![]() |
Resensi Buku Arok Dedes oleh Umi Ma'rufah |
Memahami Sisi Lain Kisah Arok Dedes
Bagi kita yang pernah mendapatkan materi pelajaran sejarah, pasti tidak asing lagi dengan nama Ken Arok. Ia sering diceritakan sebagai seorang yang licik dan pandai bersiasat di masa kekuasaan Tunggul Ametung. Namun tak pernah diceritakan dalam catatan sejarah kita bagaimana proses dan unsur-unsur yang mempengaruhi perjalanan kehidupan Arok dalam usaha menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung.
Buku Pram yang satu ini memberikan satu sudut pandang menarik dalam memahami kisah Arok dan Dedes. Dimana ia menyajikan runtutan sejarah lama tersebut dalam sebuah kisah yang apik dan epik. Pram menampilkan kisah Arok Dedes yang sesungguhnya tak lepas dari pengaruh unsur kepercayaan, kasta, dan model kekuasaan saat itu.
Melalui berbagai adegan dan penceritraan yang memiliki alur maju mundur, kisah Arok Dedes dimulai ketika Dedes hendak dijadikan permaisyuri oleh Tunggul Ametung. 40 hari ia berdiam diri tak beribicara sama sekali. Hal itu merupakan sebuah bentuk protes ketidakrelaannya diperistri Tunggul Ametung secara paksa. Sebab ia adalah seorang Brahmani penyembah Mahadewa Syiwa, putri Brahmana Mpu Parwa sedangkan Tunggul Ametung adalah seorang sudra hina penyembah Wisynu yang dimusuhi oleh para Brahmana Syiwa.
Usai upacara pernikahan yang ia anggap sebagai upacara penghinaan kaum Wisynu atas dirinya, dan lantaran tidak adanya restu dari sang ayah, iapun bersumpah, “Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya.” (Hlm. 13). Sejak saat itulah dimulai serangkaian peristiwa yang menandai kehancuran Tunggul Ametung.
Arok; Sebuah Teror untuk Penguasa
Diceritakan bahwa Temu (nama kecil Arok) adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani. Ia diasuh oleh seorang pencuri bernama Ki Lembung. Sejak kecil ia terbiasa menggembala dan memandikan kerbau. Sambil menggembala ia juga bermain dengan teman-temannya. Iapun banyak memenangkan perkelahian, maka muncullah ia menjadi jago dan pemimpin bagi teman-temannya.
Singkat cerita, setelah kemudian ia terpaksa harus pergi dari rumah Ki Lembung, ia bertemu dengan Ki Bango Samparan, juga seorang penggembala dan penjudi. Kedatangannya di dalam keluarga ini membuat beberapa anak Ki Bango cemburu, karena Ki Bango lebih sayang kepada Temu. Setelah tiga tahun tinggal bersama keluarga itu, iapun terpaksa pergi lagi.
Oleh Ki Bango ia diminta belajar kepada Bapa Tantripala. Kepadanya ia belajar melakukan Darana (konsentrasi), Pratyabara (bebas dari pengaruh luar diri sendiri), Pranayama (pengaturan nafas), dan ekagrata (tinggal satu titik yang diperhatikan nampak). Sampai akhirnya ia berkesimpulan: ia akan tetap belajar untuk tidak terlalu banyak melakukan kekeliruan, baik terhadap para dewa maupun manusia. ( h. 89).
Setelah Tantripala merasa cukup, ia menyuruh Temu untuk melanjutkan berguru pada Dang Hyang Lohgawe. Pada Dang Hyang Lohgawe, Temu mendapat kebebasan. Kebebasan itu ia pergunakan untuk memimpin para pemuda melakukan penyerbuan terhadap apa saja yang menguntungkan Tunggul Ametung. Ia tak pernah merasa salah melakukannya, justru benar karena Tunggul Ametung yang telah menyebabkan kesengsaraan memang patut untuk dihukum. Dari Dang Hyang Lohgawe lah ia mendapatkan nama Arok dalam sebuah upacara. Ia disebut sebagai Garuda harapan kaum brahmana, dan berjanji untuk mengembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa.
Teror demi terorpun terus ia berikan kepada Tunggul Ametung dan para pasukannya. Ia bertekad untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Dengan menggunakan nama samaran Borang dan berpakaian laiknya seorang Brahmana, ia sering mendatangi desa-desa untuk memberikan kesadaran akan penindasan yang mereka alami. Pada suatu kesempatan ia sampaikan kepada warga, bahwa musuh dari semua yang membenarkan Tunggul Ametung, juga musuh dari ketidaktahuan, kebodohan. (h. 20)
Juga dengan nama itu ia menakut-nakuti pasukan Tunggul Ametung yang biasa melewati jalan ke desa-desa. Bersama teman-temannya ia masih sering melakukan penjarahan atas upeti bawaan pasukan Tumapel yang didapat dari merampas kepunyaan warga. Semua itu membuat Tunggul Ametung marah dan ingin membunuhnya, dan sekaligus membuktikan bahwa teror yang dilakukan Arok dapat memberikan efek ketakutan pada penguasa.
Kecerdikan Taktik Politik Arok
Dalam sejarah yang biasa kita dengar di sekolah-sekolah, diceritakan bahwa Arok membunuh Tunggul Ametung menggunakan keris buatan Mpu Gandring. Ia juga membunuh Mpu Gandring yang menolak menyerahkan kerisnya. Kebo Ijo seorang tamtama Tumapel yang dipinjami keris tersebut akhirnya difitnah sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Nah, disini juga terdapat sisi lain dari cerita Arok Dedes yang dirangkai oleh Pramoedya Ananta Toer.
