Penulis : Heri Latief, Mira Kusuma, dan Leonowens SP
Penyunting : Eviwidi
Penerbit : Bisnis 2030
Cetakan : Pertama, Mei 2010
Tebal buku : xxvi+236 halaman
ISBN :978-602-8543-60-6
Resensator : Ahmad Zainul Fuad
Sastra harus berada sedekat mungkin dengan kenyataan sejarah, dimana manusia mengalami kenyataan tidak bebas, sehingga sastra mampu menopang praksisi sebuah revolusi. Sebuah sastra juga harus melibatkan masalah-maslah sosial, sastra memikul tanggung jawab etis. Sastra adalah alat pembawa kesadaran akan dunia. - La literature engagee (Jean Paul Sartre)
Pernyataan itu begitu masuk dengan menilik sejarah sebuah revolusi baik yang bersifat nasional maupun internasional. Seperti kata-kata Wiji Thukul: ‘’Hanya ada satu kata: lawan!”. Kata-kata yang memotivasi orang agar berani melawan ketidakbenaran dan melawan segala bentuk penindasan.
Kita juga tidak lupa dengan revolusi yang dilakukan oleh Karl Marx yang sering merujuk sastra untuk mencerminkan kenyataan dalam berbagai cara (Sosiologi Sastra,2013:52). Melalui “Manifesto Komunis” ia bisa menggulingkan kaum borjuis, bukankah itu sebuah kedashyatan dari sebuah sastra?
Kitab karya Heri Latief, Miryanti Ratih, serta Leonowens SP yang berjudul Sastra, Kebebasan dan Peradaban Kemanusiaan hadir di tengah fakta diperlukannya sebuah revolusi ulang, yakni sebuah perubahan untuk menata ulang kehidupan yang salah, dimana menurut se-kecil penalaran saya negeri ini sudah bergerak jauh dari ideologi bangsa.
Senada dengan tulisan Heri, 10 tahun Reformasi hanya menghasilkan apa yang kita lihat sekarang, Indonesia sakit, rakyatnya setengah kelaparan, ditambah pula mahalnya ongkos pendidikan, dan makin suburnya budaya penyalahgunaan kekuasaan (hlm.27).
Dengan penuh keprihatinan, penulis menyatakan bahwa konsep peradaban manusia dewasa ini telah mengalami kelunturan dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Lunturnya peradaban manusia berkaitan langsung dengan sebuah mental yang dibentuk oleh kekuasaan yang otoriter, serta budaya yang memanjakan anak sehingga banyak pemuda yang bermental manisan, dengan sebuah semboyan belajar dan pesta.
Perbedaan dasar gerakan itu pun sudah terlihat mulai tahun 60-an di Eropa dan Indonesia. Di Eropa para eks aktivis mahasiswa zaman anti perang Vietnam sampai sekarang masih mengkritik masalah gawat di dunia ketiga, yaitu perang dan kelaparan. Sedangkan di Indonesia para eksponen 66 hanya memikirkan merebut kursi kekuasaan yang sama sekali tidak memihak pada penderitaan rakyat miskin.
Korlap gerakan mahasiswa ‘98 sekarang malah jadi rebutan partai-partai politik, seolah idealisme diobral karena kebutuhan hidup. Tanpa adanya usaha mandiri rakyat untuk memperjuangkan perubahan sosial secara konkrit, akhirnya ide reformasi hanya menuai persoalan: kembalinya para pemain lama, sang penyebab malapetaka (hlm 29).
Lunturnya peradaban kemanusiaan disebabkan oleh beberapa hal yang dikritik oleh penulis melalui kumpulan esai, puisi serta cerpen dan surat sang manusia abadi. Pertama esai yang berjudul “Politik Lumpur Musim Intrik” menggambarkan sebuah suhu politik dunia yang sedang meriang, antara panas dan dingin.
Jika perang dingin sedikit reda, yang sedang hot adalah perang bisnis global antara pemodal klasik (barat) dengan pemodal baru (India dan Cina), umbul-umbul menjadi sebuah simbol politik dagang di dunia bisnis global. Kepentingan menghalalkan segala cara. Bahkan sampai harus menipu dan berbohong.
