“Tahu bedanya orang bloon
sama orang pinter? Orang pinter bisa menyampaikan masalah penting dengan
ringan, sedang orang bloon sebaliknya. Bahasan gak penting dengan cara njlimet…”
Kata pembuka dari buku kecil ini mungkin akan terasa menempeleng para penulis secara umum,
atau pembaca yang akan membuat ulasan tentang buku ini secara khusus,
jangan-jangan dari kata-kata tadi saya masuk ke golongan bloon karena njelimet
dalam tulisan ulasan saya
ini.
Mahbub Djunaidi,
barangkali bukanlah nama asing baik dikalangan politikus, wartawan, sastrawan,
dan bahkan agamawan. Memang, sosok Betawi yang mendaku diri generalis
ini satu dari sangat sedikit sosok-sosok yang penuh talenta. Ini bukan omomng kosong saya, anda sendiri bisa
melihat karya dalam esai, kolom, novel (baik karya
sendiri ataupun terjemahan), atau bahkan karya-karya lainnya.
Karyanya menunjukan ciri
khas sosok yang humoris, berpengetahuan luas nan bijaksana. Majalah sastra
Horison (2006) menyatakan bahwa Mahbub ialah sosok kolomnis terhebat di Indonesia.
Membaca karyanya kita tidak butuh buku pendamping seperti kamus, ensiklopedia,
dll. Karena memang sesulit dan seserius apapun topik yang dibawakanya, pasti
tertulis dengan renyah dan tak jarang membuat gelak tawa pembacanya.
Kemampuan langka itulah yang mengantar Ka Abo (sapaan dari orang
terdekatnya) ke “teras hati” Bung Karno untuk menjadi anak sekaligus sahabat
kesayangan. “Jangan ah… kalau si kancil
ini jadi duta besar bakalan sepi!” kata Bung Karno (h.39). Mahbub akhirnya batal jadi Duta Besar.
Mahbub sudah
mulai menulis ketika duduk dibangku SMP, yang kala itu sudah mendapatkan juara
mengarang dan dihadiahi terbang mengitari Krakatau dengan pesawat Dakota AURI, “Sebetulnya karya Mahbub jauh lebih baik
dari yang lainnya, tapi dia kurang mendapat angka, mungkin isinya terlalu
tinggi sehingga jauh dari tema” (h. 48) ungkap Hussein Badjerei, sahabat sekaligus
pembimbing Mahbub kecil dalam dunia kepenulisan.
“Barangkali sedikit orang
tahu, baik tingkat nasional maupun internasional, bahwa HB-lah yang menuntun
saya kedunia tulis-menulis. HB-lah bosnya majalah Pemuda Masyarakat.” (h. 53), ungkap Ka Abo.
Sosok yang Sombong!
Berpengetahuan
luas dan humoris, membuat Ka Abo dapat menarik hati siapa pun yang
mengenalnya, baik langsung ataupun lewat tulisan. Sudah tentu Ka Abo pasti
punya Previllege untuk semua urusan di
negeri ini. Buku yang ditulis oleh adik, sekaligus sahabat, supir, serta
asistenya ini, Fadlan Djunaedi menyingkap banyak cerita yang belum pernah diungkap
ke khalayak terkait roda aktivitas Mahbub, termasuk jalur belakang yang sangat
memungkinkan ia untuk hidup tenang dan serba kecukupan.
Hebatnya Mahbub, ia tidak
menggunakan privilegnya sama sekali untuk kepentingan pribadinya, ataupun orang
terdekatnya. Suatu ketika Mahbub ditawari proyek 5000 hektar lahan di Kalimantan, Mahbub menolak, “Din, gausah deh lu ngasih kerjaan ke
adik gue. Kalau begini Indonesia bisa kelelep semua nih!, banjir bakal datang kemana-mana.” (h. 14).
Cerita lain
juga datang dari RSPAD, ketika Ka Abo habis berbincang dengan pejuang 45 dari
PETA, Pak Singgih, sosok yang mengasingkan Bung Karno ke Rengasdenglok. Pak Singgih saat itu butuh bantuan ekonomi, yang berujung pada dua pucuk surat Mahbub untuk Ali
Sadikin dan Mas Agung agar bersedia membantu atas namanya. Surat kemudian
dikirimkan langsung oleh Fadlan.
“Kakakmu itu orang yang sombong! kalau dia punya uang pastilah ia tak akan
menyuruhmu kesini... kalaupun dia perlu uang bukan untuk dirinya, tapi untuk
membantu orang lain.” (h. 26).
Previllege juga tidak mengurangi daya
kritis Ka Abo kepada pemerintah dan lembaga apapun yang berwenang membuat
kebijakan. Kita bisa melihat percakapanya dengan RI 1 Orde Lama dalam buku ini, “Kok sampeyan berani krtitik saya, apa
sebabnya?” Tanya Bung Karno, “Saya
berani, karena saya didukung dengan data yang akurat, tapi kalau bapak masih
menyalahkan saya, itu resiko
saya, sebab prinsip saya jadi wartawan, sebelah kaki saya di rumah, yang
sebelahnya lagi di penjara.” “Bagus-bagus! itu namanya wartawan tulen. Memang seorang wartawan harus
seperti kamu. Begini Bung Mahbub! Sebelum saya kenal langsung, saya sudah baca
tulisanmu, keras, pedas, dan berani! Saya pikir orangnya tinggi besar… nggak
tahunya kecil begini… ha ha ha… makanya saya sebut KANCIL!”. jelas Bung Karno (h. 40).
1 Oktober kemarin, adalah
haul ke 25 Mahbub, dan setelah kepulangannya kita belum lagi menemukan sosok kritis serta humoris seperti Mahbub
Djunaedi, alih-alih mengimbangi, selangkah dibelakangnya saja tokoh-tokoh hari
ini kesulitan, yang banyak hanya para oportunis-oportunis pongah yang membuat
kegaduhan dengan kata dan tulisannya. Dan buku ini salah satu obat rindu untuk
para perindu Mahbub Djunaidi, ringan dan banyak kekocakan berisi yang
dilemparkan oleh sang pendekar pena, Al-Fatihah!
Judul :
Uniknya Ka Abo: Mahbub Djunaidi di Mata, Adiknya, Fadlan Djunaedi
Penulis : Fadlan Djunaedi
Penerbit : Buku Revolusi
Cetakan : Pertama, September 2020
Jumlah hlm. : xiv + 78 hlm
Ukuran : 11 x 17,5 cm
ISBN : 978-623-91694-8-0
Peresensi : Ahmad Kurnia Sidik (Penulis lepas,
Bergiat di Lingkar Diskusi Sasadara)