Lesley Hezlelton dalam after the Prophet
menarasikan sejarah panjang akar genealogis penyebab konlfik Sunni-Syiah dalam
bentuk prosa. Hal ini menjadi tawaran menarik di tengah peliknya tema ini.
kepiawaiannya menarasikan detail-detail sejarah membuat pembaca seperti berada
dalam lingkaran pusaran subjek yang ia ceritakan. Tarik-menarik emosi
dijanjikannya dalam setiap halaman demi halaman layaknya novel.
Mendiskusikan tema Sunni-Syiah khususnya di Indonesia
sama tabunya dengan komunisme. Ada phobia pada kedua objek kajian di atas.
Dalam kasus komunisme ada trauma sejarah 65’ yang (di)kabur(kan). Pun begitu
dengan Sunni-Syiah, tragedi karbala menjadi simbol puncak perpecahan kedua mazhab
ini hingga gaungnya sampai pelosok penjuru dunia menghinggapi setiap isi kepala
para penganutnya, tak terkecuali di Indonesia. Beberapa tragedi friksi Sunni-Syiah
di Indonesia memaksa salah satu pihak mengalah, kalah lebih tepatnya, minoritas
kalah, yaitu Syiah.
Menjelaskan duduk masalah hingga mendamaikan kedua belah
pihak seperti mencari jarum dalam jerami. Dari sekian banyak usaha, para
ulama-cendekiawan Islam Indonesia menulis tema Sunni-Syiah, beberapa
diantaranya; Buku Putih Sunni Syiah disusun tim Ahlul Bait Indonesia. Sebuah
upaya menjelaskan pada khalayak tentang ajaran Syiah yang acapkali “disalahpahami”.
Sunnah-Syiah; Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Anggitan cendekiawan
muslim Quraish Shihab menjelaskan pokok-pokok ajaran sunni dan syiah untuk
kemudian dicari benang merah demi menegasikan ketegangan antara keduanya. Dalam Islam Tuhan Islam Manusia, Haidar
Bagir di bab tiga buku tersebut bahkan
menyebut sejarah Sunni-Syiah adalah sejarah perdamaian.
Latar belakang non sarjana islam—ia sarjana psikologi dan
bekerja di bidang jurnalisme—tak mengurangi wawasannya terhadap tema kajian
yang ditulisnya, ia seperti berjarak sekaligus dekat. Dekat dengan tokoh-tokoh
yang ditulisnya karena kekuatan referensinya, berjarak dengan kedua aliran
tersebut demi menjaga keobjektifannya karena di setiap narasi peristiwa,
penulisan kelahiran Inggris ini menyertakan reaksi atau tafsir syiah maupun
sunni atas peristiwa tersebut.
Tragedi Fitnah Kalung Aisyah
Bagi saya sendiri tema Sunni-Syiah bukan hal baru, namun
detail perisitiwa-peristiwa yang dinarasikan dalam buku ini terasa baru. Saya
yang notabene besar dari lingkungan NU (cenderung tabu dan menghindari narasi
pertentangan antar sahabat nabi) ketika mendapati intrik-perpecahan, keserakahan, manipulasi, pembunuhan,
keimanan, seperti tak terbayangkan akan
semengerikan itu. Singkatnya Lesley
mampu dengan meyakinkan mendudah sisi material konflik Sunni-Syiah.
Ketakterbayangan itu bermula dari tragedi fitnah kalung
Aisyah yang karenanya, ia dan Ali tak bertegur sapa selama bertahun-tahun
bahkan ketika di depan nabi. Kisah ini berawal ketika nabi Muhammad memberikan
sebuah kalung kepada isteri tercintanya Siti Aisyah ketika dalam suatu
perjalanan operasi militer menuju Madinah.
Mafhumnya sebuah perjalanan jauh yang membutuhkan waktu
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, kafilah perang memutuskan bermalam di suatu padang
ilalang, Aisyah dan beberapa perempuan sebayanya memutuskan berajalan-jalan
menikmati padang ilalang. Sepulangnya ia menikmati pemandangan sadarlah bahwa
sesuatu yang seharusnya melingkar di lehernya telah tiada.
Kalung pemberian Muhammad hilang. Tanpa memberi tahu
siapapun ia bergegas menyelinap turun dari haudah
untuk mencari kalungnya. Didapatinya kalung itu berhamburan di sela-sela padang
ilalang, dengan telaten ia memungutnya.
Setelah
berhasil memungut bagian-bagian kalungnya yang berserakan ia kembali menuju ke perkemahan
yang ternyata sudah tidak ada. Aisyah tertinggal, ia sendirian di gurun pasir. Aisyah berfikir rombongan
segera sadar ia tertinggal dan segera kembali karena itu ia memutuskan menunggu
sendirian di bekas perkemahan.
Sayang, para prajurit tak menyadari keberadaan Aisyah sampai acara
penyambutan di Madinah. Di sisi lain seorang pemuda bernama Safwan menunggang unta sendirian menuju Madinah
melewati teriknya matahari, ia mendapati Aisya berteduh di bawah pohon akasia.
