Nidah Kirani; Simbol Pemberontakan Perempuan Kepada Tuhan



Resensi buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! "Memoar Luka Seorang Muslimah" oleh Umi Ma'rufah

Nidah Kirani; Simbol Pemberontakan Perempuan Kepada Tuhan


Pernahkah Anda berada di situasi dimana Anda diberi harapan besar namun kemudian dikecewakan? Atau pernahkah Anda mengalami perubahan drastis disebabkan rasa kecewa kepada seseorang? Bagaimana bila itu terjadi kepada Tuhan? Pernah? Jika iya berarti Anda akan dengan mudah memahami pergolakan batin yang dialami oleh tokoh utama dalam buku berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!”.

Buku yang ditulis berdasarkan pengalaman seseorang ini memang cukup menghenyakkan pembaca dengan narasi-narasi kerasnya. Narasi yang mengungkapkan sebuah kekecewaan besar dan kemudian membalik penuh kehidupan seorang muslimah secara berlawanan. Inilah buku yang berisi pengakuan jujur yang tanpa basa-basi mengatakan apa yang seharusnya dikatakan.

Dimulai dari kehidupan keagamaan yang begitu religius, Nidah Kirani (tokoh utama) menjalani berbagai ritual agama dengan tekun. Ia rajin mengikuti pengajian di sebuah masjid, membaca Al-Qur’an ketika waktu senggang, juga sholat wajib beserta sunnahnya. Semua berawal dari perjumpaannya dengan seorang teman bernama Rahmi.

Rahmi adalah teman Kiran di pondok yang paham sekali masalah agama. Ia selalu mendapat siraman rohani dari temannya ini. Kepadanyalah ia sering bercakap. Meskipun Rahmi ini agak payah dalam hal diskusi di luar masalah ibadah, tetapi kepandaiannya dalam hal agama membuat Kiran kagum. Sampai kemudian mau mengikuti aktivitas Rahmi yang sangat islami.
Bersama Rahmi ia merasakan pengalaman keberagamaan yang sangat jauh dari dosa. Pengajian yang ia dan Rahmi ikuti bukanlah yang ada di pondok, melainkan di sebuah Masjid Tarbiyah. Disana ia merasakan kedamaian karena bersama orang-orang yang khusyuk. Bahkan ia sampai menganggap ruangan yang dipakai pengajian itu kedap dosa (hlm. 28).
Hingga kemudian kawannya pergi karena suatu alasan. Namun hal itu tak lantas menghentikan aktivitas keagamaannya. Ia tetap mengikuti pengajian dan beribadah lebih khusyuk. Kemudian iapun membuat forum kajian keislaman di kampusnya. Sampai akhirnya melalui forum itu ia bertemu seorang pemuda bernama Dahiri yang memperkenalkannya dengan sebuah Jemaah yang mencita-citakan Daulah Islamiyah di Indonesia.

Antara Harapan dan Realita

Demi mengikuti organisasi jemaah ini, Kiran berkenan dibawa oleh Dahiri bersama kawan-kawannya ke sebuah tempat namun dengan mata tertutup. Ia sangat senang karena akan ikut serta mengemban amanah mulia berjuang di jalan Allah SWT. Ia telah siap bergabung dengan para jundullah yang merelakan hidup mereka untuk menegakkan ayat-ayat Tuhan di muka bumi (hlm. 46).
Harapan itu bersambut dengan dibaiatnya ia melalui pencerabutan akar keagamaan lama yang dianggap salah, dan kemudian ditanami dengan bibit-bibit akidah yang baru. Kisah selanjutnya tentu berlangsung seputar bagaimana aktivitas Kiran bertambah khusyuk dan sufi. Hampir setiap hari ia berpuasa, sholat wajib dan sunnah lalu membaca Al-Qur’an. Ia merasa telah benar-benar berhijrah sebagaimana nabi berhijrah dari Mekah ke Madinah.
Sampai kemudian ia memutuskan untuk meninggalkan pondok dan tinggal di Pos Jemaah. Disinilah titik balik dimulai. Ia yang sebelumnya berharap akan semakin dekat dengan usaha-usaha menegakkan Pemerintahan Islam berbentuk Daulah rupanya dihadapkan pada realita yang jauh dari harapan itu. Aktivitas ibadah orang-orangnya saja tidak setekun yang ia lakukan. Berbulan-bulan ia disana tanpa tahu kejelasan bagaimana perjuangan penegakan syariat Islam ini dilakukan. Bahkan ia mulai curiga dengan infak bulanan yang harus ia berikan untuk kas perjuangan.
Kemudian iapun berjuang di tanah kampung halamannya dengan berdakwah. Tentu saja ia membawa materi mengenai pentingnya menegakkan daulah islamiyyah. Ia berhasil mengajak keluarganya dalam paham yang ia bawa. Tetapi inilah yang kemudian menjadikan warga desanya justru resisten, hingga ia tak berani lagi muncul.
Kekecewaan itu kembali ia rasakan setelah melihat jemaah yang mencita-citakan penegakan Islam semakin larut dalam aktivitas yang tidak berguna dan tidak melakukan apa-apa untuk perjuangan. Ia pergi dan mulai bertanya-tanya. Tentang kekeliruan jemaahnya, tentang sikap Tuhan, tentang penolakan orang-orang kampung atas dirinya, tentang adakah kekurangan dirinya dalam mengabdi, tentang mengapa ia yang selalu dipaksa untuk bersabar atas nama TUHAN? Ia kecewa dan patah hati.

