Penulis : Rusdi Mathari
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : Pertama, Juli 2018
Jumlah Halaman : xiv + 257 halaman
ISBN : 978-602-1318-64-5
Peresensi : Joko Priyono
Buku yang diberikan judul Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan ini terbit dalam kurun waktu sekitar pasca empat bulan sang penulis meninggal dunia. Ia adalah Rusdi Mathari, yang banyak orang mengenalnya dengan sebutan Cak Rusdi. Secara waktu, Cak Rusdi meninggal dunia pada hari Jumat tanggal 2 Maret 2018.
Dengan menulis, penulis meyakini apa yang dilakukan oleh Cak Rusdi adalah sebagaimana apa yang pernah disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer, bekerja untuk keabadian. Terbitnya buku itu, menyusul beberapa buku lain yang juga merupakan karyanya, antara lain adalah: Aleppo (EA Books, 2016), Merasa Pintar, Bodoh Saja Tidak Punya (Buku Mojok, 2016) serta Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam (Buku Mojok, 2018).
Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan oleh Cak Rusdi pada kurun waktu tahun 2006 hingga 2017. Tentu saja, semula tulisan demi tulisan yang termaktub di dalam buku tersebut, mulanya tercecer, kemudian disatukan menjadi sebuah naskah yang utuh.
Kumpulan tulisan tersebut merupakan tulisan yang berasal dari status akun Facebook pribadinya, catatan blog, materi pelatihan jurnalistik hingga liputan yang pernah dilakukan—semasa beliau masih aktif bekerja di media. Setelah membaca keseluruhan tulisan yang ada, penulis menyimpulkan bahwa buku tersebut mengajak kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya jurnalisme itu bekerja.
Tak bisa dipungkiri memang, kehidupan manusia pasca internet lahir menjadi semakin berwarna dengan berbagai ragamnya. Hal tersebut menjadikan kehidupan manusia berfokus bukan hanya pada kehidupan nyata saja—melainkan lebih dari itu, juga ihwal kehidupan dunia maya.
Semakin hari, dunia maya menawarkan berbagai aplikasi maupun fitur terbaru, yang tentu saja membuat banyak orang tertarik—kemudian hanyut dengan segala arus yang terjadi di sana. Siapa yang tidak berhati-hati, maka celakalah dia. Segala resiko akan terus ada. Kita mungkin juga menyadari bagaimana lautan hoax yang berseliweran ke sana-kemari, yang tak ayal melahirkan perbedaan pendapat, debat kusir, perpecahan kelompok hingga perkelahian.
Apalagi dengan semangat mengabarkan informasi—artikel maupun berita tanpa melakukan crosscheck dan pembacaan yang mendalam, kemudian didukung nalar like, share, insyaallah surga, sangatlah begitu berbahaya. Kalau sempat mending sebatas balas di kolom komentar: surgane mbahmu.
Lebih lagi, kalau yang melakukan adalah para jurnalis. Watak seperti ini sebagaimana digambarkan oleh Cak Rusdi dalam tulisan yang berjudul Hoax, Para Monyet dan Wartawan. Tulisan tersebut salah satunya mempersoalkan isu ‘Jilbab Hitam’ pada bulan November 2013, yang juga menyangkut kelakuan wartawan Tempo yang sedikit blunder dengan abai pada kontrol jurnalistik yang ketat. Lebih tertarik pada gosip.
Tak salah ketika Cak Rusdi menuliskan,
“mereka itulah wartawan pemalas, yang atas nama roda industri pemberitaan dan kebebasan pers, memungut informasi apa saja tanpa mengukurnya dengan standar dan etika jurnalistik lalu mengemasnya menjadi berita dan menyebarkan tanpa malu” (h. 19).
Jurnalis dengan ragam kerja jurnalismenya memang menjadi subjek vital dalam pembahasan buku ini. Mulai dari kebiasaan buruk hingga kebiasaan buruk—yang menjengkelkan. Di sisi lain juga memaparkan perkembangan media baik cetak maupun dalam jaringan (daring).
