![]() |
Siapa yang dimaksud Laki-Laki Baru?
Ini adalah buku yang berani menelanjangi
“baju” maskulinitas laki-laki secara langsung. Siapa yang disiksa dan merugi
karena patriarki? Anggapan umum mengatakan bahwa patriarki dalam kehidupan
sehari-hari telah menempatkan perempuan di lapisan ke dua, di bawah laki-laki.
Di tengah itu semua, laki-laki digambarkan sebagai sosok yang begitu hegemonik,
memuncaki hierarki dalam segala aspek mulai politik, ekonomi, hingga sosial-budaya.
Dari ruang publik hingga sektor paling privat.
Argumentasi tersebut
sedikit dilenturkan dalam buku ini untuk melihat laki-laki dari “dalam”,
sebagai sosok yang juga manusia biasa. Menurut penulis buku ini, Nur Hasyim, Patriarki ternyata juga
merugikan kaum pria.
“Patriarki memaksa laki-laki untuk bertindak, berperilaku, dan berpenampilan tertentu, baik dia menginginkannya atau tidak sama sekali. Sebab itu, patriarki berperan dalam proses penyeragaman laki-laki dan tidak memberikan ruang bagi laki-laki yang memiliki kecenderungan berbeda (alternatif) dari citra idealnya”(h.25-26).
Laki-Laki dan Patriarki
Berkat patriarki,
laki-laki memang telah mendapatkan sebuah keutungan: kekuasaan dan kontrol.
Berdiri sebagai kaum terdepan, sosok yang mampu memalingkan wajah dari segala
tindakan yang menindas perempuan. Namun, akhirnya mereka menemui dirinya dalam
cengkraman kecemasan untuk memenuhi standar umum yang dibangun oleh patriarki.
Kaum laki-laki tersedot
ke dalam lubang hitam yang disebut dengan “ketakutan” akan hilangnya kelaziman
yang dimilikinya. Misalnya perihal tugas menafkahi keluarga yang telah
membusungkan dadanya dan menjadikannya gagah. Akan tetapi, seketika itu juga
berubah menjadi beban ketika ada keharusan membuatnya terwujud. Ada kegelisahan
tak berkesudahan akan ketidakmampuan menyelesaikan misinya tersebut. Sebab itu,
patriarki tak ada bedanya dengan hitung mundur yang saling tidak menguntungkan
bagi kaum perempuan, juga kaum laki-laki. Mereka saling terbentur akibat
ledakan boom patriarki.
Demi melawan patriarki,
buku ini hadir membawa gagasan yang membentuk, menciptakan serta membangun apa
yang disebut dengan “laki-laki baru”. Hasyim menenteng kata-katanya untuk the new social movement. Diksi “Baru”
bukan hanya soal namanya, tetapi juga gaya gerakannya. Gerakan ini lebih
menaruh perhatian pada keterlibatan kaum lelaki untuk mengentaskan persoalan
ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Hasyim menyebutnya dengan
gerakan laki-laki pro-perempuan.
Penjelasan
Hasyim mengenai laki-laki pro perempuan memang memberikan sebuah pengetahuan
baru bahwa para lelaki telah mencoba berkoalisi. Namun, bibit dari laki-laki
pro perempuan sendiri seharusnya telah hadir jauh-jauh hari. Misalnya bisa
diruntut melalui kumpulan surat-surat yang berharga nan indah Door Duisternis tot Licht dari R.A.Kartini. Kartini mengakui bahwa di bawah
ketidakberdayaannya menghadapi tuntutan zaman kolonial yang tidak memberikan
ruang bagi perempuan, ada beberapa sosok laki-laki yang justru memberikannya
angin segar. Ada sosok ayahnya, kakak lelakinya, dan MR. J. H. Abendanon.
Lebih
dalam, buku ini memang ingin menyadarkan bahwa ketimpangan gender serta
kekerasan perempuan terjadi karena selama ini perempuan selalu berjuang di
garis depan “sendirian”. Padahal, ada dua pihak yang menjadi subjek dalam isu
patriarki, bukan hanya milik perempuan semata, melainkan juga laki-laki.
Dengan begitu, relasi
saling bermusuhan antara perempuan melawan laki-laki dalam narasi penyelesaian
isu ketimpangan dan kekerasan terhadap perempuan perlu diperbaharui menjadi
relasi yang saling berdampingan, berkoalisi sebagai patner atau mitra bersama.
Memang koalisi antara perempuan dan laki-laki dalam isu gender akan menimbulkan pertanyaan baru: apakah perempuan akan bisa bergerak sederajat? Apakah laki-laki tidak akan mengambil porsi yang terlalu besar dan mendominasi gerakan? Atau apakah gerakan ini tidak malah membuat kekuasaan laki-laki semakin kuat?
Kerelaan Laki-Laki
Menurut saya, buku ini
memberikan jawaban yang pendeknya terangkum dalam dua kata: kerelaan laki-laki.
Hasyim mengelaborasikan
“kerelaan laki-laki” itu dalam peta jalan laki-laki pro perempuan. Pertama,
mempreteli privilege yang dimiliki
laki-laki. Kedua, mentransformasikan ulang konsep maskulinitas bagi kaum
laki-laki, maskulinitas yang berdampingan dengan penyelesaian ketimpangan
gender, bukan memperkuatnya. Ketiga, menginternalisasikan dan
mengimplementasikan kesetaraan gender dan keadilan dalam kehidupan
sehari-sehari seorang laki-laki. Keempat, menjadi sekutu bagi perempuan dalam
upaya penghapusan ketidakadilan terhadap perempuan berbasis gender.
Melakukan “kerelaan
laki-laki” dari tahap awal hingga akhir menjadi PR berat bagi laki-laki itu
sendiri. Bukan hanya pandangan sinis yang bisa datang dari kaum perempuan,
tetapi juga sentilan dari kaum laki-laki sendiri yang hendak mempertahankan posisi
privilege-nya. Dengan demikian, Buku
ini adalah jembatan awal yang bisa dijadikan pegangan bagi para lelaki yang
tergerakan! Meskipun di buku ini tidak disebutkan, ketabahan ketika harus terasingkan
dari kaumnya sendiri serta keinsafan untuk memandang perempuan sebagai manusia
yang juga sama-sama makhluk Tuhan menjadi modal penting terwujudnya laki-laki
baru atau pro perempuan.
Judul: Good
Boy’s Doing Feminism, Maskulinitas dan Masa Depan Laki-laki Baru.
Penulis: Nur Hasyim.
Penerbit: EA Books.
Cetakan: Pertama, November 2020.
Halaman: xiv + 160 hlm.
Peresensi : Ravi Oktavian