Dalam melawan kekuasaan Tunggul Ametung, Arok membangun blok kekuatan tandingan. Kekuatan itu terbangun dari banyaknya korban penindasan, penjarahan, pembunuhan, dan perbudakan yang dilakukan oleh Tunggul Ametung. Ia dan kelompoknya menciptakan kerusuhan terhadap setiap prajurit Tumapel yang melakukan tindak kekerasan dan penindasan. Disinilah Tunggul Ametung mulai berpikir cara untuk menyelesaikan berbagai kerusuhan itu.
Dedes yang ditanyai persoalan itu menjawab bahwa semua ini dikarenakan Tunggul Ametung yang telah melecehkan para Brahmana. Atas desakan Dedes dan Yang Suci Belakangka (Brahmana Kediri yang diutus mengawasi Tunggul Ametung di Tumapel), ia akhirnya mau menghadap Dang Hyang Lohgawe untuk meminta petunjuk dan solusi. Dang Hyang Lohgawe menganjurkan Tunggul Ametung untuk menerima Arok sebagai seorang yang akan menumpas kerusuhan tersebut. Dengan terpaksa iapun menerimanya sebagai prajurit Tumapel.
Kesempatan ini digunakan Arok untuk membentuk strategi politik yang akan memuluskan jalannya dalam menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Beberapa kali ia berpura-pura melakukan penumpasan terhadap para perusuh. Para perusuh yang merupakan kawanannya sendiri hanya menyerang para prajurit Tumapel. Dan para prajurit yang mati digantikan oleh orang-orang Arok. Maka iapun mempersembahkan kemenangan atas para perusuh.
Terlebih ada blok kekuatan lain yang juga hendak menggulingkan Tunggul Ametung, yakni gerakan Gandring yang dipimpin oleh Kebo Ijo. Kebo Ijo adalah tamtama Tumapel, satu-satunya orang berdarah Satria yang tak dihargai oleh Tunggul Ametung.
Dengan adanya gerakan lain ini, Arok manfaatkan agar kelompok kekuatan inilah yang kemudian menjadi pelaku pembunuhan terhadap Tunggul Ametung. Dengan bantuan Dedes maka terjadilah apa yang jadi kehendak rakyat Tumapel, kekuasaan Tunggul Ametung runtuh. Atas restu Dang Hyang Lohgawe, Tumapel dipimpin oleh Arok, pimpinan tertinggi yang mereka agungkan.
Pram dan Roman Arok Dedes
Tak seperti penggambaran dalam buku-buku pelajaran di sekolah, dimana Arok dianggap sebagai seorang pencuri yang licik, Pram justru menampilkan Arok sebagai sosok yang nyaris sempurna. Ia disebut sebagai seorang berdarah sudra, berperilaku satria, dan berjiwa brahmana. Seorang yang memiliki perpaduan triwangsa yang diakui Erlangga. Kecuali tentang tak jelasnya asal usul kelahiran Arok, ia hampir-hampir tak memiliki cela dalam buku ini.
Sebagaimana kisah-kisah sejarah lain yang ditulis oleh Pram dalam bentuk novel, kisah Arok Dedes inipun tak lepas dari unsur fiktif. Meskipun tak diketahui secara pasti yang mana saja tokoh dan jalan cerita yang fiktif, tetap tak mengurangi keindahan alur cerita sejarah yang digambarkan cukup detail oleh Pram. Sebab iapun telah menelusuri jejak sejarah tersebut sebelum menjadi tahanan di Pulau Buru, hingga akhirnya lahirlah karya monumental ini dalam situasi yang cukup sulit saat itu.
Buku ini juga dilengkapi dengan keterangan silsilah raja Mataram dan Syailendra dan para raja Wangsa Isana. Sayangnya cerita Arok Dedes dalam buku ini selesai begitu Tunggul Ametung dikalahkan dan Arok naik tahta. Hal itu membuat pembaca penasaran bagaimanakah kisah Arok Dedes ketika menggulingkan Kerajaan Kediri dan membangun Singasari. Juga bagaimanakah kisah kutukan keris Mpu Gandring tujuh turunan yang coba dipatahkan Pram.
Apalagi Arok Dedes yang merupakan buku pertama tetralogi Arok Dedes,dimana buku keduanya berjudul Mata Pusaran tidak diterbitkan karena cacat. Rasa penasaran inilah yang menuntut pembaca untuk terus menggali kisah lanjutan dari Arok Dedes dalam versi yang lebih detil daripada cerita yang ada di buku-buku pelajaran sekolah.
Tentu ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari buku ini. Salah satunya dari seorang Arok. Karakter Arok menggambarkan seorang biasa yang kemudian mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi seorang terpelajar (Brahmana). Namun tak seperti Brahmana umumnya yang mengetahui serta memahami kondisi negerinya lantas hanya menggerutu tanpa mampu melakukan sesuatu, Arok justru mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Ia turut merespon penindasan yang dilakukan oleh penguasa waktu itu. Menciptakan teror untuk penguasa dan akhirnya dapat meggulingkannya. Dengan begitu ia mampu menghapuskan perbudakan sebagaimana prinsip Erlangga. Seperti Arok, seorang terpelajar yang memihak pada kepentingan rakyatnya tidak akan diam saja melihat ketidakadilan. Andapun barangkali mampu menggali nilai-nilai lain yang ada dalam buku ini. Dus, akhir kata, selamat membaca...
Judul : Arok Dedes
Penulis : Pramoedya Ananta ToerCet/Thn terbit : IX/ Juli 2009
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta Timur
Jumlah Hal : 553
Peresensi : Umi Ma'rufah