Adakah hubungan antara kebohongan dan seorang wartawan? Kita bisa menemukan dalam tulisan yang berjudul Wartawan dan Kebohohongan. Tentu saja, dua hal tersebut memiliki pengertian yang berbeda dan dalam dunia jurnalisme, tidak boleh disatukan, dengan cara maupun dalih apa pun. Jikalau digabungkan, bahasa Cak Rusdi, sebagai salah satu kejahatan terbesar.
“Wartawan yang berbohong dengan beritanya, karena itu bisa disebut telah melakukan kejahatan terbesar kepada publik. Lebih dari itu, akibat yang mungkin bisa ditimbulkan dari berita bohong bisa fatal” (hlm. 23).
Kematian Wartawan
Tak heran ketika di beberapa negara, dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga, tingkat kepercayaan publik akan profesi jurnalisme—wartawan cukup mengernyitkan dahi. Misalnya adalah sebagaimana laporan yang dirilis pada tahun 2015 oleh Reporters Without Borders. Antara lain terkait mengenai indeks kebebasan pers di 180 negara, yang mana terbagi menjadi lima kelompok warna yaitu: “putih untuk indeks kebebasan pers yang tinggi atau sangat bagus, kuning bagus, cokelat agak bagus, merah buruk dan hitam untuk indeks paling buruk” (hlm. 144). Dari total keseluruhan negara tersebut, warna putih 21 negara, kuning 31 negara, cokelat 62 negara, merah 46 negara, dan hitam 20 negara.Apakah Indonesia termasuk daftar negara yang diteliti? Jika termasuk di dalamnya, bagaimana hasilnya? Kebebasan pers Indonesia bukan termasuk yang paling buruk, melainkan buruk atau hampir buruk.
Berada di kelompok merah, bersama Malaysia, Guatemala, Sudan, Zimbabwe, Columbia, Kamboja, dan Burundi; Indonesia menempati urutan 138 dengan indeks kebebasan pers 40,75 % atau sedikit lebih baik dari Filipina, tapi lebih buruk dari India dan Venezuela” (hlm. 145). Pada waktu itu pula, kebebasan pers Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Timor Leste yang berada di kelompok cokelat dengan menempati urutan 103.
Dari lembaga yang sama, yang lebih mengerikan lagi—adalah ketika fakta menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015 tak kurang 65 wartawan dan 18 netizen atau jurnalis warga tewas saat menjalankan pekerjaannya. Sementara berjumlah 150, pada tahun tersebut, wartawan harus masuk ke bui. “Irak menjadi negara yang paling mematikan bagi wartawan sepanjang tahun 2015” (hlm. 141).
Ini tentu mejadi pukulan keras bagi—para jurnalis itu sendiri, baik wartawan, pegiat media cetak maupun daring, hingga kepada ranah di tingkatan pembuat regulasi—pemerintahan maupun kementerian yang terkait dengan dunia jurnalisme.
Menjadi bagian dari jurnalisme memang bukanlah perkara mudah. Pun juga terlalu sulit. Namun, jurnalisme bukanlah persoalan sepele. Banyak tantangan yang harus dihadapinya, baik dari persoalan pemutusan hubungan kerja, tantangan terhadap para pemilik modal (kapital) yang menyebabkan terindustrialisasinya jurnalisme, persoalan teknis maupun non teknis yang terkait hal-ihwal regulasi yang ada, ancaman kematian hingga tantangan terhadap sesama orang yang berada di dunia jurnalisme itu sendiri.
Tentunya harus membawa perenungan bahwa di dunia jurnalisme, harus memiliki prinsip yang jelas, sikap yang tegas, etos kerja, tidak abai pada akidah jurnalistik dan bukan hanya menaruh pada persoalan kepentingan pribadi maupun kelompok sendiri.
