Selogan Masyarakat Konsumsi: Aku Belanja, Maka Aku Ada!

 

Resensi Buku Masyarakat Konsumsi oleh Ravi Oktavian


Selogan Masyarakat Konsumsi: Aku Belanja, Maka Aku Ada!

Saya meresensi buku Masyarakat Konsumsi karena tergelitik saat mendengar resolusi awal tahun teman saya. Katanya “Aku berharap di tahun 2021 nanti bisa membeli setiap barang tanpa harus melihat dahulu label harganya”. Sepintas tidak ada yang aneh dari kata-kata ini, bahkan saya yakin anda sekalian sangat memakluminya, atau bahkan anda sendiri pernah mengatakan ungkapan lain yang senada? Namun, bagi saya kalimat tersebut adalah pintu masuk membahas isu penting di sekitar kehidupan manusia modern.

Membeli, membeli, membeli, dan lalu kita merasa puas dan eksis. Saat seseorang memakan Humberger di McDonal’s, menjadikan seseorang seperti merasakan “hidup” dibanding memakan produk serupa dari pedagang keliling.  Saat seseorang berpakaian sesuai perkembangan tren terkini mengikuti kemewahan public figure membuat ia merasa modern tetapi merasa ketinggalan zaman jika tidak melakukannya. Kita tidak pernah berhenti “mengkonsumsi”, tidak mau, karena bisa-bisa kita tidak lagi merasa “sebagai manusia yang eksis”. Beranikah kita mengakui hal-hal tersebut?

Sebuah film berjudul Bebas berlatar waktu akhir masa Orde Baru yang beberapa waktu lalu saya tonton menampilkan hal yang serupa. Tokoh utama bernama Vina setelah masuk di sekolah di ibukota diejek oleh kawan-kawannya gara-gara memakai sepasang sepatu yang dianggap tidak sesuai tren. Sepulang sekolah ia merayu kepada ibunya minta dibelikan sepatu asal Amerika yang sesuai tren untuk bersekolah. Saya pun mencoba mengerti dan menerka apa yang saat itu ada dalam benak Vina “tanpa sepatu asal Amerika, aku tidak mungkin bersekolah, atau aku tidak bisa bergaul di sekolah”.

Fenomena-fenomena di atas telah menjadi sesuatu yang Jean Baudrillard coba ulik dalam karyanya  La Societe de Consommtion.  Karya tersebut kemudian dialih-bahasakan ke  bahasa Indonesia dengan judul Masyarakat Konsumsi.

Masyarakat yang Eksis dengan Konsumsinya

                John Storey (2010) memakai analisis dari beberapa ahli untuk mengungkapkan bahwa dalam diri setiap manusia telah kehilangan “sesuatu”. Untuk mendapatkan kembali sesuatu yang hilang tersebut, manusia selalu terjebak dalam pencarian tiada ujung. Namun, menurut tesis Karl Marx  pencarian tiada ujung tersebut bisa ditutupi dengan adanya produksi.

                Dalam buku ini, Baudrillard mengungkapkan hal yang bertentangan dengan tesis Marx. Menurutnya dalam masyarakat modern, pencarian akan sesuatu yang hilang itu tidak lagi dilakukan dengan produksi, tetapi melalui aktivitas konsumsi. Orang-orang mengenali diri mereka pada komoditas yang dikonsumsi. Dari mengkonsumsi tersebutlah mereka merasa lengkap dan merasa memiliki eksistensi di antara manusia lainnya.

Jika Rene Descartes mengatakan “aku berpikir, maka aku ada”, buku ini memberikan uraian yang lain,  aku mengkonsumi, maka aku ada”.

                Dalam buku ini Baudrillard menjelaskan bahwa telah terjadi permainan yang membuat barang kini tidak bisa lagi dipandang sebagai obyek dengan kegunaan aslinya. Akan tetapi, barang telah diberikan makna lebih di mata masyarakat (h. 6). 

Hal ini juga menjadi jawaban atas keresahan mengenai berbagai produk dengan label islami belakangan ini. Sepatu nilai gunanya sebagai alas kaki, sehingga orang berjalan tidak terluka telapak kakinya. Tetapi dengan membeli (mengkonsumsi) sepatu islami (berlabel halal) ada nilai lebih yang coba dibeli, merasa lebih relijgius misalnya.

Nilai guna bukan jadi faktor penting bagi masyarakat modern dalam menentukan apa yang akan mereka konsumsi, tetapi yang masyarakat modern pilih dalam menentukan konsumsi adalah makna lebih. Fenomena demikian disebut dengan konsumerisme simbolik, yang praktiknya bisa kita lihat dalam keseharian kita.

