Kemelut Arah Perekonomian Bangsa


Judul Buku : Di Bawah Bendera Pasar : Dari Nasionalisasi Menuju Liberalisasi Ekonomi
Penulis : Muhammad Rahmat dan Ahmad Erani Yustika
Tahun Terbit : 2017
Penerbit : Intrans Pubising
Jumlah Halaman : xxii + 350
ISBN : 978-602-74226-4-3
Peresensi : Adetya Pramandira

Perdebatan tentang bentuk perekonomian Indonesia masih terus bergulir. Banyak diantara kita yang mengaku bahwa perekonomian kita sekarang masih menganut mazhab Sosialis ala Indonesia.
Namun tak jarang, dengan terang-terangan menilai perekonomian Indonesia mengarah kepada perekonomian liberal. Suatu hal yang menarik untuk didiskusikan.

Dari berbagai perdebatan yang muncul, yang tampak jelas adalah dinamika pembangunan ekonomi Indonesia saat ini telah menghasilkan pertumbuhan tinggi untuk segelintir orang dan menambah luas kemiskinan.

Kesenjangan ekonomi antara segelintir orang kaya dan banyak sekali orang miskin yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan telah menimbulkan ketegangan sosial. Amarah rakyat terhadap situasi ketidakadilan dan ketimpangan yang muncul sering menyeret nama pemerintah untuk bertanggungjawab atas situasi yang sedang terjadi.

Dalam hal ini banyak yang lupa bahwa sistem pasar perlahan mulai menggeser peran pemerintah dalam menentukan kebijakan perekonomian. Inilah yang kemudian oleh Muhammad Rahmat dan Ahmad Erani Yustika sebut sebagai “Labirin Peran Pemerintah”.

Secara kolektif masyarakat membutuhkan suatu sistem yang mampu memjamin kecukupan produksi demi kelangsungan hidup mereka. Di samping itu masyarakat juga membutuhkan mekanisme distribusi yang memungkinkan mobilisasi tingkat produksi ke arah yang lebih tinggi. Dua persoalan ini (produksi dan distribusi) dapat dipenuhi lewat tiga cara, yaitu melalui tradisi, komando/pemerintah dan pasar (Heilbroner dan Milber, 2012:4-6).

Dua poin terakhir, pemerintah dan pasarlah yang akan diulas oleh Muhammad Rahmat dan Ahmad Erani Yustika dalam buku setebal 350 halaman ini.

Kajian mengenai peran pemerintah dan pasar dalam kasus perekonomian Indonesia menjadi releven untuk dikaji kembali dalam konteks perkembangan zaman karena karateristik perseteruan peran pemerintah (yang diwakili oleh sosialisme) dan pasar (yang diwakili oleh kapitalisme) adalah sebuah situasi ketegangan yang sepenuhnya bercorak ideologis.

Namun anehnya, dalam kasus perekonomian Indonesia kontestasi peran pemerintah dan pasar tidak berupa pertikaian ideologi-filosofi antara kelompok pendukung sosialisme melawan kapitalisme.

Dalam banyak hal konflik ini cenderung bersifat politis dan pragmatis. Sehingga susah menemukan titik terang sebagai jalan keluar atas persoalan ekonomi yang terus melilit.

Menarik untuk disimak kembali, dalam kacamata Muhammad dan Erani kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa lalu telah membawa perekonomian Indonesia yang semula bercorak ekonomi kerakyatan menuju ekonomi liberal.

Pada masa Orde Baru misalnya. Inflasi yang berada di luar kendali serta penurunan jumlah ekspor yang terkait dengan defisit anggaran pemerintah menjadikan pemerintah Orde Baru harus merekrut
Ekonom Teknokrat bermazhab Berkeley yang menginduk kepada Amerika Serikat.
Tentu sudah mafhum bahwa ekonom berkeley begitu optimis terhadap mekanisme pasar bebas.

Mekanisme pasar inilah yang kemudian berimplikasi kepada terciptanya sistem open door policy (pintu terbuka) untuk menggait para investor. Di lain sisi mekanisme ini memerlukan reformasi pasar, anggaran dan juga reformasi perbankan.

Semua hal itulah yang berusaha menekan peran pemerintah dalam dunia perekonomian sehingga mekanisme pasar bebas dapat berkembang dengan pesat dan terjadilah liberalisasi pasar bebas.
Namun, analisa yang disuguhkan buku ini menunjukkan bahwa penurunan peran pemerintah tidak terjadi secara linear. Sebab dalam kurun waktu tertentu peran pemerintah justru meningkat (1973-1982). Dalam kasus Indonesia, penurunan peran pemerintah terjadi secara bertahap (gradual approach) (hlm. 52).

Namun liberalisasi pasca krisis 1997-1998 berlangsung secara sangat drastis. Angin reformasi ternyata tidak membendung arus liberalalisasi pasar bebas. Hal ini dikarenakan reformasi hanya menyasar kepada sisitem pemerintahan bukan kepada akar persoalan.

Dengan bernas dan lugas kedua penulis ini menuliskan  perhelatan perekonomian Indonesia dengan sudut pandang lain. Mereka menganalisis bahwa kecenderungan Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi ke arah neoliberal dan pro-pasar sudah mulai berlangsung pada saat pasca-Perang Dingin. 

Runtuhnya tembok be Berlin yang menandai berakhirnya perang Ideologi Komunisme vs Kapitalisme-Liberal membawa dampak yang cukup signifikan terhadap negara-negara di dunia berkembang, khusunya di Indonesia. Untaian benang merah yang jarang dilihat oleh kebanyakan orang (hlm. Xii)

Secara umum buku yang ditulis ini layak untuk menjadi bahan referensi dalam membaca perhelatan perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu. Serta untuk melihat implikasi yang terjadi atas berbagai kebijakan yang telah di ambil.

Tidak hanya menggunakan  pisau analisis perekonomian saja, buku karya dua ekonom hebat ini kaya dengan analis geopolitiknya. Sehingga relevan untuk digunakan membaca sejarah pergulatan perekonomian.