Usaha Mengenang Cak Rusdi
Dalam hidup, mengenang adalah salah satu hal yang melekat dalam diri manusia—bahkan menjadi bentuk menjalankan hidup itu sendiri. Pun juga kandungan maupun makna dari beberapa tulisan Cak Rusdi. Baik itu berupa pengalaman saat bertemu wartawan media lain—bahkan wartawan senior, mengungkap misteri-misteri dalam banyak peristiwa bersejarah, bersama orang-orang terdekatnya, kronologi saat ia pada akhirnya diputuskan hubungan kerja oleh salah satu media—yang berujung tanpa pesangon, karakteristik yang ada dan melekat di balik beberapa media, yang kesemuanya masih berkaitan dengan jurnalistik.Seperti diantaranya adalah pengalaman personal saat bertemu dengan salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama seorang yang dikenal sebagai pelopor jurnalisme kepiting, berita The Jakarta Post ihwal pidato Soeharto pada Kamis, 21 Mei 1998, diakuinya tulisan dalam blog sebagai produk jurnalistik oleh Pusat Wartawan Internasional (IJC), tentang film Balibo Five yang dilarang oleh Lembaga Sensor Film (LSF), kematian Soeharto dan kebingungan yang terjadi di awak media Tempo saat itu, keberadaan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dalam kegiatan jurnalistik untuk pekerja Freeport, kontroversi yang pernah lahir dari Charlie Hebdo, mogok wartawannya The Times dan Koran Jakarta, kronologi PHK nya wartawan Trust, wawancaranya dengan George Junus Aditjondro, hingga ihwal tutupnya Sinar Harapan.
Dalam bagian ini yang menjadi bagian intim adalah pada tulisan yang berjudul Sinar Harapan, Innalillahi. Artikel yang dipublikasikan pada 4 Januari 2016, itu setidaknya ia menjelaskan banyak hal-ihwal sejarah awal mula berdiri sampai pada akhirnya Sinar Harapan harus ‘kukut’.
Lebih dari itu, ada sebuah pengalaman emosional, yang mana bapaknya sendiri pernah menjadi wartawan media tersebut sebagai koresponden di Situbondo. Misalnya, ia menceritakan saat pengalaman diiajak bapaknya melakukan liputan dalam kegiatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo pada awal Desember 1984 yang kala itu bersama dua wartawan lain serta dua fotografer.
“Di Muktamar NU itulah, untuk kali pertama saya melihat dan tahu kamera bertele dan mesin teleks yang bisa mengirimkan berita dan foto dengan cepat, yang dibawa dan digunakan oleh kawan-kawan bapak dari Jakarta, yang tentu saja berbeda dengan kamera Yasica dan mesin ketik Royal milik bapak dan cara bapak mengirim berita lewat perusahaan ekspedisi semacam Elteha, prangko kilat atau telegram” (hlm. 246).
Lewat sebuah kenangan, penulis kira masing-masing orang akan mempunyai perlakuan yang berbeda. Hematnya, akan ada sebuah hikmah maupun pelajaran yang luar biasa untuk bekal hidup di hari esok dan selanjutnya.
Benar demikian, dengan bahasa penulisan yang populer, mudah dipahami, jelas dan disertai analisis yang mendalam, bisa jadi ketika orang setelah membaca buku tersebut, kemudian menyimpulkan akan adanya mahzab baru dalam dunia jurnalistik.
Selain itu, sebagaimana dituliskan Wisnu Prasetya Utomo, salah seorang pegiat media juga penyunting naskah buku ini, dalam kata pengantarnya yang diberikan judul Jurnalisme dan Otokritik, ia berharap menjadi cermin bagi para jurnalis. Cermin yang berupa kritik maupun otokritik itu sendiri.
Ia menambahkan, cermin yang semakin penting ketika media semakin terindustrialisasi dan jurnalis bisa jadi teralienasi dari apa yang ia lakukan sendiri. Kritik yang lahir harapannya tidak ditendensikan dengan kilah maupun alasan berupa frasa “kritik itu harus bertanggung jawab” maupun “kritik itu harus disertai solusi”.
Menjadi sebuah ironi memang ketika ranah kerja media salah satunya sebagai pemproduksi kritik, namun enggan jikalau ia dikritik. Kita, para pembaca, diajak untuk menemukan jawaban atas pernyataan sebagaiman pada judul tulisan ini: bagaimana seharusnya jurnalisme itu bekerja.