Penulis : Aguk Irawan, M.N.
Genre : Sejarah (Biografi)
Penerbit : Penerbit Imania
Cetakan : Pertama, Agustus 2016
Jumlah Halaman : 608 halaman
ISBN : 978-602-7926-27-1
Peresensi : Ravi Oktafian
Hadirnya sebuah karya fiksi yang berkisah tentang salah satu tokoh nasional Indonesia yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim sangat pantas jika disambut baik. Beliau adalah salah satu tokoh pahlawan nasional Indonesia. Tokoh besar Islam di Indonesia yang menjadi seorang Menteri Agama pertama bagi bangsa Indonesia pada masa itu.
Menjelang masa kemerdekaan bangsa Indonesia saat akan melepaskan diri dari rantai penderitaan penjajahan, beliau masuk dalam jajaran 66 tokoh Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bekerjasama dengan para tokoh diluar pesantren. Tokoh pergerakan lainnya yang tergabung dalam BPUPKI seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, maupun Tan Malaka.
Ketika kebuntuan dalam sidang-sidang BPUPKI, dibentuklah tim khusus untuk membahas dasar negara baru yang hendak dibentuk. Tim khusus tersebut bernama Panitia Sembilan, KH. Abdul Wahid Hasyim turut menjadi salah satu anggotanya. Dihasilkanlah butir-butir yang saat ini kita sebut dengan Pancasila.
Di era sekarang ini, ketika berbincang tentang organisasi Nahdhatul Ulama(NU) maka akan gampang mengkaitkannya dengan 2 tokoh besar yaitu, KH. Hasyim Asyari dan juga Gus Dur. KH. Hasyim sendiri merupakan pendiri NU, sedangkan Gus Dur sebagai cucu sang Kiai agung, sekaligus orang NU yang mampu menjadi Presiden RI.
Nama KH. Abdul Wahid Hasyim, nampaknya kerap ketelinsut dalam ingatan warga NU maupun benak masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya tepat penulis mencoba memberikan recalling ingatan kita semua tentang tokoh kiai muda yang satu ini.
Dalam judul buku Sang Mujtahid Islam Nusantara, Aguk Irawan menuliskan biografi yang dikemas dalam untaian diksi indah penuh hikmah. Sebelumnya memang penulis telah sukses dengan novel biografi anak dari KH. Abdul Wahid Hasyim yaitu Gus Dur dengan judul Peci Miring Gus Dur. Begitu pula sang Abah KH. Hasyim Asyari dalam karya berjudul Sang Penakluk Badai.
Gagasan Sang Kiai Muda
Kehidupan Abdul Wahid dibarengi dengan ketidakkaruan bumi Nusantara. Gonjang-ganjing yang dihdapi oleh umat Islam terutama di tanah air. Fenomena saling mengkafirkan dilihatnya. Ini adalah dampak dari kekisruhan yang terjadi di tanah suci Hijaz oleh para fundemantalis Islam dari golongan Wahabi. Hal itu juga merambah hingga tanah kelahirannya.Tatkala sang abah (baca; Abdul Wahid) melakukan pergerakan dengan para sahabatnya dari kalangan kiai tradisionalis menghadang badai polemik tersebut, Abdul Wahid juga melakukan dengan usahanya sendiri. Membangun sebuah desa binaan yang berfokus membangun kesejahteraan, kemandirian, dan semangat gotong-royong dari masyarakat.
Hal ini juga dimaksudkan Abdul Wahid untuk menutupi isu kekisruhan di kubu umat Islam. Menyibukkan masyarakat dengan urusan yang lainnya. Dibantu dengan dua pendampingnya Iksan dan Joko, santri kepercayaan sang abah. Mereka berdualah yang menjadi saksi bahwa sungguh Abdul Wahid lahir bukan sebagai anak biasa atau Satrio Piningit.
Besar di kalangan pondok pesantren membangun sosok yang kuat secara spiritual dan juga intelektual. Menghafal ayat-ayatr suci dan melahap kitab kuning di ruang baca sang abah. Tidak hanya itu, dia juga belajar pengetahuan umum dan bahasa asing selain Arab. Contoh bacaannya buku Das Kapita lkarya Karl Max yang menghilhaminya membuat desa binaan tadi.