Bebas dari Agama dan Menjadi Pelacur

Setelah ia merasakan begitu sakitnya patah hati pada Tuhan, Kiran mulai menampakkan sikap melawan Tuhan. Ia tak lagi menghiraukan suara azan. Ia tak mau lagi shalat. Ia tak takut mati. Ia mengatakan ini sebagai “revolusi atas kekecewaan” (hlm. 106). Sampai kemudian kehidupannya diwarnai oleh aktivitas yang membebaskannya dari aturan-aturan agama. Ia menenggak obat-obat terlarang dan tak lagi menyambangi masjid.
Adalah Darul Rachim, seorang aktivis Forum Studi Mahasiswa Kiri untuk Demokrasi yang mula-mula menjadi kawan diskusi, sampai kemudian menjadi orang pertama dalam pengalamannya melakukan hubungan seksual. Sejak saat itu ia sudah mati rasa dengan lelaki. Katanya: “dan aku semakin absurd: tentang Tuhan, tentang agama, tentang cinta, tentang laki-laki. Semua-muanya tak bisa lagi aku nalar”. Sejak itu beberapa lelaki aktivis kampuspun satu persatu jatuh ke pelukannya.
Selain merasakan luka iman dan luka keperempuanan, ia masih dihadapkan pada luka hati karena Bapaknya berbaring di Rumah Sakit. Ia menyumpahi Tuhan, dan menolak penderitaan yang ia alami. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Tapi tak sampai mati, ia selamat namun tidak membuatnya berdamai dengan Tuhan. Ia lantas menjadi pelacur lewat seorang dosennya. Keputusan ini ia ambil, sebab baginya perempuan lebih dihargai jika seks yang ia lakukan bertarif. Dengan begitu harga dirinya bisa ia pertahankan.

Sisi Lain Novel 

Apa yang dikisahkan Muhidin dalam novel ini mungkin cukup mencengangkan pembaca, terutama bagi Anda yang beragama dengan taat. Hal ini juga dijelaskan di akhir buku bahwa buku ini telah menuai berbagai kritik dan kecaman, tapi tak sedikit juga pujian yang ia terima. ia pernah dituduh menyudutkan kelompok agama tertentu dan dianggap kafir. Sampai-sampai ada kampus yang merasa menjadi objek cerita menahan ijazah salah satu mahasiswinya yang dianggap sebagai tokoh utama novel ini.
Namun beberapa hal yang mesti dicatat, tentu saja point-point menarik dari buku ini, adalah pertama pembaca lebih memahami bagaimana proses seseorang memasuki organisasi keislaman  yang bercita-cita menegakkan syariat Islam di Indonesia. Kedua, Nidah Kirani (tokoh utama) bukan orang yang bodoh. Ia berpikir dan bertanggungjawab penuh atas apa yang ia lakukan. Meskipun barangkali apa yang ia putuskan adalah kesalahan, namun usahanya mendobrak norma-norma yang mengekang kebebasan manusia memberikan kita sebuah kesadaran.
Dalam keputusan soal menikah misalnya, ia menolaknya. Baginya menikah adalah konsep aneh. Katanya, “pernikahan adalah pembirokrasian seks. Pernikahan memfasilitasi dominasi laki-laki atas perempuan. Perempuan pun akhirnya berhasil dirumahkan dan tersingkirkan dari gelombang kehidupan sehingga posisinya semakin termarginalkan” (hlm. 204). Begitupun tentang cinta dan agama. Ide ini mengingatkan penulis pada sebuah novel lain berjudul Perempuan di Titik Nol.
Ketiga, kehidupan Kiran yang berada di lingkungan para aktivis, rupanya tak juga menjauhkannya dari perbuatan tak senonoh oleh para lelaki. Mereka cerdas, berintelektual, biasa demo menuntut pemerintah, bahkan ada diantaranya adalah aktivis islam dan penyair sufistik. Tetapi toh juga tidak menghormati tubuh perempuan.
Terlepas dari pengalaman bertuhan dan beragama yang berkebalikan dengan kehidupan orang pada umumnya, novel ini bisa menjadi tamparan bagi kita yang naif beragama, terlebih kita yang membela agama secara fanatik. Tetapi kita tidak boleh selesai mengambil sudut pandang cerita ini, sebab pengalaman beragama setiap orang berbeda. Begitupun pengalaman bersama para aktivis, pengalaman mengenai cinta dan pernikahan.
Pesannya sebagaimana saya ambil dari penulis novel, “iman yang tak digoncangkan, sepengetahuan saya, adalah iman yang rapuh. Iman yang menipu, hati-hati!”. Tentu saja, Anda tak akan cukup memahami novel ini hanya dari ulasan singkat saya. Akhir kata, selamat membaca.

Judul                    : Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! “Memoar Luka Seorang Muslimah”
Penulis                 : Muhidin M. Dahlan
Penerbit               : ScriPta Manent, Yogyakarta
Tahun terbit         : 2016
Cetakan               : XVI
Jumlah hlm         : 269
Peresensi          Umi Ma’rufah