Resensi Buku Lupa Endonesia oleh Muhammad Irfan Habibi |
Bagaimana Jika Punokawan Melakukan Demo Seperti Mahasiswa?
Persoalan bangsa kita semakin
banyak dan mungkin saja mengalami
pengulangan.
Seperti kasus korupsi, kebijakan yang kontroversial, bantuan tidak sesuai data dan
peruntukannya dll. Mungkin ini terjadi karena kita tidak belajar dari masa lalu. Padahal
pepatah mengatakan “guru terbaik ialah pengalaman.” Atau karena kita sebagai
warganegara lupa apa yang terjadi di masa lalu.
Mungkin kita bukan lupa tetapi
melupakan permasalahan yang pernah terjadi di negeri kita. Sebab bosan dan jenuh
menerima berita yang serupa setiap harinya. Demi ketenangan diri mungkin kita
memilih untuk melupakan persoalan negeri ini. Sehingga memberikan masalah negeri
kita tidak selesai, terus berulang, makin besar, bahkan timbul persoalan baru.
Dalam buku Lupa Endonesa
kita diingatkan kepada
masalah yang
terjadi di masa lalu. Sang penulis, Sujiwo Tejo mengemas berbagai kejadian yang terjadi di
negara kita dengan kisah yang menggelitik pembacanya. Penulis yang dikenal sebagai
dalang, membawa tokoh pewayangan Ponokawan dalam gaya penulisannya di setiap
kisah dalam buku ini.
Sebagai tokoh utama, para Ponokawanditampilkan dengan sifat yang sama dalam kisah pewayangan. Semar dengan sifat arif dan bijaksananya; Gareng
dengan sifat kehati-hatiannya; Petruk yang jenaka, dermawan, mengingatkan meninggal
yang tidak bermanfaat; dan Bagong yang selalu bersuara dan kritis pada
kebatilan dan ketidakadilan. Tak lupa juga kejenakaan para Ponokawan. Dalam
prakata Mbah Jiwo—sebutan akrab Sujiwo Tejo—menganggap buku ini sebagai wayang
Durangpo, ngelinDUR bAreNG POnokawan.
Ponokawan
dan Demo Bayaran
Salah satu kisah yang
menarik bagi saya adalah sub bab “Unjuk Rasa Badut-badut” (h 60). Mbah
Jiwo mengkisahkan para Ponokawan sebagai pekerja seni mulai mengalami
kesusahan. Ini terjadi karena sepinya job pementasan sebagai sumber pemasukan
keuangan keluarga para Ponokawan. Akar masalahnya ialah masyarakat tertarik
pada kasus KPK, kejaksaan dan polisi di televisi. Masyarakat menonton hingga
tertawa terpingkal-pingkal.
Masalah inilah yang
menggerakkan Bagong mengajak Gareng ke rumah Petruk untuk mengadakan rapat
dadakan mencari solusi sepinya job mereka. Hingga diputuskan untuk berunjuk
rasa menuntut agar penyelenggara pejabat dites apakah punya bakat melawak.
Kalau punya jangan jadi pejabat, tapi jadi pelawak saja.
Namun, persoalan lain muncul.
Mereka memikirkan apakah akan berdemo bertiga saja? Hingga akhirnya mereka
berembuk dan memutuskan untuk membayar orang untuk ikut bengak-bengok menyuarakan
unek-unek para seniman yang kesepian job. Mereka mencari siapa pun yang mau.
Tetapi masyarakat lebih tertarik dan tidak mau ketinggalan lawakan dari
kasus-kasus di televisi dibanding bengak-bengok walaupun dibayar.
Hingga seminggu kemudian
mereka yang menolak untuk ikut berdemo mulai datang satu per satu. Ada yang
beralasan ikut karena bermimpi bertemu pelawak dan ketika mendaki gunung
melihat Dono dan Kasino Warkop. Hingga terkumpul ribuan orang dari berbagai
kalangan mulai dari mantan petani garam, bekas tukang ukir, penyanyi campur
sari hingga dalang yang terdampak orang punya hajat yang tidak kuat nanggap
wayang.