Indonesia juga sama. Setelah Mafia Berkeley 32 tahun mengakar di Indonesia maka peradaban di Indonesia itu luntur. Budaya yang ramah tamah menjadi kejam dan bengis, budaya musyawarah yang dulu diajarkan oleh kanjeng sunan diubah menjadi otoriter oleh Mafia Berkeley. Sehingga rasa malu untuk berbohong tidak ada lagi.
Contohnya masalah lumpur panas yang berada di Porong Sidoarjo. Dengan segala macam cara, diarahkan agar skenarionya berpihak pada pemilik modal dan membebankan biaya kerusakan lingkungan alam pada negara. Maka bicaralah sang ahli merekontruksi kebohongan atas bukti nyata. Tetapi kita juga sudah tahu secara logika, bahwa lumpur panas itu mencurat keluar akibat tanahnya dibor dalam rangka mencari minyak (hlm 10).
Yang selanjutnya esai berjudul “Politik Live Leak”. Politik yang bermain lewat kemajuan industri 4.0. politik ini memainkan media YouTube untuk mengeluarkan film fitnah bikinan politikus Geert Wilders. Film itu mempublikasikan soal perang Irak, hasil rekaman gawai yang komplit dengan praktik adegan mengerikan tentang ganasnya perang. Sehingga diharapkan untuk para Islamophobia akan nampak seperti kena pernyakit kelas berat.
Secara umum, perdebatan soal agama selalu sensitif. Tetapi tema diskusi tentang agama yang dulu ditabukan, sekarang menjadi bahan pembicaraan yang normal. Rakyatpun diarahkan perhatiannya kearah politik tingkat tinggi. Di Indonesia sendiri terjadi politik identitas yang membawa sensitifitas agama pada pemilu 2016.
Van den Broek, seorang politikus senior yang juga bekas Menteri Luar Negeri Belanda mengatakan:
“Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat itu diharuskan bertanggung jawab pada kemanusiaan, jika kebebasan itu kebablasan tanpa batas-batas kemanusiaan maka yang ada hanyalah menyebar kebencian”.
Konflik dalam agama jangan dijadikan alasan untuk menghancurkan norma-norma kemanusiaan, sebab kita semua tinggal di dunia yang sama, kita semua saling membutuhkan dalam perjuangan hidup di masa depan tanpa perang, tanpa kemiskinan, dan tanpa penindasan (hlm 36).
Dalam puisi yang berjudul “Budak Melayu” penulis ingin menyampaikan bahwa sebesar apapun mimpi anak Indonesia, setinggi apapun mereka menaruhnya bahkan diatas Galaksi Bima Sakti, ketika terbangun dari mimpi itu maka ia akan melihat kenyataan bahwa dirinya hanya sebatas bangsa kuli.
Entah apa yang salah dan apa yang patut disalahkan? Jika orang barat merantau dan bekerja keras dengan keringat bercucuran bisa menjadi bangsa raja, maka kita yang sampai banting tulang pulang ketika mentari telah terlelap masih tetap menjadi kuli.
Puisi Cerita Nasi Kucing pun turut menggambarkan realitas jurang antara si kaya dan si miskin yang disitu melunturkan jiwa kemanusiaan. Jika di tahun 40-an perbedaan itu belum cukup nampak namun menjadi amat mencolok setelah 32 tahun di bawah kuasa Mafia Berkeley.
“Mari kita rapatkan barisan jangan mau tertipu oleh segunung alasan
apa alasan untuk tidak percaya kekuasaan?
Di bawah orang marah resah gelisah” (hlm 71)
Hakekat Pembebasan
Kekuatan instrumen dari sebuah kata-kata membuat pembaca terbebas dari alienasi. Dan kata-katalah yang menjadi kekayaan bagi seorang penulis, sehingga penulis bersayap kata-kata mereflesikan dunia (Filsafat Eksitensialisme, Jean Paul Sartre, 2011: 90-104).
