Resensi Buku Populisme Kiri oleh Ahmad Muqsith |
Mungkinkan Indonesia Mempraktikkan Apa yang Disarankan Mouffe?
Salah
satu hal yang beberapa kali ditegaskan oleh Chantal Mouffe dalam buku Populisme Kiri adalah agar kita menghindari
gerakan dari Esensialisme kelas. Pandangan ini merujuk pada identitas politik
yang terbangun dari ekspresi dan posisi aktor perubahan sosial dalam relasi
produksi, sementara kepentingan aktor perubahan sosial diasumsikan selalu
dipengaruhi oleh posisinya. Esensialisme kelas akan kesulitan dalam dunia
gerakan populis sekarang menngingat tidak semua gerakan berdasarkan perjuangan
kelas.
Moouffe
sendiri melihat ada momen paska politik, kondisi dimana perdebatan suatu
keputusan politik tidak disarankan dilihat melalui kedekatan afliasi jenis
politik tertentu, kanan moderat kah, atau malah kiri moderat. Kondisi ini
muncul karena kompromi politik sehingga elite membangun narasi bahwa kebijakan
politik yang ada hanyalah kebijakan yanng baik atau buruk, tidak ada lagi
kebijakan kiri atau kebijakan kanan. Kondisi ini Moffe lihat sebagai salah satu
faktor yang melahirkan krisis global neoliberalisme di 2008 silam. Kondisi
dimana kebijakan di ruag publik hanya dikerjakan secara teknokratis oleh para
ahli.
Populisme Bukanlah Ideologi
Mouffe
menegaskan bahwa populisme bukanlah ideologi, melainkan cara berpolitik yang
bisa dipraktikkan tidak hanya pada satu jenis ideologi saja. Populisme sangat
kompatibel (sesuai) dengan pelbagai situasi, maka ia bisa berlangsung dalam
jenis berbeda sesuai waktu dan tempatnya.
Pemahaman
Mouffe sendiri dipengaruhi pandangan Laclau yang mengartikan populisme sebagai
strategi diskursif untuk membentuk batasan politik yang mengelompokkan
masyarakat ke dalam dua kelompok dan melakukan mobilisasi rakyat untuk
menentang penguasa (Laclau, On Populist Reason; 2005).
Menurut Mouffe penyebab
utama terjadinya kemunduran demokrasi dalam politik kontemporer adalah
ketidakseimbangan antara kepentingan korporasi (perusahaan) dan kepentingan
kelompok-kelompok lain. Bersamaan dengan terjadinya kemunduran demokrasi yang
tidak terhindarkan, kondisi ini menjadikan politik sekali lagi, sebagai urusan
elite tertentu, sebagaimana pernah terjadi di masa pra-demokrasi (Colin Crouch,
Post-Democracy (Cambridge, UK: Polity, 2004), h. 104).
Maka munculah kondisi yang ia sebut “paska demokrasi” dimana keadaan sosial telah mereduksi demokrasi menjadi
sekadar unsur liberalnya saja (ditandai dengan Pemilu yang adil dan bebas).
Unsur liberal ekonomi menonjol tetapi leberalisme politik ditempatkan di posisi
kesekian.Warga negara semakin terampas dalam menggunakan hak-hak demokratiknya.
Paska demokrasi adalah lanjutan dari kondisi paska politik (H. 18).
Kondisi Paka-Politik dan Paska-Demokrasi di Indonesia, menurut saya bisa semakin terasa sejak gegeran reformasi dikorupsi kemarin. Pada masa pandemi seperti ini, potensi dua kondisi tersebut semakin parah sangat mungkin terjadi.
Berharap Pada Gerakan Aliansi Rakyat
Mouffe
berharap terbentuknya aliansi rakyat melawan oligarki dengan terhubungnya
gerakan buruh, kelas menengah prekariat dan gerakan rakyat marjinal lain yang
menyuarakan isu lingkungan, anti seksisme, LGBT dll, Tanpa harus menempatkan
gerakkan buruh sebagai poros gerakan rakyat.
Bagi
saya seruan Mouffe ini sulit, karena untuk menuju demokrasi yang meluas dan
mendalam mensyaratkan adanya intervensi pelbagai sektor untuk membangun sebuah
hegemoni baru (h. 42). Sementara gerakan semacam itu sangat sulit dilakukan
tanpa media yang memihak pada gerakan. Padahal kita tahu kondisi media kita
dililit oligarki (Baca Ross Tapsell: 2018, Marjin Kiri). Sementara media
alternatif tidak punya dampak signifikan dan cenderung tidak terhubung dengan
kesamaan visi yang memungkinkan seruan Mouffe bisa diwujudkan di Indonesia,
setidaknya dalam waktu dekat.
Populisme Kiri dan Partai Politik
Dalam
pandangannya terhadap persiapan transisi hegemoni dari neoliberalisme yang
mengalami krisis, populisme kiri bisa melakukan perubahan demokratik secara
meluas dan mendalam tanpa harus memutuskan hubungannya dengan negara dan partai
politik. Pandangan ini bisa saja sangat dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap
Margaret Thatcher yang ia nilai mampu melakukan transformasi atas tatanan
hegemonik tanpa menyingkirkan institusi-institusi demokrasi-liberal.
