Hiperrealitas; Melampaui Sang Aktor Film



Resensi Buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia oleh Maulana Malik Ibrahim


Bulan Mei 2018 terbit kabar bahwa novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer akan difilmkan. Film ini pun tak luput dari perdebatan baik dari kalangan awam, akademisi, maupun sastrawan, terutama terkait aktor pemeran tokoh Minke. Hanung Bramantyo yang dipercayai sebagai sutradara memilih Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, aktor dalam film “Dilan 1990” yang juga menghebohkan generasi milenial karena cerita cintanya. 

Film “Dilan 1990” sendiri diadopsi dari novel karya Pidi Baiq dengan judul yang sama. Watak Dilan yang cool dan romantis itu seakan melekat dalam pribadi Iqbaal itu sendiri. Sehingga jika disandingkan dengan tokoh Minke, ia (Iqbaal) seakan-akan menjadi timpang dan mengalami kontradiksi.

Meskipun anggapan-anggapan yang kerap kali hadir dalam film yang diadopsi dari novel berakhir dengan kekecewaan karena isi film tak sama dengan isi novel. Keringat dan kerja keras sutradara diuji dalam hal ini, bagaimana  ia mampu melipat ratusan halaman novel dan menjadikannya percakapan padat dalam film dengan durasi kurang lebih dua jam. 

Hal ini umum terjadi. Namun salah satu yang menarik untuk diulas adalah citra aktor pemeran dalam sebuah film yang sepertinya dalam kacamata masyarakat Indonesia harus memiliki kecocokan dengan tema film yang diangkat, seperti kasus Iqbaal di atas.

Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Ariel terkait film “Ayat-Ayat Cinta” (2008) bahwa “Ironisnya, tak seorang pun dari tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam pembuatan film Ayat-Ayat Cinta tergolong orang-orang yang religius. Karir dan prestasi mereka dibangun dalam pembuatan film panjang bioskop tanpa muatan agama, tak terkait dengan lembaga atau aktivitas keagamaan (h.82)”.
Meskipun “dunia” yang ditampilkan di film tersebut adalah “dunia orang muda yang berada di pusat panggung, digambarkan tak hanya muda, keren, penuh sukacita dan pintar, tetapi juga pada saat yang sama berpikir mendalam, tak pura-pura dan sepenuhnya sadar apa-apa yang pantas secara moral dan agama (h.102)”. Serta “mereka menyaksikan penampilan seorang Muslim modern idaman yang memikat dan pantas diteladani (h.79)”.

Begitupun dengan film “Sang Pencerah” (2010) garapan sutradara Hanung Bramantyo yang menceritakan kisah salah satu tokoh pejuang Islam di Indonesia, K.H.Ahmad Dahlan yang diperankan oleh Lukman Sardi. Ia mendapat kritikan pedas dari masyarakat karena ia berpindah agama lantaran ia pernah memerankan tokoh KH.Ahmad Dahlan.
 


Sepertinya “cap kesalehan” laiknya tokoh yang diperankan dalam film harus melekat pada kehidupan para pemain filmnya. Peran dalam sebuah film seakan harus menjadi perilaku dalam kehidupan sehari-hari sang aktor yang memerankan suatu tokoh dalam film tersebut.

Kita sebagai penikmat dan pengonsumsi film seharusnya dapat membedakan antara yang nyata dan yang semu. Fenomena ini oleh Jean Baudrillard dalam buku Galaksi Simulacra (2001) disebut hipperealitas yang berarti lebih nyata daripada nyata (h.24). 

Dalam hal ini konsekuensinya adalah aktor dan karakternya dalam suatu film dianggap menjadi realitas yang nyata padahal ia hanyalah -dan terbatas- sebagai pemeran suatu tokoh dalam film. Sehingga hiperealitas mengaburkan kondisi realitas nyata yang senantiasa dinamis dan berubah.

Terkait kasus ini Ariel Heryanto mengatakan, “Tentu saja, kita tidak boleh memandang film yang dibuat secara komersial sebagai sebuah medium yang mewakili kenyataan sosial secara faktual dalam pengertian langsung dan empiris (hal.77)”. Kenyatannya kita sering terjebak dalam situasi sosial yang ada dalam film. Film kita anggap ‘lebih nyata’ melampaui kenyataan sebenarnya.

Juga hal yang umum terjadi pada kita saat menyaksikan sebuah film ialah kita telah memiliki konsep “seharusnya” yang kita bawa sebelum menyaksikan film tersebut. Sehingga setelah kita menyaksikan film tersebut, kita akan mengalami kekecewaan, karena konsep “seharusnya” yang ada dalam pikiran kita, dalam film tersebut tidak terjadi.

Film tak hanya menyajikan hiburan dan menyampaikan informasi, namun film juga bisa mewakili perasaan penikmatnya. Begitupun dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Demikian Ariel mengatakan, “Pemerintah Indonesia telah menetapkan batasan-batasan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh ditayangkan secara publik, dan konsumen biasanya lebih tertarik untuk pergi ke bioskop untuk lari dari kenyataan sehari-hari ketimbang terus-terusan menghadapinya (h.77)”.
Hal inilah yang menurut Ariel menarik untuk menjadi kajian tentang hubungan sosial-masyarakat dan film. Lebih lanjut Ariel mengatakan, “Sekalipun demikian, dengan faktor-faktor tersebut, film tetap merupakan bahan yang sangat membantu penelitian serius tentang hubungan-hubungan sosial yang nyata dalam suatu masyarakat, juga kesadaran publik, fantasi, dan kecemasan mereka (h.77)”.

Buku setebal 350 halaman ini menyajikan analisa yang menarik pada politik budaya layar Indonesia, mulai dari sejarah, budaya pop, post-Islam, hingga K-Pop. Buku ini memang bukan buku panduan tentang tata cara membuat film atau menjadi sutradara, namun kita bisa belajar dari buku ini bagaimana pengaruh film dan unsur-unsurnya terhadap masyarakat Indonesia dan bagaimana film dapat mewakili citra Indonesia dari berbagai sudut pandang, mulai sejarah (khususnya Orde Baru), politik, budaya, hingga sosial.

Namun kita tidak bisa secara komprehensif memahami isi buku ini jikalau kita belum mengetahui pelbagai istilah atau kosa kata yang sering dipakai dalam dunia akademis semisal post-Islamisme, Budaya Pop, dan lainnya. Tetapi bagi anda yang telah banyak mempelajari literatur atau kajian filsafat tentunya akan mudah memahami buku ini. Bukan berarti buku ini hanya bisa dipelajari oleh orang-orang tertentu, justru generasi muda yang saat ini kebanjiran budaya pop wajib hukumnya membaca buku ini.

Judul buku       : Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia
Pengarang       : Ariel Heryanto
Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 
Ketebalan        : xvi + 350 halaman ; 14 cm x 21 cm
Tahun terbit    : 2018
Cetakan           : IV
ISBN                 : 978-602-424-412-5 
Peresensi      : Maulana Malik Ibrahim