Dengan kata-kata seorang penulis mampu menulis segala apa yang dia inginkan, dan bahkan bisa membuat sesuatu yang ia inginkan. Seperti yang dikatakan oleh Stephen King dalam buku Stephen King on Writing dengan kalimat: “manusia bisa menciptakan dunianya sendiri”, itulah keampuhan dari sebuah kata. Di samping bisa melakukan sebuah tindakan revolusioner dan gerakan, dengan kata-kata ia bisa membuat dunianya sendiri, ia akan bebas.
Banyak orang mengekspresikan kebebasan dalam bentuk yang berbeda. Dalam cerita yang berjudul “Misteri dunia Maya” Mira bercerita, ketika ia duduk di Kafe Blauwe Lucht yang menjadi tempat tongkrongan favorit di Negeri Bunga Tulip, Mira suka mengamati unggas yang kesana kemari, bersenda gurau dan bermesaraan di sekitar danau.
Kadang kala ia merasa cemburu dengan kehidupan para binatang tersebut, binatang itu bisa mendapatkan kesempatan hidup berbahagia dengan nyaman dalam menikmati kebebasan hidupnya di taman. Di taman komunitas unggas,mereka sangat bebas, saling bercumbu-rayu memadu kasih di tempat umum, mereka tidak peduli dengan masyarakat sekitar (hlm. 111).
Para binatang itu, Nampak seperti mengerti makna dari sebuah kehidupan dengan prinsip kebebasannya. Bebas merdeka dengan citra erostis dan eksotisnya, bercumbu-rayu saling bercengkrama memadu kasih serta bersenggama di tempat favoritnya.
Dalam benak Mira terbesit keinginan dalam jiwa romantisnya sebagai manusia biasa, untuk memiliki
pula cita rasa dan cita moral kebebasan seperti para binatang. Maka Mira memilih kebebasannya melalui membiarkan dirinya hanyut dalam suasana alam romantisme dunia masyarakat unggas (lamunan).
Cara lain, namun masih satu dimensi juga dilakukan oleh teman Mira, Jamilah. Ia sering menerjunkan dirinya di dunia maya dengan nama samaran. Jika nama samaran pada zaman rezim Soeharto digunakan demi keamanan, begitu juga Jamilah, ia menggunakan nama samaran untuk bisa lepas dari kungkungan tradisi keluarga yang sangat otoriter dan konservatif. Jamilah menggunakan nama samaran di dunia internet tidak lain dan bukan agar bisa merealisasikan keinginan untuk menyalurkan kebebasannya secara penuh (hlm 122).
Kebebasan memang hal yang sangat menarik untuk dikaji, apalagi berbicara sastra yang bersifat profan maka tidak akan lengkap jika tidak berbicara kebebasan.
Buku hard cover terbitan bisnis 2030 memang menarik dan sangat bagus, kumpulan esai-esainya menggunakan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami. Penulis dengan cermat tidak hanya mengunakan permasalahan di satu daerah, kota atau negara tapi ia mewarnainya dengan gambaran di berbagai belahan dunia sehingga menambah wawasan bagi pembaca.
Walau dalam karya puisi masih menggunakan diksi yang susah untuk dipahami, ada beberapa bahasa yang tidak ditemukan di KBBI ada baiknya penulis menuliskan foot note yang berisi arti dari bahasa tersebut. Untuk masalah peradaban manusianya yang dibahas dalam buku karya tiga sejoli Amsterdam ini kurang mengena inti.
Di beberapa puisinya juga ada yang terlalu melebar, untuk kumpulan esai juga kurang runtut, berbeda dengan kumpulan esai dari Kalakanji karya Imam Budi Santosa, dan tidak selengkap dari kumpulan esai Widyanuari Eko Putra yang sangat cermat dan jelas ketika mengurai serta memaparkan sebuah permasalahan.
Akhir kata sebuah eksistensi kebebasan yang kerap melangkahi prakira nalar, terkadang menihilkan cara pandang kolosal kepada nilai-nilai surgawi, serta tidak jarang melahirkan berbagai cara untuk mencapainya. Latar kebebasan di antara paparan kebenarannya nan naluriah pula abstraksi, kian megesahkan bouguereau di setumpuk perseteruan bagi orisinalitas wacana hingga pembenaran sebuah logisisme.