oktafian, Mahasiswa
Sejarah Undip