![]() |
Resensi Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam oleh Angelina Clara Therescova Tarigan |
Ketika Adat Istiadat Membutakan Mata Hati dan Mematikan Akal Sehat
Novel
“Perempuan yang Menangis Kepada Bulan
Hitam” adalah salah satu buku yang saat ini banyak digandrungi. Novel yang
mengisahkan kehidupan Magi Diela, perempuan Sumba dengan cita-cita dan kemauan
kuat untuk membangun tanah kelahirannya setelah menyelesaikan pendidikan tinggi
di Pulau Jawa. Magi Diela adalah perempuan yang cerdas, ceria, penuh semangat
dan punya mimpi besar. Namun, mimpi itu dihancurkan dalam sekejap oleh adat
istiadat patriarki yang diwariskan leluhurnya.
Novel ini ditulis oleh
Dian Purnomo sebagai bentuk keprihatinannya atas peristiwa kawin tangkap yang
menimpa Perempuan Sumba. Penulis menuliskan novel ini setelah menggali banyak
informasi selama menjalani residensi di Sumba. Novel ini ditujukan kepada
pembaca yang berusia 17 tahun ke atas, dikarenakan banyaknya adegan, dialog dan
penjelasan tentang kekerasan seksual secara eksplisit.
Mengambil
latar di Sumba, Dian menceritakan bagaimana kehidupan perempuan di Sumba
melalui cerita Magi Diela. Secara garis besar novel ini menggambarkan bagaimana
sulitnya hidup sebagai perempuan di tanah Sumba. Novel ini laiknya memoar dari
seorang gadis penyintas peristiwa tragis kawin tangkap tersebut.
Penulis menghadirkan para tokoh penting seperti Magi Diela, Dangu Toda, Ama Bobo, Leba Ali, serta tokoh pendukung seperti Ina Bobo, Rega Kula dan Tara Wine. Pembaca diajak untuk mengikuti jalan cerita hidup Magi Diela dan mencoba memahami pemikiran dari setiap karakter.
Berawal dari Yappa Mawine
Magi Diela tidak pernah
menyangka akan mendapatkan nasib buruk menjadi korban tradisi yang dikenal sebagai
“Yappa Mawine” atau “Piti Rambang”. Magi Diela diperlakukan
seperti binatang yang ditundukkan, dan sebagai objek atau properti yang begitu
murahnya untuk ditukarkan dengan barang lain. Peristiwa yang menimpanya membuat
Magi memiliki luka yang mendalam, dan membuatnya ingin mengakhiri hidup dengan
menggigit pergelangan tangannya.
“Kematian adalah kepastian, ada yang membiarkan kedatangannya menjadi misteri, ada yang menjemputnya dengan paksa” (h. 7).
Pemikiran
untuk bunuh diri disebabkan Magi tahu kalau dalang dibalik penderitaannya
adalah ayahnya sendiri. Ayah Magi, Ina Bobo malah menyetujui Leba Ali, seorang lelaki
tua mata keranjang, yang ingin mendapatkan Magi dengan cara yang salah, serta
berlindung dibalik adat untuk memuluskan jalannya. Peristiwa biadab yang
dialaminya terjadi saat “Wulla Podu” waktu
yang seharusnya penuh dengan suka cita, berubah menjadi suram. Kehidupan Magi
setelah peristiwa itu dipenuhi dengan duka lara, hari-harinya serasa berada di
neraka.
Magi
Diela tetaplah seorang perempuan kuat yang tidak ingin menyerah dan kalah pada
nasib. Sifat ini yang membuatnya dihadapkan pada banyak tantangan. Magi
mengerahkan segala usaha untuk melawan tidak mau ditundukkan, meskipun jiwanya
sudah mati berkali-kali memperjuangkan hak dan kebebasannya.
Perlawanan
Magi Diela tidak mendapatkan dukungan dari siapapun bahkan dari Tuhan
sekalipun. Namun, Magi bersyukur dipertemukan dengan Gema Perempuan yang mau
membantu meski dengan proses yang melelahkan.
Dari
novel ini, pembaca dikenalkan dengan kebudayaan Sumba yakni kawin tangkap yang
disebut “Yappa Mawine” atau “Piti Rambang”. Menurut adat yang berlaku
kawin tangkap dilakukan atas kesepakatan dua keluarga mempelai dan tidak
sembarangan dilakukan.
Hal
ini dilakukan sebagai solusi jika tidak tercapai kesepakatan antar keluarga,
serta peristiwa “menculik” mempelai harus disepakati keluarga dan diketahui
oleh perempuan itu sendiri. Namun, dalam cerita Magi tidak mengetahui hal
tersebut, sehingga membuatnya merasa direndahkan oleh penculiknya dan ayahnya
sendiri.
