Penulis : Seth Stephens-Davidowitz
Penerjemah : Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2018
Jumlah Halaman : xi + 315 halaman
ISBN : 978-602-06-1209-6
Peresensi : Joko Priyono
Ihwal Big Data makin ramai dibahas tatkala menyeruaknya fenomena keberadaan masa bernama Revolusi Industri 4.0. Memang tak bisa dipungkiri, Big Data dalam wacana (discourse) yang ada di dalamnya menjadi satu bagian penting yang sangat mengikat.
Tidak salah ketika kemudian Dr. B. Hari Juliawan, dosen Universitas Sanata Dharma menulis sebuah esai pada Majalah Basis Edisi Nomor 11-12 tahun 2017. Melalui esai berjudul Kecerdasan Buatan dan Keributan Beneran tersebut, ia menjelaskan proses transformasi yang kemungkinan terjadi pada revolusi industri 4.0 serta sejarah revolusi yang telah dilalui oleh umat manusia.
Yang kemudian menjadi menarik apa yang dituliskan olehnya bahwasannya pada era revolusi industri 4.0 ada tiga faktor yang begitu penting untuk diperhatikan. Masing-masing adalah: data, algoritma (kemampuan mengolah data), dan kemampuan melakukan pengolahan (computing power). Ia kemudian memberikan tarikan berupa benang merah akan gabungan ketiganya dapat menghasilkan mesin-mesin yang cerdas atau kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Hari kemudian menyimpulkan bahwasannya—meluasnya pemakaian teknologi ini akan memanen data lebih banyak lagi, dan pada gilirannya akan terus memperbaiki kemampuan algoritmanya. Semakin canggih algoritmanya, semakin banyak data yang diperoleh. Semakin banyak datanya, semakin bagus produknya. Dengan kata lain, inilah teknologi yang menciptakan siklus kemajuannya sendiri.
Lantas, persoalan selanjutya adalah apa yang dimaksud dengan Big Data itu sendiri?
Melalui buku berjudulkan Everybody Lies: Big Data, New Data, And What the Internet Reveals About Who We Really Are, Seth Stephens-Davidowitz sangat begitu gamblang dan detail menjelaskan terkait mengenai dunia data dan hal-hal yang berhubungan dengan dunia internet. Bisa jadi kita sebagai pengguna jarang menyadari atau bahkan tidak mengetahuinya sama sekali. Buku tersebut memaktub tiga bab besar dengan perincian masing-masing yang ada di sana. Mulai penjelasan mengenai data, kedahsyatan dari data hingga cara untuk menangani keberadaan dari data.
Di era keberadaan internet, tak bisa dipungkiri manusia banyak disajikan pelbagai platform terkait mengenai sosial media maupun mesin pencari (search engine) yang pada praksisnya memudahkan untuk berkomunikasi, mencari pengetahuan, berjejaring dengan penjelajahan yang dilakukan.
Dari kesemuanya data adalah kuncinya. “Sebagaimana kita lihat, kata adalah data. Klik adalah data. Tautan adalah data. Pisang dalam mimpi adalah data. Nada suara adalah data. Bunyi mendesing adalah data. Detak jantung adalah data. Ukuran limpa adalah data. Pencarian, menurut saya, adalah data yang paling menyingkap” (hlm. 97).
Kendati demikian, internet pula lah yang terkadang menyebabkan sebuah perpecahan. Hal itu pun juga diakui oleh Seth Stephens utamanya dalam konteks kehidupan yang ada di Bangsa Amerika. Argumen tersebut berlandaskan dari gagasan seorang lulusan dari Hardvard Law School, Cass Sunstein.
Ahli hukum dan juga merupakan administrator Kantor Informasi dan Urusan Regulasi Gedung Putih pada Pemerintahan Barrack Obama tersebut mengungkapkan—pasar komunikasi bergerak dengan cepat (ke suatu situasi tempat), yang mana orang membatasi diri pada sudut pandang mereka sendiri.
“Pandangan ini masuk akal. Bagaimanapun, internet memberi kita jumlah pilihan yang hampir tak terbatas untuk mendapatkan pemberian. Saya bisa membaca apa pun yang saya inginkan. Anda bisa membaca apa pun yang Anda inginkan. VikingMaiden88 bisa membaca apa pun yang dia inginkan. Dan orang banyak, kalau boleh menggunakan peranti mereka sendiri, cenderung mencari pandangan-pandangan yang memperkuat keyakinan mereka. Jadi, tentu saja, internet pastinya menciptakan segregasi politik yang ekstrem” (hlm. 139).
Satu hal menarik dari buku ini adalah pembahasan mengenai serum kebenaran digital yang disajikan khusus dalam satu bab. Seth Stephens mengulik dengan cermat beberapa hal yang secara praksis langsung berkaitan mengenai dunia internet. Masing-masing adalah kebenaran tentang seks, kebenaran terkait mengenai benci dan prasangka, kebenaran tentang internet itu sendiri, kebenaran tentang penganiayaan anak dan aborsi, kebenaran tentang facebook hingga kebenaran terkait pelanggan.
Tak bisa dipungkiri, bab tersebut merupakan bagian yang seringkali meresahkan bagi para pembaca. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya memahami akan serum kebenaran digital itu sendiri? “Data pencarian Google dan sumber-sumber kebenaran lain di internet memberi kita pemandangan tak terduga ke dalam sudut-sudut terkelam dari pikiran manusia” (hlm. 161).
Setidaknya, Seth Stephens menyampaikan beberapa hal yang potensial dilakukan terkait serum kebenaran digital; pertama, menggunakan data pencarian guna mempelajari apa yang menyebabkan, atau mengurangi kebencian dan kedua, mempelajari prasangka bawah sadar.
Revolusi data berbasis digital kian berkelindan dalam ruang-ruang pengetahuan di banyak manusia. Tidak mengherankan, grafik secara statistika akan sebuah data yang kita lihat sangatlah banyak dengan berbagai varian maupun ragamnya. Namun, perlu diketahui bersama bahwasannya internet bukan satu-satunya tempat yang memungkinkan kita untuk menghimpun data baru dan tempat data yang benar untuk memberikan hasil-hasil yang sangat berbeda.
Tidak salah ketika kemudian Seth Stephens menyampaikan tantangan-tantangan atas kehadiran Big Data dengan berbagai peristiwa revolusi yang ada. Seperti diantaranya adalah bahwasannya Big Data memunculkan banyak pertanyaan terkait mengenai etika hingga kenyataan bahwa Big Data itu juga memiliki keterbatasan—apa yang tidak bisa kita lakukan dengannya dan, kadang, apa yang tidak boleh kita lakukan dengannya. “Namun, secara keseluruhan kita harus sangat hati-hati ketika menggunakan data pencarian untuk memperkirakan kejahatan di tingkat individu” (hlm. 267).
Melalui gagasan yang tersistem dan terstruktur dengan berlandaskan studi kasus yang ada di dunia internet, Seth Stephens telah memberikan pengalaman-pengalaman hingga intuisi terkait revolusi digital yang sudah terjadi dan dikembangkan oleh manusia selama ribuan tahun untuk memahami dunia.
Hari ini serta esok hari revolusi data itu terus berkembang dengan kompleksivitas yang ada. Big Data dan data kecil, kesemuanya saling melengkapi. Manusia dengan kecerdasan dan perasaan yang dimilikinya punya kedaulatan, pertimbangan dan upaya untuk melibatkan itu sendiri. Tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai keugahariaan dalam menjalankan revolusi kehidupan di dunia ini.[]