Contoh yang paling nyata adalah telepon genggam yang selalu diperbarui fiturnya pada edisi terbaru. Seseorang bisa saja memakai telepon genggam untuk berkirim pesan, menelpon dan alat bantu kegiatan sehari-hari (nilai guna).

Tetapi dalam konsumerisme simbolik merek telepon genggam sangat menentukan pilihan orang dalam melakukan konsumsi. Dengan fitur yang sama seseorang  bisa saja memilih Iphone dibanding Xiomi hanya karena ingin menampilkan kesan lebih kekinian dan menunjukkan kelas sosial tertentu (nilai lebih). Berbeda jika memilih Iphone karena memang punya nilai guna yang tidak dimiliki merek lainnya.

Terjebak Oleh Simulakra?

                 Salah satu hal yang tidak boleh tertinggal dalam pembahasan buku ini adalah soal simulakra. Di mata konsumerisme yang disebut oleh Baudrillard sebagai pemuja jimat, masyarakat malah menjadi obyek yang disedot oleh lubang hitam bernama konsumerisme. Secara tidak sadar menjebak atau dijebak dalam bingkai kepalsuan yang disebut dunia simulakra.

Masyarakat yang terjebak dalam simulakra digiring untuk mengkonsumsi sebanyak-banyaknya melalui persuasi pseudo kebahagian (kebahagian semu). Hal tersebut hanya manifestasi dunia ideal yang direproduksi untuk membangun bangunan kokoh bernama pembeorosan dan kemubaziran. Karena itu, dalam konsumerisme menurut Baudrillard tema-tema orang puritan tentang penghematan, kerja, harta warisan tidak lagi laku dalam masyarakat (h. 92).

Tahapan dunia simulakra adalah hiperrealitas, atau melampaui realitas sesungguhnya. Hal ini terjadi seiring budaya konsumsi yang dijejalkan di dalam setiap sendi kehidupan setiap individu melalui berbagai iklan. Iklan sesungguhnya mampu membangun realitas semu yang membuat realitas sesungguhnya menjadi kabur. Iklan produk kecantikan misal, mereka mencoba menghadirkan standar kecantikan versi mereka bahwa cantik itu; harus berkulit putih, berambut lurus, berpostur tinggi dll. Padahal realitas sesungguhnya tidak harus selalu begitu.

Yang menjadi pangkal dalam masyarakat hipperrealistas adalah adanya ketidaktahuan yang telah berubah menjadi suatu pengetahuan baru. Ketika tiba masanya masyarakat ini terbentuk dengan sempurna, maka hilanglah kemampuan mereka menggugat terhadap realitas sesungguhnya.

 Permainan seduksi dengan memanfaatkan media dan teknologi ikut membangun pondasi konsumerisme (perilaku konsumsi berlebihan) di masyarakat. Menurut Baudrillard lewat jalan media massa permainan tanda mendorong masyarakat agar lebih bersemangat lagi  dan lagi untuk mengkonsumsi sampai hilang kesadaran. Oleh sebab itu, media massa menjadi aktor penting dalam melipatgandakan pemborosan (h. 38).

Meski pengamatan Baudrillard tertuju pada masyarakat di Prancis, tetapi bagi saya hal ini sangat relevan terhadap semua masyarakat di belahan dunia manapun. Misalnya soal adanya stratifikasi sosial berdasarkan pilihan barang yang dikonsumsinya.

Status seseorang bisa dipandang tinggi karena pakaian yang sesuai tren dan merek tertentu, mobilnya yang mewah, atau juga merek telepon genggam yang dipakainya, semua didasarkan nilai tambah bukannya nilai guna. Meski anda sudah bisa memenuhi aktifitas anda menggunakan telepon genggam dari produk Xiomi, anda dianggap berada di strata sosial yang berbeda dengan pengguna Iphone.

Jean Baudrillard dengan bukunya Masyarakat Konsumsi, mencoba menampar kita terkait sedang berada di realitas mana sebenarnya kita dalam menjalani kehidupan. Apa benar setiap kita membeli barang selalu sesuai kebutuhan (nilai guna)? Atau jangan-jangan kita memaksa sampai berhutang untuk membeli sesuatu demi diakui kalau kita berada di posisi kelas sosial tertentu?

Kembali ke resolusi teman saya, bukan seberapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli barang, tetapi seberapa berguna barang tersebut bagi kehidupan kita? Ingat, setiap buku yang terbeli dan tidak terbaca, merupakan konsumerisme simbolik!

 

Judul Buku: Masyarakat Konsumsi

Penulis: Jean Baudrillard

Penerjemah: Wahyunto

Tahun Terbit: Cetakan ketiga, Maret 2009

Penerbit: Kreasi Wacana, Yogyakarta

Halaman: 284+xiviii halaman

Peresensi: Ravi Oktafian