Semasa; Kisah Rumah dan Ingatan yang Ada di Dalamnya


Judul
: Semasa
Penulis
: Teddy W. Kusuma
Penerbit
: OAK
Cetakan
Cetakan pertama, 2018
Tebal
: 146 halaman
ISBN
: 976-602-60824-7-2
Peresensi

Berangkat dari hal-hal sederhana seperti rumah dan kehidupan keluarga yang ada di dalamnya, Teddy dan Maessy akan membawa kita berjalan-jalan ke masa lalu. Mengenang tempat-tempat favorit masa kecil, mainan yang kita sukai, kisah percintaan seorang bocah atau rahasia-rahasia kecil yang sengaja kita simpan rapat-rapat.

Ketertarikan saya dengan karya pemilik toko buku independen, POST, yang terletak di Pasar Santa, Jakarta, ini juga sederhana. Berawal dari kabar tutupnya tempat penerbitan yang menerbitkan Semasa – OAK – beberapa bulan setelah terbitnya Semasa. Saya pikir, akan merugi jika melewatkan kesempatan untuk menikmati juga memiliki buku yang bakal sulit ditemui ini.

Namun kegelisahan saya berakhir sudah, setelah beberapa waktu lalu saya temukan poto buku ini dipajang di linimasa akun instagram POST dengan bertuliskan – sependek yang saya ingat – “telah diterbitkan ulang.” Semasa, buku kedua karya Teddy dan Maessy ini tampil segar dengan sampul polos berwarna kuning terang. Betapa menggembirakannya!

Semasa

Terkadang hal-hal kecil di depanmu, hal-hal yang tak signifikan sebetulnya, akan mengingatkanmu pada rentetan kejadian masa lalu yang – dengan cara yang kerap berbelit-belit – seolah menjelaskan keadaanmu saat ini (h. 1).

Melalui laju kendaraan sedan Mazda 626 keluaran awal 1990-an, sepasang sepupu, Coro dan Sachi, mengajak kita untuk kembali memungut ulang beberapa kenangan masa kecil yang berceceran di sepanjang jalan menuju rumah masa kecil mereka. Menyusunnya satu-persatu seperti potongan puzzle yang tak akan utuh jika diselesaikan sendiri.

Rumah Pandanwangi adalah rumah bersejarah dan penuh kenangan bagi mereka dan keluarganya. Coro dengan bapak, atau Sachi dengan ibu – bibi Sari – dan ayahnya – paman Giofridis. Rumah yang dibangun atas dasar mimpi bapak dan bibi Sari sebagai simbol kehidupan baru bagi mereka selepas meninggalnya sang ayah, yang tak lain adalah kakek.

Mereka yatim piatu yang hanya memiliki satu sama lain, dan kenangan-kenangan yang dibangun akan bersama ke depan. Mereka sadar bahwa bersama waktu masing-masing akan mengambil jalan sendiri. Saat itu tiba, rumah itu akan menjadi salah satu pengikat. Tempat yang didatangi secara rutin, yang menjadi saksi kegembiraan-kegembiraan kecil anak-anak mereka setiap kali liburan tiba (h. 13).

Begitu hangat dan menyenangkannya Teddy dan Maessy menceritakan interaksi dua keluarga itu dengan rumah dan segala kenangannya. Sehangat lagu Tentang Rumahku milik Dialog Dini Hari, jika kau tahu. Rumah di lagu itu tak ubahnya sebagai bangunan sederhana yang berjubal ingatan-ingatan dan mimpi di masa lalu. Yang biarpun sederhana, selalu punya daya pikatnya sendiri untuk selalu kita kunjungi secara berulang.

Sewindu merindu, kembali pulang dengan sebongkah haru
Senyum menyambut bagai rindu kumbang pada bunga di taman
Adakah yang lebih indah dari semua ini
Rumah mungil dan cerita cinta yang megah
Bermandi cahaya di padang bintang
Aku bahagia...

Rumah dan segala bagiannya jadi obat pelipur lara dan penuntas segala kerinduan seusai menempuh perjalanan panjang menyusuri kota dan tempat-tempat asing lainnya. Oleh Teddy dan Maessy, kerinduan semacam itu dinarasikannya lewat dialog-dialog sederhana antar tokoh di meja makan, di teras rumah, juga obrolan sederhana soal buku-buku klasik semacam Animal Farm karya Geogre Orwell, hingga buku To Kill a Mockingbird yang menemani kehidupan Coro dan Sachi kecil.