Faktanya,
di Indonesia politik sudah tereduksi sedemikian rupa dalam konsepsi liberal
sehingga meninggalkan politik menjadi sekadar kompetisi antar para elite di
ruang yang netral. Partai politik, terutama di momen pilkada semakin kehilangan
Politik ID (Identitas) karena berkoalisi hanya demi memperoleh kekuasaan tanpa
berpikir visi dan pembedaan identitas yang jelas dengan partai politik lainnya.
Sementara
menurut Mouffe, banyaknya anak muda yang tergabung dalam Partai Buruh di
Inggris dan menjadikannya partai kiri terbesar di Eropa justru karena rakyat
(terutama anak muda) diberitahu visi program radikalisasi demokrasi yang
diusung partai. Hal ini mengindikasikan bahwa selama ini rakyat kecewa, karena
tidak cukup ruang dimana mereka bisa ikut serta dalam urusan publik (politik).
Argumen
Mouffe yang perlu diketengahkan dalam diskursus publik di Indonesia adalah
penentangannya terhadap argumen bahwa demokrasi liberal adalah bagian super-struktur
kapitalisme. Dengan begitu Mouffe menolak teori-teori yang mendudukkan sejajar
antara liberalisme politik yang mensyaratkan liberalisme ekonomi, serta
masyarakat demokratik yang mensyararatkan harus disusun di atas masyarakat
ekonomi kapitalis. Mouffe menggarisbawahi bahwa tidak ada kemutlakan hubungan
antara demokrasi liberal dengan kapitalisme.
Narasi Anti-Kapitalisme yang Salah
Kenapa
populisme kiri tidak efektif dalam menjaring massa di Indonesia? Jika meminjam
pendapat Mouffe, ia menuduh ektrem kiri yang secara salah dalam
mengidentifikasi lawan dengan begitu abstrak sebagai kapitalisme. Narasi
anti-kapitalisme yang abstrak menurut Mouffe membuat mereka selalu dalam posisi
marginal karena gagal dalam memobilisir massa dalam bertindak politis akibat
dimensi afektifnya tidak tersentuh.
Kategori
kapitalisme terlalu abstrak. ia menyarankan agar populisme kiri bisa menunjuk
lawan dimana orang (rakyat) mudah mengidentifikasinya benar-benar sebagai
musuh. Bagi saya hal ini sulit dilakukan di Indonesia setelah untuk yang terakhir
kalinya berhasil menjadikan Suharto sebagai musuh bersama.
Salah
satu strategi populis kiri dalam membuat demokrasi berubah menjadi lebih dalam
adalah menjamin terselenggaranya konfrontasi agonistik antar pelbagai kelompok
masyarakat. Artinya kelompok pejuang isu yang meakili berbagai aliran bisa
saling serang dalam berargumen. Seperti posisi Partai Politik di Jerman dalam
kebijakan energy dan perubahan iklim di Pemilu 2021yang beragam tetapi jelas
posisi politiknya. Jika melihat fakta di Indonesia, konfrontasi semacam itu
sulit terjadi mengingat komunikasi ruang publik telah dicampuri robot dan buzzer politik.
Harus Membawa Isu Ekologis
Untuk
melakukan konsolidasi rakyat, seiring kesadaran semakin heterogen tuntutan yang
harus diperjuangkan selain sektor buruh yang dianggap tradisional, Mouffe
menyarankan untuk menjadikan masalah ekologis sebagai arus utama perjuangan
demokratik. Dengan isu ekologis menurut Mouffe akan mampu menarik
kelompok-kelompok yang sebelumnya belum berafiliasi dengan kelompok kiri.
Selanjutnya
Mouffe ingin menyerukan penguatan konsep kewargaan demokrasi yang ditandai
dengan keterlibatan aktif dalam komunitas politik, hal yang berlawanan dengan
konsep kewargaan dari liberalisme yang hanyna memahami kewargaan sebagai
individu yang mempunyai hak-hak semata.
Dalam
pembangunan rantai ekuivalensi di Indonesia tantangannya ada banyak, yang
terlihat jelas ada dua yaitu; pertama konsep kewargaan yang lebih mendekati
liberalisme dibanding konsep demokrasi. Sedangkan kedua, Organisasi non
Pemerintah yang seharusnya memimpin rantai ekuivalensi malah sering
terfragmentasi, terutama organisasi dengan isu perjuangan yang sama (sama-sama memperjuangkan
isu lingkungan misalnya). Hal ini diperparah dengan kondisi absennya Partai
Politik alternatif.
Rakyat
dalam pikiran Mouffe terdiri dari berbagai kelompok dengan tuntutan demokratik
beragam, jika di Indonesia mungkin kelompok penuntut pelayanan hak kesehatan,
pejuang masalah agraria, kesetaraan perempuan, pekerja rumah tangga, penuntuk
kebebasan berpendapat, aktivis antikorupsi dll. Sekumpulan tuntutan demokratik
ini jika berhasil dihubungkan dalam sebuah rantai ekuivalensi maka akan
membentuk apa yang disebut "rakyat". Sebagai strategi populis kiri,
maka harus dibentuk garis pemisah yanng jelas anatara "rakyat" dengan
oligarki. Pertanyaan terakhir saya, untuk kasus di Indonesia, berada di posisi
mana angkatan mudanya?
Judul Buku : Populisme Kiri
Penulis : Chantal Mouffe
Alih Bahasa: Melfin Zaenuri
Penerbit : Antinomi, Urundana Project
Tahun Terbit : 2020
Halaman : vii + 119
Peresensi : Ahmad Muqsith