Kritik Ekofeminisme Atas Paradigma Pembangunan

Judul Buku : Bebas dari Pembangunan; Perempuan Ekologi dan  Perjuangan Hidup di India
Penulis         : Vandana Shiva
Penerbit         : Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan KONPHALINDO
Tahun Terbit : 1998
 Tebal Buku : xI + 284 hlm ; 21
Resensator : Fathan Zainur Rosyid

Jika menyebut kata ekofeminisme, rasanya kurang afdhal kalau belum menyebut sosok Vandana Shiva. Ia adalah feminis asal India yang  menulis beberapa riset tentang perempuan, ekologi dan filsafat ilmu pengetahuan. Beberapa risetnya juga membahas persoalan pembangunan di India yang mengabaikan kelestarian alam (ekologi).

Dalam bukunya yang berjudul “Bebas dari Pembangunan; Perempuan Ekologi dan Perjuangan Hidup di India” ia sangat keras menentang pembangunan yang berorientasi pada akumulasi kapital hingga mengabaikan aspek-aspek yang tak kalah penting yakni kelestarian ekologi. Masifnya pembangunan di India menurut Vandana secara sistematis telah memarginalkan perempuan sebagai elemen yang paling penting dalam rantai siklus kehidupan.

Bagi Vandana konsep dan kategori barat tentang pembangunan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam muncul dari latar belakang yang khas, yaitu pengembangan industri dan pertumbuhan kapitalis di negara pusat kekuatan kolonial yang sekarang dinaikan ke tingkat lebih tinggi yaitu sebagai asumsi yang berlaku universal dalam latar belakang yang sama sekali berbeda. Ia mengutip kata Rosa Luxemburg bahwa, pengembangan industri di Eropa Barat pada awalnya menuntut pendudukan secara permanen negeri-negeri jajahan oleh kekuatan-kekuatan dan pemusnahan ‘ekonomi alam’ di negeri jajahan (h.2).
Dalam Kritiknya terhadap paradigma sustainable developmentalism, menurut Mansour Faqih dalam pengantar buku ini Vandana menggunakan perspektif ekofeminisme. Diskursus yang pertama kali digunakan oleh Francoise D’ Eaubonne ini dipoles dan diberi nuansa baru menggunakan kearifan lokal. 

Vandana mampu mengawinkan pandangan ekologi, feminisme dan nilai- nilai kearifan lokal termasuk ajaran mitologi kuno India. Misalnya istilah Purusha dan Prakitri yang oleh Vandana Purusha ditafsiri sebagai bentuk dari maskulinitas alam  sedangkan Prakitri adalah sifat  Feminisme alam. Paradigma pembangunan ala barat menegasikan aspek Prakitri alam. 

Feminisme ala Vandana ini tidak menggunankan gender sebagai basis analisis melainkan menggunakan dua idelogi berlawanan yakni prinsip feminitas dan prinsip maskulinitas. Feminitas dicirakan kedamaian, kasih sayang, dan keselamatan, sedangkan maskulinitas dicirikan sebagai  dominasi, eksploitasi, persaingan dan penindasan.

Kritik  Keras Atas Revolusi Hijau

Salah satu produk kebijakan pembangunan yang diinisiasi negara pertama untuk negara ketiga adalah revolusi hijau. Kebijakan pertanian yang menghasilkan bibit unggul dan swasembada pangan adalah sebuah mitos. 

Menurut Vandana revolusi hijau adalah mitos pada dua tingkat. Pada tingkat mikro penggusuran tanaman jenis sareila, kacang-kacang dan biji-bijian minyak oleh tanaman Variates Unggul (VU) dan secara monokultur melemahkan swasembada pangan. Para petani kecil yang dinilai tidak layak mengambil kredit, tidak membeli alat pertanian dan paket tanaman ekonomi menjadi tergusur (h.161). 

Dengan demikian petani kecil menjadi tergusur dan terjadilah surplus pada tingkat makro. Melimpahnya  stok cadangan  makanan ini karena rendahnya daya beli. Sejumlah petani yang memproduksi pangan untuk mereka sendiri telah tergusur dari pertanian dan tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk membeli makanan yang diproduksi dan didistribusikan secara komersil (h.163).

Dalam buku ini Vandana menyertakan data-data dalam bentuk tabel untuk mendukung kritiknya. Data ini juga yang membuat kritiknya nampak sangat lugas nan bernas. Dalam buku ini pembaca akan sering mendengar istilah pengetahuan reduksionisme, yang merujuk pada produk pengetahuan barat yang melandasi pembangunan untuk menyingkirkan perempuan dunia ketiga dan memusnahkan keberlanjutan ekologi. Menegasikan keberagaman pengetahuan lokal tentang alam yang dinilai tidak menghasilkan keuntungan material–ekonomi. 

Vandana sekilas kelihatan sinis pada laki-laki barat. Menurutnya karena merekalah biang keladi atas hancurnya ekosistem di India khususnya dan dunia ketiga pada umumnya. Sekilas akan nampak terlalu dikotomis dimana Vandana menempatkan laki-laki sebagai pihak yang selalu dalam posisi  menindas. 

Belajar dari India


Membaca buku ini seperti bercermin pada India, Indonesia yang juga sebagai salah satu bagian dari dunia ketiga. Indonesia pada hari ini juga gencar melakukan pembangunan insfrastruktur dengan dalih pemerataan pembangunan dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahkan tidak segan menerabas apa dan siapa saja yang ada di depannya. 

Alih–alih memperhatikan hak asasi manusia dan keadilan lingkungan, atas nama pembangunan dan kepentingan umum pemerintah berkolaborasi dengan koorporasi menggusur lahan pemukiman masyarakat miskin kota dan masyarakat desa. Penggusuran dilakukan dengan mengalihfungsikan puluhan hektar lahan pertanian, serta membuka tambang dengan luasan yang cukup besar. 

Sebagai sesama negara dunia ketiga konteks pembangunan di India dan Indonesia tidaklah jauh berbeda. Analisis ekofeminisme ala Vandana Shiva bisa diterapkan di Indonesia dengan mengkaji prasyarat material dan dielaborasikan dengan nila-nilai mitologi nusantara. Selamat membaca!