Pramoedya, Jimat Dukun dan Gagalnya Meraih Nobel Sastra

 

Resensi Buku Pramoedya Dari Dekat Sekali oleh Ahmad Muqsith

Pramoedya, Jimat Dukun dan Gagalnya Meraih Nobel Sastra

Membaca buku Pramoedya Dari Dekat Sekali  seperti menonton sinetron dimana Pram adalah tokoh utamanya. Dinamika dan drama kehidupannya diringkas dan terpotret dari dekat, karena yang menulis adalah adiknya sendiri, yang sekaligus rekan kerja. Koeslah sendiri memberi tanggal di setiap sub judul tulisan, mulai dari Desember 1981 sampai 20 April 2006 (Pram meninggal 30 April 2006). Kita diajak terlibat dalam setiap babak kehidupan Pram, melihat perkembangan sikap dan jalan hidupnya semasa kecil, awal merantau ke Jakarta, dan menikmati kesuksesan di masa tuanya.

Apa yang menarik dari membaca buku tentang tokoh besar, adalah tentang rahasia kemanusiaanya yang tersimpan dari khalayak umum. Tidak peduli sebesar apapun seorang tokoh, selalu ada sisi dimana dia seperti orang-orang biasa. Tetapi dari hal yang biasa itu tetap membuat kita mampu meneladani hal-hal yang membuatnya menjadi besar.

Meski sudah banyak buku tentang kisah kehidupan Pramoedya, buku ini tetap menarik untuk direkomendasikan agar pembaca bisa lebih dekat dengan Pramoedya dari sisi Pram sebagai manusia biasa seperti kebanyakan kita. Membaca buku seperti ini seperti membaca dan menguping peristiwa melalui mata dan telinga Pram, tentu saja juga melalui perspektifnya.

Sebagai pondasi seluruh karyanya, kita diajak mengenal betapa keras kepala dan tekad Pramoedya melawan feodalisme sampai di setiap sendi terkecil kehidupannya. Bayangkan saja, waktu acara sungkeman di nikahan anaknya misal, ia tidak mau, meski dibujuk anaknya senidri, ia tetap tak bergeming. Dalam novel-novel karyanya, tentu kita tidak asing betapa Pram mengkritik gestur sungkem yang harus menunduk-nunduk itu.

Pramoedya Sebelum Dewasa

Pram kecil dianggap remeh oleh ayahnya, salah satunya mungkin karena ia mengulang kelas beberapa kali sewkatu sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD). Ia dekat dengan ibunya, berkomunikasi berbahasa belanda, kadang menggunakan bahasa jawa kromo, meski ia sendiri mengakui tidak menyukainya (menggunakan kromo).

Saya menangkap puncak dendam Pram pada ayahnya ada dua babak. Pertama saat ditolak permintaanya untuk sekolah lagi karena dinilai terlalu bodoh. Kedua, saat adiknya, Pra dapat kiriman uang sewaktu tinggal bersama Om Dig, sementara surat Pram yang meminta uang untuk beli buku tak berbalas.

Pram muda menjual berbagai barang, termasuk rokok klobot (kulit jagung) di pasar malam sewaktu di Blora. Keuntungan penjualan tersebut, ditambah simpanan uang ibunya, ia gunakan untuk bersekolah lagi ke Surabaya, jurusan radio, ia beranggapan jurusan tersebut membutuhkan waktu yang cukup pendek untuk menyelesaikannya, sehingga tidak membutuhkan banyak biaya. Sebagai pecandu rokok, Pram juga memberi kata pengantar pada buku Mark Hanusz, Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes terbitan Equinox Publishing, tempat buku Pram dicetak dan didistribusikan di Amerika.

Pram kecil suka mendongeng untuk adik-adiknya yang ia kumpulkan di atas dipan. Pram sendiri mengaku jika salah satu dorongan dirinya banyak menulis adalah tanggungan mengurus adik-adiknya yang banyak. Ibu Pram sendiri meninggal di usia 34 tahun.

Pram bisa sekolah di taman Siswa berkat pamannya, Moedigdo (Om Dig) yang menampungnya. Pram rela mengerjakan semua pekerjaan rumah karena ia sadar berkat itu ia bisa sekolah. Pamannya juga yang akhirnya membawanya bekerja di Majalah The Voice of Free Indonesia. Selanjutnya, A.K. Hadi mengajak Pram bergabung ke militer dengan tentara Siliwangi.

A.k. Hadi adalah teman Pram sewaktu di taman siswa Kemayoran, Jakarta. Ia sering disebut sebagai pengarang yang lebih baik dibanding Pram. Bahkan Pram juga mengakui, yang jadi pembeda Pram terus menulis tetapi dia memilih jadi pegawai negeri. Dari dia Koeslah mengetahui awal Pram mendapatkan istri pertamanya dari dinas militer sewaktu di Purwakarta (h. 178).

Dalam buku ini kita jadi tahu jika Koeslah juga pintar mencari legitimasi pram untuk membenarkan atau sekedar menjawab argumennya mengenai beberapa isu atau tokoh besar. Seperti menemukan jawaban mengenai Agus Salim yang disebut cecenguk Belanda karena melaporkan beberapa informasi mengenai beberapa tokoh nasional awal, atau mengenai Soekarno yang Pram nilai belum ada tandingannya. Pram sangat mengidolai Soekarno, bahkan ia bulat melihat Soekarno tanpa celah.