Tanpa berpikir panjang ia mengawal Aisyah pulang ke
madinah berjalan bersama untanya yang ditunggangi Asiyah. Petaka dimulai, sesampainya di
Madinah tak ada seorangpun yang sekedar mengatakan “ untung kamu selamat”, yang
ada hanyalah tatapan sinis, lidah-lidah tak bertulang mulai bergunjing menebar
fitnah.
Pertanyaan–pertanyaan pancingan dilontarkan untuk
mengawali gosip di setiap perbincangan. Istri termuda Muhammad berpergian berduaan
bersama prajurit muda nan perkasa melewati beberapa lembah menuju
Madinah?.
Dengan sekejab gosip menyebar dan Aisyah tahu betul itu
meskipun hal itu tak pernah ia bayangkan. Kredibilitas Muhammad sebagai
pemimpin dipertaruhkan, ia sendiri tak kuasa menahan kabar desas-desus itu,
hingga ia memutuskan untuk meminta saran kepada salah satu sahabat terdekatnya, Ali. Diluar dugaan, Ali yang terkenal mempunyai perangai bijaksana,
memliki retorika cemerlang dan kefasihan berbicara menjawab dengan sangat
blak-blakan kalau tidak mau dibilang kasar.
Banyak wanita seperti dia, Allah telah
membebaskanmu dari masalah ini, gampang mencari penggantinya. Kita semua pasti mengerti maksud nasihat itu,
nabi diminta menceraikan Aisyah dan masalah selesai.
Aisyah dalam Pembelaan Ilahiah
Turunnya QS; An-Nur ayat 11-17 menandai berakhirnya
episode melodrama fitnah kalung ini. Aisyah mendapatkan legitimasi illahiyah atas
kebenaran bahwa ia tak melakukan seperti apa yang dituduhkan, kelak jawaban Ali
berbuntut panjang terhadap hubungannya dengan Aisyah yang berdampak pada perpecahan 2 firkah besar umat
Islam.
Ketika saya memverikasi kisah di atas dengan salah satu kawan santri yang saya anggap kapabel soal islamic
history, ia tak menyangkal tapi juga tak membenarkan. Katanya, ia takut
terjebak stigma “salah benar”.
Bukan apa-apa, kisah fitnah kalung itulah yang pada
berabad-abad selanjutnya melahirkan fitnah terbesar dalam sejarah persatuan
umat Islam. Puzzle-puzzle cerita itu dirangkai sedemikian rapi dan amat teliti
oleh Lesley.
Beberapa detail-detail narasi yang masih menancap kuat di
ingatan kepala saya diantaranya saat Umar mendobrak pintu rumah sayyidina Ali
karena permintaannya untuk berbaiat pada Abu Bakar diabaiakannya. Kebetulan
putri kesayangan nabi; Fatimah berada tepat dibalik pintu. Sesaat setelah tubuh
raksasa Umar menghantam pintu rumah, Fatimah yang pada saat itu mengandung cucu
ketiga nabi seketika terhempas, beberapa versi menyebutkan ia memar, versi lain
mengatakan lengannya patah. Yang pasti beberepa hari setelah kejadian itu ia
keguguran. Wallahua’lam.
Di akhir Lesley menggambarkan bagaimana makna filosofis tragedi karbala melalui penjelasan Ali
Syariati yang berhasil ditransformasikan menjadi energi
untuk menumbangkan rezim otoritarian Shah tahun 1997
“Hussein adalah cerminan tauladan kesyuhadaan
yang murni. Dengan menolak untuk bekerja sama ataupun bungkam, dan dengan
menerima inilah kematiannya sendiri. Hussein telah mencapai suatu ‘kesadaran
revolusi’, revolusi yang jauh melampaui detail latar
tempat dan waktu sejarah untuk kemudian menjadi fenomena abadi dan transenden.
Kesyuhadaannya merupakan panggilan sejarah bagi kaum tertindas untuk bertindak
di sini dan sekarang juga. Dengan kematian Hussein, sang syuhada’ mengutuk
penindas sekaligus memberi komitmen bagi yang tetindas” (hal 327).
Pada akhirnya
buku ini membuat pembaca (saya khususnya) menjadi “memahami” mengapa konflik Sunni-Syiah
menjadi laten. Kompleksitas dinamika sejarah terbingkai menjadi takdir yang
mau-tak mau harus diterima. Namun saya meyakini seperti yang penulis katakan
dalam bagian akhir paragraf buku ini bahwa, kaum Syiah pada dasarnya meyakini,
sebagaimana sebagian besar kaum sunni yakini bahwa sesunnguhnya mereka masih
menyerukan gagasan ideal persatuan yang didakwahkan oleh Muhammad sendiri. Suatu cita-cita
yang selamanya dipegang secara kuat daripada yang ingin meruntuhkannya,
siapapun itu.
Judul Buku After The Prophet
Penulis Lesley Hazleton
Penerbit IRCisoD
Cetakan November 2018
Tebal Buku 424 hlmn: 14x20 cm
Penerjemah Muhammad Isran
Peresensi Fathan Zainur Rosyid