Membongkar Relasi Kuasa Ilmu Sosial di Indonesia

Judul Buku : Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia
Editor : Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae
Penerbit : PT Equinox Publhisi Indonesia
Cetakan : 2006
Jumlah Halaman : 308 hlm
Peresensi : Fathan Zainur Rosyid

Salah satu tesis Michel Foucault menjelaskan ilmu pengetahuan mengandung nilai objektif, setidaknya jelas metodologinya dan sebagainya. Tapi ia tak pernah netral, bias kepentingan dan politis. Dalam catatan sejarah dunia, nampaknya sulit membantah tesis Foucault di atas.

Buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia merupakan kumpulan riset para pakar ilmu sosial di Indonesia, setidaknya terbentang dalam kurun periode 32 tahun berkuasanya orde baru hingga awal reformasi. Melalui buku ini pembaca akan mengetahui bagaimana penguasa mampu menjinakkan para akademisi guna melegitimasi kebijakan pembangunan nasional.

Ilmu Sosial, termasuk akademisi didalamnya, dalam kerangka berpikir, kurikulum hingga kegiatan penelitiannya terintegrasi sedemikian rupa dengan institusi pemerintahan. Walhasil ilmu sosial waktu itu menjadi apa yang oleh Althusser disebut sebagai ideologi aparatus negara.

Banyak faktor yang mempengaruhi pola relasi di atas, beberapa diantaranya ketika perang dingin banyak progam bantuan ilmu-ilmu sosial dari Amerika Serikat, beberapa akademisi dikirim ke universitas–universitas luar negeri khususnya Amerika sendiri. Ada semacam ideologisasi. Misalnya, bagaimana para ekonom Universitas Indonesia melalui bantuan Ford Foundation dikirim ke Universitas Berkley Amerika. Disana mereka diajarkan teori –teori modernisasi macam teori Wall Hitman Rostow (1964) yang anti komunis itu.

Sepulang dari sana, mereka (para ekonom UI) dijadikan pemangku kebijakan oleh Soeharto hingga sedikit demi sedikit merubah sistem ekonomi Indonesia menjadi liberal.Terbukti pasca itu lahir UU penanaman modal dst.

Ketika diberangusnya gerakan kiri tahun 1965-1966, sampai terbitnya TAP MPRS XXV tahun 1966 menutup diskursus ilmu pengetahuan “antikapitalisme” di perguruan-perguruan tinggi. Di saat bersamaan beberapa akademisi yang dikirim Soekarno ke Belanda-Rusia tidak bisa pulang karena terstigma PKI. Tidak kembalinya para exiled tersebut diyakini beberapa pengamat indonesianis sebagai salah satu kerugian besar Negara Indonesia dalam aspek akademik Mereka adalah calon pakar di bidangnya masing-masing yang kelak akan membawa kemajuan untuk Indonesia.


Pengaruh Ilmu Sosial Pasca Orde Baru

Terkooptasinya Ilmu Sosial di era orde baru mempunyai konsekuensi hingga pasca reformasi. Pembaca bisa menelaah pola–pola relasinya pada riset Laksono dalam salah satu tulisan dibuku ini.
Laksono menyatakan bahwa dibentuknya asosiasi–asosiasi ilmun sosial pada tahun 1973,  secara normatif selain untuk menampung sarjana-sarjana ilmu sosial di berbagai kampus. juga untuk menyatukan pengkotak-kotakan ilmu sosial. Terutama mahdzab UI vs UGM. Selain itu tentu asosiasi-asosiasi ini berfungsi sebagai watchdog kebijakan negara yang merugikan rakyat.

Namun faktanya tak demikian, Laksono menguak relasi pendanaan yang ternyata didapatkan dari instansi pemerintahan lewat hubungan kolega hingga mempunyai implikasi buruk. Mulai dari terhegemoninya organisasi-organanisasi itu oleh pemerintah hingga praktek–praktek kegiatan yang diklaim ilmiah tapi nyatanya hanya seremonial. Riset–riset yang dilakukan oleh Laksono disebut untuk mencari kebenaran yang diizinkan, yaitu setelah mendapat surat izin penelitian dari penguasa lewat direktorat. Sesuatu yang sampai hari ini masih dilanggengkan (h. 252).

Gerakan kiri pasca diberangus ternyata masih menyumbangkan gagasannya, salah satunya di bidang agraria. Misalnya dijelaskan Ben With dalam tulisannya di buku ini bagaimana Aidit melalui PKI-BTI menerapkan 3 sama, 4 jangan,4 sama yang pada akhirnya di saintifikasi menjadi teori riset bottom up participatory action research yang diadopsi LSM –LSM hingga lembaga internasional seperti Bank Dunia.

Kemudian dalam konteks sejarah Asvi Warman Adam salah satu peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam tulisannya dengan sangat baik menjelaskan mulai dari “dapur” hingga penyajian sejarah perjuangan negara ini ditulis oleh orde baru hingga membentuk pola narasi zaman kejayaan-penjajahan-kemenangan.


Beberapa tulisan di buku ini membongkar beberapa pengaruh funding-funding  besar luar negeri terkait relasinya dengan perguruan tinggi dan otoritas pemerintah. Relasi ketiganya membentuk suatu paradigma ilmu pengetahuan anti komunisme seperti  penulis singgung di atas. Selain itu relasi funding dengan LSM –LSM yang juga membentuk diskursus gerakan liberal, hal ini tercermin dari fokus isu-isunya seperti gender, pluralisme, dan kebebesan sipil.


Yang menarik adalah buku hasil riset ini dibiayai oleh Ford Foundation. Lembaga Funding yang beberapa kali disinggung juga terlibat mempengaruhi wacana keilmuan sosial di Indonesia lewat bantuan beasiswanya. Bisa dilihat dalam pengantarnya bahwa buku ini adalah bagian dari perayaan lima puluh tahun Ford berbisnis di Indonesia.

Dari buku ini penulis berkesimpulan upaya pembungkaman nalar kritis yang dilakukan orde baru masih terasa hingga sekarang dengan melihat beberapa parameter dan gambaran realitas dalam buku ini. Serta dihapuskannya analisis kelas oleh orde baru begitu mempengaruhi intensitas diskursus keilmuan sosial perguruan tinggi.

Akibatnya tidak sedikit akdemisi sosial–ekonomi abstain melihat problem bangsa dari perspektif corak sistem ekonomi–politik negara kita yang kapitalistik. Kesimpulan penulis masih bisa diperdebatkan, tentu setelah pembaca membaca buku ini. Selamat membaca.