Membaca Dinamika Tarekat Indonesia


Judul Buku : Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat
Pengarang : Martin van Bruinessen
Penerbit : Gading
Cetakan : Mei 2015
Tebal Buku : 596 hlm: 15,5x23,5 cm

Bagi kalian yang tertarik kajian tentang Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat buku karya Martin van Bruinessen ini cukup recomended untuk dibaca. Buku kumpulan tulisan Indonesianis asal negeri kincir angin ini berusaha mencari akar geneaologi historis, sosial budaya, dan politik dari ketiga objek tersebut.

Martin dalam buku ini begitu serius melakukan apa yang oleh Abdurrahman Wahid sebut sebagai pencarian kebenaran ilmiah atas Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.  Usaha ini tidaklah mudah mengingat selain ketiga objek di atas memiliki keterbatasan referensi (ilmiah) juga syarat akan muatan nilai mitologis.

Selain pencarian ilmiah pembacaan ketiga objek di atas menjadi menarik mengingat “sang pembaca” adalah “orang luar”. “Orang luar” cenderung lebih leluasa menuliskan hal-hal yang dianggap tabu seperti dalam alam tarekat, karena tarekat erat kaitannya dengan hal-hal ukhrawi. Martin berhasil membumikan hal-hal yang berkaitan dengan tarekat.
Dalam konteks politik misalnya bagaimana dulu tarekat di Indonesia dan di belahan dunia lain dijadikan alat untuk berjuang melawan pemimpin yang lalim, sampai pada masanya tarekat menjadi sangat pragmatis. Di Indonesia, tarekat digunakan untuk kendaraan politik membuat relasi simbiosis mutualisme dengan penguasa di era Orde Baru.

Pertanyaannya kemudian apakah sikap militan dalam tarekat memang melekat padanya atau suatu hubungan kebetulan saja? Apakah ada faktor ajaran atau amalan yang mendorong kepada militansi politik? Atau perlawanan kaum tarekat mesti dipahami sebagai pengecualian disebabkan situasi luar biasa, sedangkan kaum tarekat cenderung menjauhkan diri dari urusan politik? (hal 460).

Dalam konteks tradisi pesantren, hipotesis Martin mengatakan bahwa tradisi kepatuhan (ta’dzim) pada Kiai lebih penting daripada usaha menguasai ilmu. Namun bagi Kiai hal itu bagian integral dari usaha menguasai ilmu.

Martin mencontohkan bagaimana founding father NU KH. Hasyim Asy’ari sangat mengagumi tafsir Muhammad Abduh.  Namun ia keberatan jika santrinya membaca kitab tersebut. Keberatannya bukan karena rasionalisme Abduh, melainkan kebiasaan Abduh menjelek-jelekan ulama tradisional (hal 86).

Mengenai tradisi keilmuan klasik dan pengaruhnya di Indonesia Martin mengutip analisis Aziz Al- Azmeh bahwa dasar  metafisika dan pemikiran Arab abad pertengahan dalam karya-karyanya selalu masuk dalam satu dari tujuh pembahasan berikut:
Pelengkapan atas teks yang belum lengkap, perbaikan teks yang mengandung kesalahan,penjelasan atas teks yang samar, peringkasan dari teks yang lebih panjang,  penggabungan dari teks-teks yang terpisah namun punya relevansi (tanpa disertai sintesis), penataan tulisan yang masih simpang siur dan terakhir pengambilan kesimpulan-kesimpulan yang sudah disetujui. ( hlm 100).

Selain menjelaskan sejarah kitab kuning Martin dalam buku ini juga mencantumkan tabel judul serta bahasan kajian dalam kitab kuning semacam Kitab Amtsilatut Tashrifiyyah di bidang kajian sharf, Kitab Jurumiyyah di bidang kajian Nahwu (gramatikal arab), Kitab Uqudul Juman di bidang kajian balaghah, Kitab Fath al-Mu’min dalam bidang kajian fiqh (hukum Islam).

Tabel–tabel kitab kuning ini merupakan hasil dari dari riset pustaka Martin. Ia juga membandingkannya dengan peneliti–peneliti sebelumnya semacam Drewis dan Van den Berg.

Sisi Lain Dunia Tarekat

Tarekat yang identik dengan hal-hal kebatinan-ukhrawi oleh Martin dibedah sisi “duniawinya”. Misal dalam kasus konflik Jam’iyyah Ahl Al-Tariqah Al-Mu’tabarah organisasi induk tarekat “ortodoks” perhimpunan ini didirikan pada tahun 1957 mencakup tarekat –tarekat penting Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Organisasi ini dipimpin oleh KH Musta’in Romly seorang Kiai Kharismatik asal Madura pemimpin pondok pesantren di daerah Rejoso Jombang. Kiai mempunyai pengikut sangat banyak terutama warga NU. Seiring berjalannya waktu nampak ada percikan konflik di internal NU dikarenakan penghianatan KH Musta’in Ramli yang menyebrang ke Golkar dan ikut berkampanye untuk Golkar.

Kiai Musta’in memang dikenal dekat dengan Soeharto bahkan salah satu gedung pesantren adalah hibah rezim orba. Penghianatan Kiai Musta’in Ramli diganjar hukuman oleh NU. Inisiatif itu muncul dari pesantren Tebuireng, pesantren yang jaraknya cukup dekat dengan pesantren Rejoso.

Adalah Kiai Adlan Ali seorang yang dulu sempat mengamalkan amalan tarekat (namun belum maqam khalifah) dimunculkan sebagai guru tarekat alternatif. Kiai Adlan Ali telah mendapat pelatihan terkat dari Kiai Muslih Mranggen Demak.

Kiai Adlan Ali pada akhirnya ditunjuk sebagai khalifah di wilayah Jawa Timur. Dalam beberapa tahun kemudian sepuluh badal didesak oleh beberapa aktivis NU untuk memindahkan janji setianya dari Kiai Musta’in Ramli kepada Kiai Adlan Ali.
Bersamaan dengan kongres NU yang ke-26, aliansi anti Musta’in mengadakan kongres sendiri yang dihadiri oleh Kiai-kiai kharismatik untuk menyepakati kepengurusan tarekat baru tanpa kiai Musta’in dan para pengikut setianya. Untuk menunjukkan kesetiaanya dan mendapat legitimasi dari NU nama perhimpunannya ditambah “An-Nahdliyyah”. (hlm 431).

Organisasi pimpinan Kiai Musta’in Romli perlahan ditinggalkan pengikutnya dan seperti kita ketahui hari ini Jamaah Ahl Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) menjadi perhimpunan  tarekat besar yang diakui NU.

Sub-bab ini tentu hanya bagian kecil yang menurut saya menarik dari buku ini. Belum lagi ulasan Martin tentang “Wali hidup” (meminjam istilah dalam sub bab buku ini) yang eksistensinya banyak dipengaruhi oleh cerita Gus Dur yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua tanfidyzah NU.

Bagi orang-orang yang selama ini mengikuti dinamika tarekat, pesantren, dan kitab kuning selain menambah wawasan buku ini juga mempunyai daya kejut. Selamat membaca.