Selain itu, KH. Abdul Wahid Hasyim juga adalah seorang pembaharu dari pesantren. Di Pesantren Tebuireng, dia memulai menuangkan gagasannya tentang pendidikan. Sejak berdirinya sistem pendidikan pesantren ini menggunakan metode sorongan dan badongan. Abdul Wahid memberikan sentuhannya dengan mencampurkan nilai modern.
Hal ini dibuktikan dengan membentuk sebuah instansi pendidikan yang diberi nama Madrasah Nazimah. Mengajarkan pengatahuan agam serta ilmu dunia. Membekali masyarakat agar bisa menapaki kehidupan.
Selain itu, dalam upaya modernisasi pendidikan dunia santri, KH. Abdul Wahid Hasyim juga membangun suatu Universitas yang bisa bersandingan dengan sekolah tinggi buatan Belanda. Sekolah Tinggi Islam (STI) tanggal 8 juli 1945 berdiri sebagai alternatif para santri untuk belajar selain di Mekkah maupun Mesir (Hal 567).
Sebagai kaum muda, pergerakan KH. Abdul Wahid Hasyim terbilang sangat progresif. Namun diimbangi dengan kematangan dalam mengambil segala keputusan. Tidak sedikitpun menggunakan cara-cara yang konfrontatif melawan musuh bangsa Indonesia. Tidak pula menggunakan jalan kekerasan.
Siasat cerdas juga menjadi ciri khasnya pergerakannya. Saat Jepang menguasai Indonesia menggantikan Belanda, Abdul Wahid mencoba memanfaatkan rencana para Setan Gundul.
Jepang yang ingin memanfaatkan sumber daya manusia Nusantara yang pada saat itu diperuntukan untuk melawan serangan sekutu. Dipandang menjadi momentum olehnya untuk membangun kekuatan baru dibidang militer dengan membentuk PETA. Dari sinilah para rakyat bisa mendapatkan pelatihan bersenjata dan suatu saat bisa digunakan untuk menjaga diri dan bangsanya.
Sumbangsih KH. Abdul Wahid Hasyim sungguh sangat besar. Bukan hanya dalam hal pendidikan dan gerak politik, namun juga dalam hal keislaman. Karir bukanlah sebuah tujuan darinya. Persatuan antara umat Islam tetap menjadi prioritasnya. Majelis Islam A’la Inonesia (MIAI) yang nantinya bertransformasi menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dinaunginya sebagai jalan menuju tujuannya. Tidak heran jika penulis sungguh berani memberikan judul karya ini Sang Mujtahid Islam Nusantara. Tercermin dari keinginan untuk menampilkan sosok KH. Abdul Wahid Hasyim yang masyhur.
Dari Sebuah Novel
Tak hanya dialektika perjuangan yang menonjol dari kisah hidupnya. Kehidupan percintaan dan keluarga kecil yang di bangun bersama Nyai Munawarroh putri Kiai Bishri memaniskan kisahnya.KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi sosok kepala keluarga yang mengayomi meskipun ditengah kesibukannya mengemban tugas mengawal bangsa saat pra-kemerdekaan maupu pasca-kemerdekaan. Sisi Humor sang kiai muda ini juga mengelitik. Guyon-guyon ala santri pesantren kadang kala terlontar dan mengundang gelak tawa.
“Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak duduk lagi di kabinet” ungkap seorang sahabat. Lalu dengan enteng menjawab “Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang. Tinggal pilih saja”(Hal 595).
Seketika akan terbesit pertanyaan ketika kita memahami bahwa karya ini ada aspek historis sekaligus merupakan karya sastrawi. Dimanakah yang merupakan fakta-fakta sejarah dan manabumbu sastra dari sang penulis?
Tidak dipungkiri lagi karya ini memiliki fungsi yang multidimensional. Ada dimensi edukasi, informasi, sekaligus Rekreasi. Membangkitkan ingatan kita dari gejala amnesia dan kekaburan kisah dari nama KH. Abdul Wahid Hasyim, Sang Mujtahid Islam Nusantara.