Demo pun terlaksana. Ponokawan
pun menuntut para pejabat keluar
dari kantor dan menyambut para demonstran. Tuntutan
ini pun dipenuhi oleh para pejabat. Para Ponokawan pun menyaksikan para
demonstran menyerbu para pejabat. Namun, Ponokawan menangis sebab demonstran bukannya menyampaikan
unek-unek mereka malah ingin bersalaman dan berterimakasih sudah menghibur
masyarakat. Salah satu demonstran pun dengan lantang mengungkapkan “ternyata
aslinya lebih lucu.”
Dari salah satu kisah ini
ketika membaca tentu akan diingatkan dengan bagaimana perilaku pejabat yang
mengada-ada. Terselip juga unek-unek para seniman yang makin sepi job sebagai
sumber penghasilan untuk bertahan hidup. Di sini juga menggambarkan adanya
fenomena pendemo bayaran.
“Yang penting kita sudah dikasih teladan yang kalah biasanya mbayar demonstran. Jadi, apa salahnya kita-kita kaum Ponokawan ini juga ngamplopi para demonstran.”
Mungkin pernyataan Petruk
ini juga yang mendasari fenomena demonstran bayaran tetap ada dan dianggap
biasa.
Selain itu, kisah “Unjuk Rasa
Badut-badut” juga menampilkan sikap masyarakat yang memilih ambil aman dari
pada menyuarakan yang membuat resah sesama rakyat kepada penguasa negara.
Begitu pula di kisah-kisah
lain yang diceritakan dalam buku ini. Selain itu Mbah Jiwo juga mengajak kita
mengingat kisah-kisah pewayangan seperti Mahabarata dan Ramayana dan juga kasus
yang pernah ada di Indonesia seperti Bank Sentury dan Lumpur Lapindo. Persoalan
lainnya yang diangkat seperti bagaimana adanya agenda setting di media oleh pejabat untuk menaikkan citranya, kasus korupsi, pajak,
penggusuran dan sebagainya. Mungkin saja ini buku kritik sosial atau politik
yang tidak kaku namun unik. Kisah seperti itulah yang bisa menggelitik berbagai
elemen dengan apik. Bisa saja kita akan tersenyum-senyum ketika membacanya.
Mengingatkan Kembali
Ketika membaca buku ini, mungkin
bagi orang yang sekedar tahu tentang wayang akan bingung siapa itu Ponokawan?
Bagaimana kisah Baratayuda dan Ramayana? Dan apa maksud dari kata-kata bahasa
daerah yang digunakan? Mbah Jiwo yang dikenal sebagai dalang mengenalkan atau
mengingatkan kita pada tokoh dan kisah-kisah pewayangan. Selain itu dalam buku
ini banyak menggunakan kata bahasa Jawa yang mungkin membuat bingung ketika
membacanya. Namun, kata-kata tersebut diberi catatan kaki arti atau maksud dari
kata bahasa Jawa. Sehingga kita dapat memahaminya.
Ketika membaca, satu sisi
mengingatkan dengan problem yang pernah terjadi di Indonesia di masa lalu.
Sesuai dengan judulnya, Lupa Endonesa. Mungkin kita telah lupa saat ini
bahwa ada kasus-kasus di Indonesia yang diceritakan Mbah Jiwo. Sehingga
ketika membaca atau setelah membaca menimbulkan rasa penasaran atas masalah
yang dahulu pernah ada. Sebab masalah tersebut
tidak dijelaskan rinci pada buku ini. Sehingga kita perlu kita cari sendiri.
Menurut saya buku ini pantas
dibaca siapa pun terutama oleh pejabat negara, mahasiswa, jurnalis, dan
aktivis. Sebab memberikan pesan tersirat untuk kita mengubah cara berpikir, berperilaku,
dan mengambil keputusan dalam berbangsa di masa mendatang. Selain itu juga
sebagai pengingat bahwa kita memiliki masalah serius dalam bernegara. Walaupun
judulnya Lupa Endonesa malah bukan membuat kita lupa akan masalah negeri
kita. Tetapi mengingatkan kita akan persoalan yang dihadapi negeri kita,
Indonesia.
Judul: Lupa Endonesa
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: xvi+220 halaman
Peresensi : Saya Muhammad Irfan Habibi