Namun toh, meski menyenangkan membicarakan rumah dan anggapan soal kehidupan dan harapan yang selamanya akan tertambat di tempat itu, pada akhirnya mereka harus menghadapi kenyataan untuk melepas rumah yang sudah menjadi pengikat mereka selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Cerita tentang rumah-rumah

Soal rumah memang tidak melulu berkaitan dengan ingatan yang menyenangkan saja. Kisah keluarga Laut dalam buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori misalnya. Rumah menjadi saksi bisu perjuangan Bapak, Ibu dan adiknya, Asmara Jati, memelihara kewarasan dalam menghadapi kenyataan yang menimpa anaknya, Biru Laut yang mendadak hilang tanpa kabar bersama beberapa kawannya di tahun 1998.

Bertahun-tahun mereka hidup dalam penyangkalan. Ritual-ritual biasa seperti makan dan memasak bersama di hari Minggu, atau kegiatan Bapak yang bergulat dengan buku-buku di kamar Laut tetap mereka lakukan, sebab mereka masih berkeyakinan bahwa anak lelakinya akan pulang satu saat nanti.

Laut dan kawan-kawannya adalah potret orang-orang yang sengaja dihilangkan sebab aktivitas mereka yang dianggap menggugat Indonesia di masa Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi. Dan betapa menyakitkannya kenyatan penghilangan paksa ini bagi para korban dan keluarganya.

Kita akan temukan lagi kisah rumah dan keluarga pada buku Ayahmu Bulan, Engkau Matahari milik Lily Yulianti Farid atau buku Bastian dan Jamur Ajaib¬-nya Ratih Kumala. Barangkali, karena berbentuk kumpulan cerita, kisah yang mereka suguhkan lebih variatif.

Lily dengan suara-suara perempuan sebagai tokoh utamanya yang membincang cerita-cerita dari ruang dapur hingga wilayah konflik. Tokoh perempuan dari beragam usia, ras, budaya, dan agama, yang bergelut dengan pencarian jati diri, ketimpangan gender, cinta segitiga, hingga masalah sosial-politis yang kerap menjadikan perempuan sebagai objek.

Ruth mencintai terigu. Ibu mencintai dapur. Adapun aku mencintai Ruth dan Ibu.
Aku tumbuh di meja dapur yang besar, menemani Ruth mengayak terigu, mengolah berbagai macam adonan.
Aku belajar berjalan sambil berpegang di ujung rok Ibu yang sibuk mengiris bawang, merebus kentang, dan mencincang daging.
Ia, ibuku yang cantik dan riang, yang selalu bernyanyi di dapur, mendendangkan lagu lawas Frank Sinatra.
Fly me to the moon
And let me play among the stars... – Dapur (h. 191).

Sedangkan Ratih Kumala, bersama Bastian dan Jamur Ajaib-nya akan mengajak kita berkelana menyelami dunia para tokoh imajinernya. Dikutip dari situs femina.co.id, dalam setiap cerita yang Ia bawakan di bukunya, Ratih nyaris enggan memberi akhir bahagia. Misalnya saja kisah Lelaki di Rumah Seberang, yang menceritakan seorang nenek yang sibuk mengutukki hidupnya karena sering dirundung kesepian di rumah jompo.

Ketika membaca Semasa, kita memang tidak akan mejumpai kisah keluarga heroik seperti kisahnya keluarga Laut dan keberanian tokoh-tokoh perempuan dalam kumpulan ceritanya Lily Yulianti Farid. Kita juga tidak akan menemukan kisah-kisah petualangan imajinasi liar atau keluarga murung versi Ratih Kumala.

Karya fiksi setebal 146 halaman ini benar-benar kisah yang sederhana. Kehidupan Coro, Sachi dan keluarganya disajikan sama seperti kehidupan orang-orang lain pada umumnya. Namun dengan kekuatan narasi dari kedua penulis yang nyaris sulit ditebak tulisan mana yang mencirikan Teddy, atau Maessy, ini mampu membikin kesederhanaan Semasa jadi kisah yang apik.

Mungkin anggapan soal tujuan lahirnya novel ini bakal kita temukan pada beberapa coretan yang ada di kaver belakang buku. Kehadiran Semasa tak lain untuk membuktikan adagium bahwa keluarga yang bahagia sama satu dengan lainnya, dan keluarga murung hadir dengan kemurungannya sendiri-sendiri.

Rumah tetaplah rumah. Benda mati. Dan yang hidup di dalamnya adalah kenangan, juga alasan-alasan mengapa ia berdiri. Seperti kata Bibi Sari, “semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang” (h. 101).

Terlepas dari itu semua, Semasa termasuk bacaan renyah yang, barangkali, bisa dijadikan kawan di akhir pekanmu yang kurang menyenangkan. Teddy dan Maessy menurut saya termasuk penulis yang rapi dan teliti, sebab selama membaca Semasa, saya nyaris tidak menemukan kesalahan dalam penulisan kata dan tanda baca. Hanya saja yang sedikit saya sayangkan dari Semasa adalah hilangnya beberapa halaman pada buku yang saya genggam ini.