Resensi Buku Filosofi Teras oleh Elviana Feby Dwi Jayanti |
Tips Menjadi Manusia Bahagia ala Filsafat Stoa
Ketika membicarakan filsafat, hal apakah yang pertama kali terlintas
dalam pikiran kalian? Apakah filsafat merupakan suatu ilmu yang rumit?
Atau filsafat cenderung dipandang sebagai sesuatu yang berat sehingga membutuhkan usaha lebih untuk berkonsentrasi saat mempelajarinya? Jika seperti itu pemikiran kalian, maka buku karya Henry Manampiring Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Metal Tangguh masa kini dapat menjadi referensi bacaan. Karena buku ini akan menepis semua
anggapan minor kalian tadi.
Berawal dari pengalaman pribadi ketika Henry atau yang akrab disapa Om Piring didiagnosa menderita penyakit Major
Depressive Disorder. Kondisi tersebut membuatnya harus
menjalani terapi pengobatan secara berkala. Pada suatu waktu ia menemukan sebuah buku “How To Be a Atoic” karya Massimo Pigliucci. Pristiwa tersebut yang mempertemukannya dengan Filsafat Stoa.
Pertemuannya dengan Filsafat Stoa seakan
menjadi alternatif yang dapat membantunya memperoleh ketenangan. Ia menyebutnya sebagai terapi tanpa obat yang dapat
dipraktikkan seumur hidup.
“Filosofi Teras tidak menjanjikan rahasia untuk menghilangkan kesulitan dan tantangan hidup, justru menawarkan cara-cara untuk mengembangkan sikap mental yang lebih tangguh agar bisa tetap tenang menghadapi terpaan hidup apa pun.” (h. xxiii).
Filsafat Stoa sendiri pada mulanya lahir dan dipelopori oleh seorang pedagang kaya
bernama Zeno yang mengalami musibah. Kapalnya karam, seluruh harta dagangan lenyap, lalu terdamparlah dia di Athena. Inilah awal
perjumpaan Zeno dengan filsafat, ia kemudian mempelajarinya hingga mampu mengajarkan filsafatnya sendiri yang dikenal sebagai stoisisme.
Ajaran stoisisme atau Filsafat Stoa (konon Zeno
mengajar di sebuah teras berpilar yang dalam bahasa Yunani disebut Stoa) merupakan
cabang filsafat yang bersifat universal dan inklusif (dapat dipraktikkan oleh
siapapun).
Mengelola Emosi Negatif
Ajaran-ajaran stoisisme sendiri sangat dekat dengan problematika kehidupan sehari-hari
manusia. Filsafat Stoa mengajak
untuk hidup selaras dengan alam (in accordance with nature), mengajarkan
bagaimana seseorang seharusnya bisa membedakan apa yang dapat dan tidak dapat
dikendalikan (somethings are up to us and not up to us), mampu menerapkan
dan mengasah kebajikan (kebijaksanaan,
keadilan, menahan diri, dan keberanian), agar terbebas dari emosi-emosi negatif
untuk mendapatkan hidup yang tenteram.
Stoisisme menjadi semacam strategi dalam sebuah laku hidup untuk dapat mengenal dan mengontrol diri sendiri. Supaya mampu mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan. Salah satunya adalah dengan mencermati empat jenis emosi negatif yang menjauhkan seseorang dari kebahagiaan (ketenangan batin) yaitu; iri hati, takut, rasa sesal atau pahit, dan kesenangan (kenikmatan). Emosi negatif yang mampu dikendalikan bisa membawa kepada ketenteraman.
Menurut stoisisme, peristiwa yang terjadi dalam hidup sebenarnya bebas nilai. Kita sendiri yang menjadikannya positif atau negatif sesuai interpretasi dan makna yang kita berikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Epictetus,
“It is not things that trouble us, but our
judgement about things.” (h. 88).
Epictetus beranggapan bahwa sebetulnya bukan hal-hal
tertentu yang meresahkan kita, tetapi pertimbangan atas pikiran dan juga
persepsi kita akan peristiwa tersebut yang membuat kita resah. Sebagai contoh,
ketika terjebak kemacetan, interpretasi kebanyakan orang mengutamakan emosi
negatifnya, berpikir bahwa macet peristiwa yang
merugikan karena banyak menyita waktu.