Novel
ini penuh dengan ironi. Penulis menghadirkannya lewat narasi kuat yang dapat
membuat pembaca tercengang. Perkembangan zaman yang canggih tidak mampu membuat
sebagian orang membedakan mana hal yang baik atau buruk. Ayah Magi, tetap
percaya pada prinsip adat yang kolot dibandingkan hati dan logikanya sendiri sebagai
manusia. Ayahnya tetap ingin mengikuti aturan adat meski Magi sudah hampir
mati.
Patriarki dan Ironi Dunia Modern
Nuansa budaya patriarki tergambarkan s
angat kuat dalam novel ini. Bagaimana kedudukan laki-laki berada jauh di atas kedudukan perempuan. Adanya istilah “pintu laki-laki” sebagai pintu utama yang hanya dapat dilewati laki-laki dan tidak dapat dilewati oleh perempuan, adalah contoh kecilnya di Sumba. Dalam cerita, Dian menunjukkan relasi kuasa mutlak yang hanya dimiliki oleh laki-laki. Suara perempuan dalam cerita ini tidak pernah didengarkan apalagi dipertimbangkan.
Seseorang
tidak boleh disalahkan ketika menjalankan adat meskipun secara logika tindakan
itu menyimpang. Hal ini sesuai dengan kegusaran Dangu Toda, sahabat yang sudah
dianggap kakak laki-laki oleh Magi,
“Ada
budaya yang memang baik untuk dipertahankan, tetapi ada banyak sekali budaya di
Indonesia yang harus dihapuskan karena merugikan pihak-pihak tertentu” (H. 20).
Hal
yang menjadi ironi dalam cerita adalah, Ama Bobo ayahnya sudah mengorbankan
banyak hal untuk membuat Magi jadi perempuan yang cerdas, malah mau
“menukarkannya” dengan belis (mahar) yang belum tentu sebanding. Pemikiran yang
disebabkan pendewaan terhadap adat istiadat.
Perempuan
kerap menjadi individu yang dipandang sebelah mata dan tidak dianggap. Dalam
hal adat-istiadat, perempuan jadi individu yang sangat dirugikan. Namun, hal
ini seolah tidak terlihat karena kuatnya akar patriarki yang sudah ditanamkan.
Laki-laki dengan seenaknya bisa berbuat apapun tanpa mendapat konsekuensi yang
pantas dari perbutannya.
Perempuan
seringkali menjadi korban kekerasan baik fisik dan mental. Seperti Magi, yang
mendapat banyak luka baik tubuh maupun batin akibat dari adat yang gagal ia
pahami. Perempuan seolah dipaksa untuk memahami dan menerima hal tidak masuk
akal dan sangat merugikan dengan “ilusi-ilusi indah” terkait penikahan dan
adat.
Dalam
cerita ini, penulis menjabarkan realita lain yang terpaksa dihadapi perempuan
penyintas kekerasan seksual. Banyak adegan dan dialog yang sangat mengiris hati
antara para tokoh perempuan. Realita bahwa masyarakat belum bisa bersimpati
dengan perempuan yang mengalami kekerasan seksual yakni korban pemerkosaan.
Ideologi patriarki telah menciptakan konstruksi sosial yang mengakibatkan bias
gender. Bias gender menjadi penyebab ketidakadilan gender yang sebagian besar
dialami perempuan.
Budaya
patriarki dan sikap misoginis adalah dua hal yang tidak akan mungkin
terpisahkan. Ideologi patriarki yang menguntungkan laki-laki berusaha
dilanggengkan, memperparah sikap misoginis saat ada perempuan yang menentang.
Laki-laki dengan arogannya akan berbalik menentang hal tersebut. Selama hal itu masih tumbuh subur,
diskriminasi gender akan semakin banyak terjadi. Perlu perhatian khusus untuk
semua pihak yang berwenang dalam menegakkan hukum.
“Kisah perempuan lain masih mungkin akan diukir dengan tinta darah, selama pendewaan terhadap adat mengalahkan logika dan kemanusiaan” (H. 20).
Mengakhiri
kisah ini sangatlah sulit, karena perjuangan mencapai kesetaraan dan keadilan
tidak akan pernah berhenti, khususnya perempuan. Selama sikap permisif terhadap
hal yang salah masih ada, tidak akan pernah ada kata selesai. Kerja sama dari
berbagai pihak diperlukan untuk menekan pertambahan kasus. Pengesahan RUU PKS,
pemberdayaan perempuan, dan peningkatan edukasi adalah beberapa solusi yang
dapat dilakukan untuk saat ini. Perempuan tidak seharusnya dibiarkan berjuang
sendiri.
Judul
Buku : Perempuan yang Menangis Kepada
Bulan Hitam
Penulis : Dian Purnomo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Kota
Terbit : Jakarta
Tahun
Terbit : 2020, Cetakan ke – 1
Tebal
Buku : 320 halaman
Peresensi : Angelina Clara Therescova Tarigan