Pendidikan Itu Membebaskan dan Memanusiakan

Judul Buku : Sekolah Biasa Saja
Penulis : Toto Rahardjo
Penerbit : Insist Press
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Hlm : 252 halaman
ISBN : 978- 602- 0857- 56- 5
Peresensi : Wirda Ulhayati

Ketidakpuasan terhadap praktik pendidikan formal yang ada, barangkali menjadi faktor didirikannya sebuah pendidikan alternatif.

Kita mengenal Romo YB. Mangunwijaya, seorang budayawan terkemuka dan memiliki wawasan alternatif secara mendasar di bidang pendidikan. Romo yang kemudian akrab dengan gagasan “Pendidikan Pemerdekaan” itu juga tidak puas dengan sistem sekaligus praktik pendidikan yang terjadi di Indonesia.

Kemudian kita lari ke tokoh pendidikan lain yang pemikirannya telah mengguncang dunia pendidikan, Paulo Freirre, yang menyatakan bahwa metode pendidikan seluruh dunia diibaratkan seperti gaya bank. Anak-anak dididik dengan cara yang mirip orang memasukkan uang dalam tabungan.

Dalam gaya bank, anak didik dijejali dan disuruh menelan apa saja yang disampaikan guru tanpa pernah terlibat di dalam proses awalnya. Akhirnya, dengan gagasannya tersebut kita seperti diajak untuk meyakini bahwa sistem pendidikan di seluruh dunia pada dasarnya salah.

Tumbuh kembangnya pendidikan alternatif kemudian menjadi semacam oase di tengah keringnya praktik pendidikan sekarang ini. Hal itulah yang kemudian ingin disampaikan oleh Toto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Biasa Saja”.

Hakikat Sekolah

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara telah mendirikan sebuah Perguruan Taman Siswa dengan nama National Onderwijs Institut Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Bapak dan tokoh pendidikan nasional kita itu, menggunakan kata “taman” untuk menggambarkan proses pendidikan. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan siswa berarti murid.

Ini artinya bahwa, sekolah dan taman adalah dua kedudukan yang sejajar. Sekolah menjadi layaknya semacam oasis, seperti tempat teduh dan sumber air di tengah padang pasir untuk melepas lelah.

Mustinya sekolah merupakan tempat di mana orang-orang dapat memuaskan dahaga keingintahuannya, mewujudkan impian-impian dan kekayaan imajinasinya.

Bukan seperti saat ini di mana sekolah seperti sebuah tempat yang dipaksa untuk mengikuti kurikulum tertentu yang bisa menimbulkan kebencian dan kebosanan dalam belajar.

Atau malah seperti perusahaan yang menetapkan standar-standar tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta didik. Di sekolah kita dipaksa memahami banyak hal!

Kembali ke Sekolah Biasa Saja

Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 2018 lalu ini, Toto Rahardjo berkisah soal Sanggar Anak Alam (SALAM) yang berdiri pada tahun 2000 di Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul. Membaca kisah tersebut telah menyadarkan kita pada hakikat pendidikan yang sesungguhnya.

Misalnya, di SALAM belajar tidak harus di ruangan pengap, belajar tidak melulu soal hafalan-hafalan, atau belajar tidak juga tentang PR yang menumpuk untuk dikerjakan di rumah.

Segala proses kegiatan pembelajaran diserahkan pada peserta didik. Tidak ada kurikulum yang mengekang. Kurikulum telah disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik.

Kurikulum di SALAM mengacu pada kurikulum berbasis riset yang membebaskan. Tidak ada peraturan yang memaksakan atau hukuman yang menyakitkan. Belajar jadi menyenangkan dan tanpa beban.

Saya kemudian membayangkan jika nanti ada kesempatan untuk berkunjung ke SALAM, kemudian saya dan anda akan kecewa karena bayangan mendapati gedung sekolah yang gagah, para guru berseragam resmi, penjaga keamanan yang menunggu di depan gerbang tidak akan kita temukan. Saya dan anda hanya akan mendapati sawah, pohon, langit, air, kemerdekaan, kebebasan, keterbukaan, dan senyum.

Sekali lagi, Toto Rahardjo melalui bukunya “Sekolah Biasa Saja” ini seperti ingin mengajak kita, para pendidik, guru, para orangtua, dan masyarakat- para pemangku kebijakan di bidang pendidikan, untuk memperlakukan sekolah menjadi biasa saja. Biasa dekat dengan manusia, biasa dekat dengan masyarakat, biasa dekat dengan lingkungan kehidupan. Dan meletakkan kembali pendidikan pada hakikat yang sesungguhnya.

                                                                          ***

Bagi sebagian orang, membaca buku non fiksi barangkali adalah sesuatu yang membosankan. Namun tidak ketika kita membaca buku setebal 252 halaman garapan Toto Rahardjo ini.

Penulis menuliskannya dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh semua kalangan, membaca buku ini juga seperti membaca sebuah cerita. Ringan dan tidak membosankan.

Seperti komentar yang ditulis oleh Butet Manurung, pendiri “Sokola Rimba”. Ia menyatakan bahwa “membaca buku ini otomatis membawa pikiran saya melayang pada Sokola Rimba, di pedalaman hutan tadah hujan Jambi. Lama membacanya, karena helai demi helai saya resapi maknanya dan saya bayangkan aplikasinya”.

Buku ini memang penting dibaca untuk semua kalangan. Terutama oleh praktisi pendidikan, guru, dosen, dan mahasiswa yang mengambil konsentrasi pendidikan di bidang keguruan.

Terlepas dari kritik terhadap sistem maupun praktik pendidikan yang disampaikan di bagian awal buku, Toto Rahardjo telah memberikan semacam solusi  untuk masalah pendidikan tersebut. SALAM adalah jawabannya.

Proses pembacaan “Sekolah Biasa Saja” saya rasa akan semakin baik jika dibarengi dengan pembacaan buku tema pendidikan yang lain, seperti buku milik Roem Topatimasang “Sekolah itu Candu”, lalu “Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah” yang ditulis oleh Ivan Illich, atau bisa juga buku-buku karya Paulo Freirre dan tokoh pendidikan lain sebagai pembanding.

Dengan begitu, kita yakin bahwa meletakkan kembali pendidikan pada esensinya bukan lagi menjadi utopis, tidak mustahil untuk terjadi. Selamat membaca!