Padahal, jika dipikir lebih jernih dan
rasional, kita tidak harus marah saat terjebak kemacetan, situasi ini bisa
diganti dengan mengganti persepsi tersebut menjadi lebih positif, dengan memakai
kesempatan ini untuk membaca buku, atau mendengarkan musik. Dengan begitu,
perasaan akan lebih tenang dan tidak merasa waktunya terbuang sia-sia.
Om Piring memberikan sebuah konsep yang dapat dijadikan
sebagai upaya mengelola emosi-emosi negatif yang kerap muncul. Konsep tersebut menggunakan metode yang disingkat dengan S-T-A-R (Stop, Thinking and Assess, Respond)..
Menurut Om Piring, ketika seseorang merasakan
emosi negatif secara sadar maka hendaknya akan lebih baik jika berhenti
terlebih dahulu sebelum meluapkannya (Stop).
Sesudah menghentikan proses emosi sejenak, maka langkah selanjutnya adalah berpikir
rasional, memisahkan antara fakta objektif dari value judgement untuk menginterupsi
emosi negatif (Think and Assess)
dan setelahnya saat emosi sedikit turun barulah memikirkan respon dalam bentuk
ucapan maupun tindakan yang tepat untuk diberikan (respond).
Teknik S-T-A-R ini sendiri menjadi bentuk
strategi implementasi yang selaras dengan perkataan Epictetus,
“Jangan biarkan peristiwa yang ada (di depanmu) menggoyahkan dirimu. Katakanlah (kepada peristiwa/kejadian itu), Tunggu dulu; biarkan saya memeriksamu sungguh-sungguh. Saya akan mengujimu terlebih dahulu” (h. 101).
Dengan menerapkan teknik tersebut, seseorang
akan mampu mendeteksi dan menganalisa emosi negatif yang dirasakan agar segera
sadar dan menghentikan rantai pikiran buruk sedini mungkin..
Persoalan seperti insecurity,
quarter life crisis, bullying, stress, anxiety, serta beragam problematika kesehatan mental
kerap terjadi. Tidak jarang persoalan
tersebut membuat
seseorang lebih mudah terganggu pada hal-hal yang sebetulnya ada diluar kendalinya. Filosofi Teras mengajarkan untuk dapat menjalankan hidup
sebaik-baiknya sebagai manusia.
Secara keseluruhan, buku kelima Henry Manampiring ini memiliki sistematika penulisan yang baik dan terstruktur. Hal tersebut dapat dilihat dari cara penulis ketika membagi isi buku ke dalam 12 bab yang disusun dengan runtut dan menggunakan gaya bahasa yang cenderung memakai istilah populer yang ringan, renyah dan jenaka.
Selain itu, kredit tambahan buat Om Piring yang menyampaikan dari buku-buku stoa asli, yaitu; Meditations karya Marcus Aurelius, Enchiridion dan Discourses karya
Epictetus, Letters to a Stoic, On The Shortness of Life karya Seneca,
maupun karya kontemporer How To Be A Stoic karya Massimo Pigliucci dan A
Guide To The Good Life karya William Irvine.
Hal unik lainnya yang dapat dijumpai pada
karya ini adalah berbagai ilustrasi yang membantu memahamkan
pembaca. Tak lupa, seperti pada karya-karya sebelumnya, setiap bab ada keterangan intisari yang
membantu kita mudah menangkap makna bacaan.
Buku Om Piring ini cocok dibaca bagi
orang-orang yang mudah dan sering terjebak dalam emosi negatif (sedih, marah,
curiga, khawatir, galau) agar bisa lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat dikendalikan untuk meraih
ketenteraman hidup.
Pada akhirnya, buku Filosofi Teras karya Henry
Manampiring yang penuh makna dan aplikatif membuat kita bisa melakukan perenungan untuk lebih aware terhadap
diri sendiri. Agar kita mempunyai mental tangguh dalam menghadapi
ketidakpastian hidup. Tetapi, buku ini juga mampu menjadi terobosan baru yang telah
berhasil menjadi pemicu minat pembaca, supaya filsafat tidak selamanya dianggap
sebagai sesuatu yang penuh dengan konotasi negatif, dan topik yang cenderung
sulit untuk dipraktikkan.