Selain itu kita juga bisa melihat siapa dan kenapa tokoh-tokoh membenci dan mengaggumi Pram. Salah satunya adalah kisah persahabatan Pram dengan Mahbub Djunaedi, Pram bahkan sempat berkunjung ke Bandung. Hal ini karena Mahbub membela Pram mati-matian disaat yang lain menyerangnya.

Salah satu nilai tawar yang menarik buku ini adalah kutipan-kutipan wawancara Pram dengan berbagai surat kabar, majalah baik dari Indonesia atau dari luar. Wawancara ini selalu menampilkan sudut pandang baru mengenai topik yang sedang ramai dibahas.

Ada penggalan wawancara Pram dengan Perguruan Rakyat, sekolah yang lahir paska sumpah pemuda. Pram mengomentari taman siswa, ki hajar dewantara dan sistem pendidikan nasional. Fakta unik yang coba diungkap adalah tentang manifesto kebudayaan (Manikebu). Di sini Pram mengisahkan dirinya dalam lingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan dengan beberapa pimpinan Partai Komunis Indonesia, yang tidak jarang ia tidak sependapat dengan mereka.

"Semua sinis. Nyoto itu sinisnya sama  aku bukan main. Padahal aku termasuk pengagum dia"  Koeslah bertanya kenapa bisa begitu, jawaban Pram "Ya karena aku punya kepala sendiri! Orang-orang partai ini kan gak senang kalau ada orang punya pendapat sendiri" (h. 136).

Di lain kesempatan, Pram juga mengkritik strategi reforma agraria yang dijalankan Aidit di Bandung. Pram memang selalu punya cara pandang dan prinsip sendiri.

Pada peristiwa geger 65 sebenarnya banyak sahabat membela Pram dengan mengingkari bahwa ia bukan anggota Lekra. Tetapi Pram sendiri yang secara terbuka mengakui, bahkan dengan nada kebanggan. Dari sini akan kita lihat bagaimana awal ia sering dikritik oleh tokoh deklarator Manikebu, bahkan Mochtar Lubis memakai nama samaran untuk mengkritik Pram.

Kuatnya prinsip yang dimilikinya, membuat Pram sempat enggan melakukan lapor diri (tahun 1987) paska keluar dari tahanan. Pram sendiri sudah merasakan ditahan di Bukit Duri, Salemba sampai dibuang ke Pulau Buru. Pengalaman ini saya rasa begitu membentuk karakter Pramoedya.

Pramoedya dan Spiritualitasnya

Pram sendiri menyebut dirinya sebagai orang abangan, Islam, tetapi tidak sembahyang sebagaimana mestinya orang islam pada umumnya. Sepertinya ia menemukan jarak anatara agama dan realita. Hal tersebut ia ungkapkan saat masa kecilnya mengaji, banyak hal tidak masuk akal yang diajarkan padanya oleh guru ngaji belakang rumahnya.

Dalam hidup sengsara seperti itu Kita disuruh berdoa! Berdoa  itu kan mengemis! Dari mana ajaran itu. Siapa yang menciptakan Tuhan itu? Kita hidup kan bukan atas kehendak kita? Kita hidup sengsara, masih disuruh berterimakasih. Ini ajaran apa? (h. 216).

Pram sendiri percaya pada hal-hal imateril seperti ajaran patiraga (membuat raganya mati dan mengalihkan pikiran pada satu hal) yang ia lakukan di Pulau Buru. Ajaran ini dari ibunya, ia melakukannya untuk mencari petunjuk saat sedang putus asa dan sempat berpikir untuk bunuh diri. Pram mengaku jika ia berhasil mematikan raganya, dan mendapatkan pengalaman spiritual yang memberikan jawaban atas kegundahannya.

Kedekatan Pram dengan hal ini membuat keputusannya pergi ke dukun saat masih dinas di militer menjadi masuk akal. Ia mengaku kebal dari senjata tajam, dan beberapa insiden yang ia kira bakalan merenggut nyawanya ternyata bisa terselamatkan oleh jimat yang ia punyai.

Bagi Pram tulisannya bukan sekedar hiburan atau berhenti pada orientasi keuangan. Koeslah sendiri menjelaskan beberapa kali bagiamana Pram sangat menghindari pembicaraan mengenai uang, meski tentu saja beberapa kali ia mengeluhkan royalty yang telat dibayar. Bagi Pram sastra merupakan kewajiban pribadi sekaligus nasional. Tidak ada sastra dalam benak Pram sebagai masalah hiburan.

Koeslah juga menjelaskan secara singkat latar belakang lahirnya beberapa karya Pram. Kegagalan Pram meraih nobel sastra setelah bertahun-tahun masuk nominasi, menurut Jomo K.S.—yang mengusulkan Pramoedya untuk menerima penghargaan Fukuoka (Jepang) dan Magasaysay (Filipina)—Pram gagal meraih nobel karena panitia hanya membaca karya berbahasa inggris.

“Kalau inggrisnya jelek, ya, jelek. Terjemahan Harry Aveling itu kurang baik. Dan terjemahan Max Lane—Max Lane itu bukan oranng sastra,” analisis Jomo menjelaskan kenapa Pram gagal memenangi nobel.

 

Judul Buku                  : Pramoedya Dari Dekat Sekali

Penulis                         : Koeslah Soebagyo Toer

Penerbit                       : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan/ tahun            : Kedua/ 2018

Jumlah Halaman         : xv+ 272

Peresensi                     : Ahmad Muqsith