Perjuangan Emansipasi Belum Selesai


Judul Buku : Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian
Penulis : Cora Vreede de-Stures
Editor : M. Fauzi dan Rahmat Edi Sutanto
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok
Cetakan : 2017
Jumlah Halaman :xxvi + 302 halaman
Peresensi : Faidatul Inayah

Di banyak negara, perempuan kerap memiliki sejarah yang kelam. Tak terkecuali di Indonesia. Dahulu, tugas perempuan hanya berkutat pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Selain itu, dalam dunia pekerjaan kebanyakan hanya menjadi buruh atau berjualan di pasar. Sedikit sekali yang memiliki profesi sebagai pegawai pemerintahan, tenaga pendidik, ataupun tenaga kesehatan. Semua itu disebabkan oleh mengakarnya adat istiadat yang kurang bersahabat dengan kaum perempuan.

Lambat laun, sebagian dari perempuan itu mulai sadar bahwa dirinya hidup dalam ketertindasan. Mulai menyadari akan ketimpangan sosial yang disepakati oleh bangsa Indonesia sendiri dalam bentuk adat itu.

Namun, pada fase awal ini, perempuan belum bisa berbuat banyak. Mereka belum bisa mengoptimalkan perannya. Kekangan adat masih sangat mengakar; laki-laki lebih banyak mendapatkan ruang aktualisasi atas hak-haknya daripada perempuan.

Selain berusaha melawan kekangan adat, pada fase selanjutnya perempuan juga dihadapkan pada kekangan kolonial. Cora Vreede de-Stures berusaha mengungkap sejarah kebangkitan gerakan perempuan dalam sebuah bukunya yang diberi judul Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian.

Buku tersebut mengulas pergerakan perempuan nasional, baik dalam hal melawan adat maupun kolonial untuk mencapai sebuah emansipasi. Melalui buku ini pembaca akan mengetahui bagaimana itikad perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan—yang secara ragu-ragu orang menyebutnya sebagai gerakan feminis Indonesia.

Antara Adat dan Fikih

Adat dan hukum Islam merupakan dua hal penting yang sangat berpengaruh terhadap perjuangan emansipasi perempuan Indonesia. Pada awalnya orang cenderung memandang eksistensi adat dan fikih (hukum Islam) sebagai suatu kombinasi dari dua elemen heterogen.

Hal tersebut juga dipandang sebagai alat untuk  membagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam menjadi dua golongan; golongan yang sangat terikat dengan adat lama mereka serta golongan kecil yang benar-benar memegang hukum Islam dan dikelompokkan sebagai kelompok fanatik yang mencoba menghilangkan sisa-sisa adat pra-Islam.

Dalam masyarakat saat ini, terdapat tiga karakteristik sistem adat/kekerabatan di Indonesia yang perlu diketahui. Sistem matrilineal, patrilineal, dan bilineal. Ketiga sistem kekerabatan itu bersintesis dengan Islam dan kemudian mem(re)produksi hukum untuk mengatur perempuan dalam perkawinan.

Semua sistem adat itu sama-sama menempatkan perempuan sebagai “penjaga rumah”, tetapi tidak berarti mempunyai pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak yang memberi status sosial sebuah keluarga.

Terdapat dua permasalahan yang cukup krusial bagi kaum perempuan. Pertama, berhubungan dengan berbagai hal seputar perkawinan dan yang kedua berkenaan dengan tidak adanya hak untuk mengenyam pendidikan.

Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut adalah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin, cerai, dan pewarisan. Terdapat asumsi bahwa jika perempuan bersekolah maka usia perkawinannnya dapat ditunda dan sekaligus mereka tahu dimana kedudukannnya dalam hukum perkawinan.

Era Kolonial

Gerakan perempuan pada masa kolonial ditandai dengan adanya kongres pertama perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 22—26 Desember 1928. Kongres tersebut menyepakati adanya Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) dengan tujuan mengembangkan posisi perempuan dan kehidupan keluarga secara keseluruhan tanpa berurusan dengan masalah politik.

Demi mencapai tujuan tersebut, para perempuan yang mengikuti kongres mengajukan tiga permintaan dan telah disetujui oleh pemerintah, yaitu: 1. Bahwa jumlah sekolah untuk anak perempuan harus ditingkatkan; 2. Penjelasan resmi mengenai arti taklik yang diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah; 3. Peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil harus dibuat.

Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) bukanlah satu-satunya organisasi perempuan pada masa kolonial. Pada awal 1930 sebuah perkumpulan bernama Isteri Sedar, dibentuk. Kemudian pada 1932 dibentuk organisasi Isteri Indonesia, diketuai oleh Maria Ulfah Santoso yang memiliki tujuan untuk meningkatkan pengaruh perempuan Indonesia dalam masyarakat dengan mengikutsertakan perempuan dalam dewan kota.

Dalam buku ini digambarkan bahwa gerakan perempuan pada tahun 1930-an masih fokus pada upaya pendirian dan memperbanyak sekolah untuk anak-anak perempuan dan peningkatan posisi sosial perempuan dalam masyarakat.

Gerakan perempuan pada periode ini meraih kesuksesan dalam sosial dan pendidikan perempuan di kelas ningrat, tetapi belum menyentuh masalah perempuan di kelas rendah yang pekerjaannya di sawah, perkebunan, dan pabrik.

Sedangkan organisasi perempuan yang terkenal pada masa revolusi adalah Persatuan Wanita Negara Indonesia (PERWANI) yang kemudian melebur jadi satu dengan beberapa organisasi perempuan dengan program utama “Menjadi Garis Belakang Kemerdekaan Negara”. Pasca kemerdekaan, gerakan perempuan melebar hampir ke seluruh bidang pembangunan, termasuk bidang politik.

Tantangan

Berbagai masalah dan tantangan bagi perempuan dalam usahanya untuk mencapai keadilan itu hingga saat ini masih saja terjadi. Perempuan Indonesia masih berjuang untuk membebaskan bangsa dan kaumnya (khususnya perempuan) dari kemiskinan, kematian ibu dan bayi, buta aksara, dan semua bentuk diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan.

Organisasi perempuan harus bermitra dengan pemerintah untuk mencapai tujuannya yaitu meningkatkan kesejahteraan perempuan dan memperjuangkan kesetaraan hak dengan laki-laki.

Buku ini cukup jelas dalam membahas beberapa aspek mengenai identitas “Perempuan Indonesia”. Tentunya ditinjau dari segi sosio-kultur demi mencapai keselarasan pandangan dalam melawan hukum adat dan terbangunnya kesadaran personal untuk kemudian menimbulkan kesadaran sosial mengenai status dan kedudukan perempuan di masyarakat.

Namun demikian, dalam pembahasan yang dipaparkan oleh Cora masih berkutat pada gerakan perempuan pada masa kolonial. Belum dibahas secara mendalam terkait pergerakan perempuan pada masa revolusi kemerdekaan.

Tokoh-tokoh perempuan yang dituliskan dalam buku juga hanya perempuan Indonesia dari golongan elit. Seakan identitas perempuan nasional yang diakui sebagai tokoh feminis Indonesia hanya perempuan golongan elit tersebut.

Saya berasumsi barangkali dengan pembahasan yang sebagian ini akan memantik penulis lain untuk melengkapi – melanjutkan catatan perjalanan sejarah gerakan perempuan Indonesia. Semoga dituliskannya sejarah mengenai gerakan perempuan ini akan banyak mengajak para perempuan untuk melanjutkan perjuangan perempuan dalam mencapai emansipasi.