Permendikti No. 55; Bentuk Lain NKK/BKK?

Sumber Gambar: https://sumber.com/
Beberapa waktu lalu muncul kabar bahwa Menristekdikti menerbitkan Permen No. 55 tentang diperbolehkannya OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) masuk ke kampus. Artinya OKP atau yang juga disebut organisasi ekstra mahasiswa seperti PMII, HMI, KAMMI, GMNI, GMKI, PMKRI, dll akan dilegalkan di dalam kampus.

Sebagai mahasiswa tentu kita harus turut menyikapi adanya aturan tersebut. Sebab dengan disahkannya peraturan ini nantinya akan berdampak pada banyak hal yang akan merubah iklim dunia kampus selama ini. Dari yang awalnya OKP dilarang menampakkan diri di kampus selayaknya hantu, ada tapi tidak ada, menjadi tampak dan legal berkeliaran di dalam kampus. Pertanyaannya, Apakah ini adalah hal yang menggembirakan atau justru sesuatu yang membikin kita mengernyitkan dahi?

Pertanyaan diatas tentu memantik penasaran, bagaimanakah peraturan ini menjadi sesuatu yang membahagiakan sekaligus mengernyitkan dahi? Berdasarkan beberapa media yang memberitakan mengenai masalah ini hampir semuanya bernada positif (baca: Permen 55 OKP boleh masuk kampus). Permen ini layaknya angin segar bagi OKP yang selama ini dilarang beraktivitas di dalam kampus. Jarang sekali (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada) tulisan yang mengkritik apalagi menolak peraturan tersebut.

Menurut permen tersebut, OKP yang legal masuk kampus nantinya akan diakomodir dalam satu Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB). Tujuan utamanya adalah sebagai wadah organisasi ekstra kampus guna memperkuat ideologi kebangsaan dan membentengi kampus dari ideologi radikalisme. Mekanisme pembentukan UKM PIB sendiri akan diserahkan kepada rektor yang nanti akan bertanggungjawab atas keberadaan UKM ini.

Meskipun sampai hari ini penulis hanya melihat tanggapan positif dari berbagai media berita online, bukan berarti peraturan ini baik seutuhnya. Sebagai mahasiswa yang juga tergabung dalam salah satu OKP, penting sekali bagi penulis untuk memaparkan pandangan atas peraturan baru tersebut.

Hakikat Organisasi Kemasyarakatan Pemuda

Menilik sejarahnya, OKP terbentuk atas latar belakang ideologi masing-masing. Ada yang berdasarkan identitas agamanya seperti HMI dan GMKI, ada yang berdasarkan ideologi kebangsaan seperti GMNI, ada juga yang menurut ideologi ormas agama tertentu seperti PMII dan IMM, dan lain sebagainya. Yang pasti dari semua OKP itu adalah sama-sama memiliki komitmen yang sama untuk mengamalkan Pancasila dan menjaga NKRI.

Adanya aturan sebelumnya (SK DIRJENDIKTI No: 26/DIKTI/KEP/2002) yang melarang organisasi ekstra di dalam kampus membuat ORMEK tidak mampu leluasa melakukan aktivitas di dalam kampus. Alasannya guna menjauhkan kampus dari benturan berbagai kepentingan politik. Akibatnya Organisasi Mahasiswa Ekstra (ORMEK) hanya mampu eksis hanya jika berada di luar wilayah kampus. Akan tetapi, apakah dengan adanya PERMEN DIKTI No. 55 ini dapat mengembalikan marwah ORMEK sebagaimana aktivitasnya selama ini?

Seperti yang kita tahu, ORMEK adalah organisasi yang selalu berperan aktif mengkritisi kebijakan negara yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. ORMEK juga sering mengkaji isu-isu kebangsaan dan melakukan advokasi terhadap masyarakat yang mengalami ketidakadilan. Intinya ORMEK senantiasa memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dan mewujudkan amanah UUD 1945.

Dalam perjuangannya tersebut, tentu ORMEK bersifat independen dan memiliki garis instruktif berdasarkan jenjang kepengurusan dari pusat sampai kampus. Disinilah yang menjadi titik dimana kita patut mengernyitkan dahi jika mengingat bahwa ketika ORMEK masuk kampus dan menjadi UKM maka ia berada di bawah komando rektor. Dengan demikian garis intstruktif yang telah dibuat bisa saja tidak berlaku apabila rektor tidak menyetujui.

Hal lain yang mungkin akan kembali mengernyitkan dahi kita adalah apa yang dimaksud pengawal ideologi bangsa ini? Jika jawabannya adalah munculnya kekuatan dari OKP yang bersatu dalam UKM dan melakukan kaderisasi yang seideologi dengan bangsa ini dan menanggulangi paham radikalisme tentu tetap akan menimbulkan tanya, ideologi bangsa yang bagaimana? Apakah yang sesuai dengan Pancasila? Jika jawabannya ya, itu berarti tugas UKM ini tidak sekedar membendung paham radikalisme (agama) karena Pancasila tidak hanya berbicara soal itu.

Kita semua tentu tahu, Pancasila terdiri dari 5 sila yang kesemuanya memuat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kemusyawaratan, dan keadilan. Jika UKM PIB ini benar-benar dibentuk, maka tugas UKM ini adalah memperjuangkan kesemua nilai tersebut, tidak hanya di dalam kampus tetapi di dalam negara ini.

Akan tetapi jika dengan adanya UKM PIB ini justru hanya membatasi peran OKP pada penanaman rasa nasionalisme dan menolak paham radikalisme (agama), maka hal ini berarti mempersempit peran OKP. Jika tidak ada pemaknaan atas ‘Pengawal Ideologi Bangsa’ secara utuh ini, maka marwah ORMEK yang aktif merespon isu-isu kerakyatan hemat penulis justru akan menurun.

Bagaimana Seharusnya?

Bagi penulis, gagasan untuk menerima OKP di dalam kampus tentu sangat baik. Penulispun merasa ini merupakan angin segar bagi seluruh ORMEK yang selama ini seperti kucing-kucingan dengan pihak kampus. Tetapi dengan cara membuat UKM PIB yang hanya berperan memperkuat ideologi kebangsaan bagi penulis bukanlah cara yang tepat.

Memperkuat ideologi kebangsaan, menolak paham radikalisme (agama), dan menanamkan rasa nasionalisme tentu sudah menjadi paham yang mendasar bagi para kader OKP. Untuk itulah pentingnya legalisasi OKP untuk melakukan kaderisasi secara terbuka pada seluruh mahasiswa.  Yang justru menjadi kegelisahan mahasiswa hari ini adalah menurunnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dan agen kontrol kebijakan.

Jangan sampai Permen 55 ini seperti tetap memberlakukan NKK/BKK tetapi dengan bentuk yang berbeda. Jika dulu OKP dilarang masuk kampus karena kampus dilarang berpolitik dan membicarakan isu politik, kini OKP dimatikan daya kritisnya dengan membebaninya pada satu tugas, mengawal ideologi bangsa. Tetapi semua mesti dikembalikan lagi pada mahasiswa, apakah akan menerima begitu saja peraturan ini, atau perlukah sikap kritis menghadapinya?

Ditulis oleh Umi Ma'rufah