Penulis : Ika Ningtyas
Penerbit : Resist Book
Cetakan/Tahun Terbit : Pertama, Februari 2019
Jumlah Halaman : 210 halaman
ISBN : 9786027467163
Resensator : Umi Ma’rufah
Menambang Emas di Tanah Bencana adalah judul buku yang memuat beberapa artikel mengenai tambang emas Tumpang Pitu Banyuwangi karya seorang jurnalis Tempo, Ika Ningtyas. Buku terbitan Resist Book ini merupakan sumbangan penting bagi tersedianya informasi yang memadai tentang persoalan tambang emas di salah satu wilayah di Indonesia. Sekaligus upaya membangun perspektif kritis terhadap permasalahan sosial-ekologi terutama di sektor industri ekstraktif.
Ditulis dengan sangat apik, kronologis, dan dinarasikan dalam bentuk features, buku ini lebih mirip seperti catatan perjalanan yang dilengkapi dengan data-data menarik dan informatif. Kejelasan inforrmasi itu yang membuat tulisan dalam buku ini menjadi semakin berbobot.
Ika mula-mula menjelaskan secara implisit mengapa buku ini diberi judul menambang emas di tanah bencana. Di artikel pertama, tulisannya adalah mengenai sejarah bencana yang pernah melanda wilayah Pesanggaran Banyuwangi pada tahun 1994. Bencana yang diawali dengan sebuah gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter ini telah menewaskan sedikitnya 377 warga yang tinggal di pesisir selatan, dan 789 orang terluka. Selain tsunami, gempa bumi yang sering terjadi menjadi ancaman nyata bagi keselamatan warga pesisir selatan Banyuwangi.
Alam selalu menciptakan keseimbangan. Kehadiran gunung dan gumuk tesebut menjadi benteng alami di tengah kondisi pesisir selatan yang rawan tsunami. Namun keseimbangan itu kemudian terancam ketika berbagai korporasi yang difasilitasi oleh pemerintah mengincar kandungan deposit emas dan mineral pendukungnya di balik gunung-gunung itu. (hlm. 9).
Iapun menuliskan fungsi Gunung Tumpang Pitu bagi masyarakat sekitarnya. Selain sebagai pelindung dari bencana tsunami, kaki gunung ini juga menjadi tempat peribadatan umat Hindu, tepatnya di Pura Segara Tawang Alun, terletak hanya sepelemparan batu dari pantai Pulau Merah. Oleh umat Hindu, gunung ini dipercaya bahwa dulunya dipakai sebagai tempat bertapa para resi. Tumpang Pitu dianggap sebagai puncak tujuh tahapan manusia menuju keabadian.
Melalui wawancaranya bersama seorang nelayan, Gunung Tumpang Pitu juga menjadi penanda atau pengetahuan lokal bagi para nelayan. Apabila Gunung Tumpang Pitu sudah tak terlihat dari laut ketika mereka berlayar, itu berarti nelayan telah menempuh jarak 60 mil menembus ganasnya Samudera Hindia. Pun ketika pulang. Gunung Tumpang Pitu menjadi penanda bahwa jarak menuju daratan semakin dekat (hlm. 28).
Gunung Tumpang Pitu juga menjadi tempat resapan air sekaligus sumber bagi aliran sungai Gonggo di bawahnya. Sungai inilah yang menjadi sumber irigasi para petani. Tetapi semenjak status hutan lindung Tumpang Pitu diturunkan menjadi hutan produksi, para petani terancam kekurangan air untuk pertanian mereka. Penurunan status itu justru memberi kesempatan untuk PT. Bumi Suksesindo untuk menambang Gunung Tumpang Pitu secara terbuka.
Melalui beberapa alasan tersebut setidaknya kita akan mudah memahami mengapa banyak masyarakat menolak kegiatan eksploitasi oleh pertambangan di Gunung Tumpang Pitu. Kerugian akibat adanya tambang tidak saja dialami secara ekologis, tetapi juga sosial dan ekonomi.
Selain menunjukkan kekuatan rakyat berlawan yang menolak kehadiran tambang emas, Ika juga menampilkan fakta-fakta bagaimana perlawanan itu ditundukkan. Beberapa dikarenakan tergiur dengan tawaran upah yang lebih besar dengan menjadi pekerja di perusahaan pertambangan tersebut daripada bekerja sebagai nelayan. Pelemahan kekuatan juga dilakukan dengan mengkriminalkan warga yang melakukan demo dengan tuduhan perusakan alat tambang. Terakhir adalah dengan stigma komunis karena kemunculan logo palu arit yang tidak jelas asal usulnya.
Upaya sistematis untuk melancarkan proyek pertambangan emas di Tumpang Pitu juga dilakukan oleh Kementerian ESDM melalui penetapan lokasi tambang emas dan mineral Gunung Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo sebagai Obyek Vital Nasional (Obvitnas). Keputusan itu diambil tiga bulan setelah ada konflik pada 25-26 November 2015 dengan dalih untuk mengamankan iklim investasi dan perekonomian wilayah Banyuwangi. Penetapan tersebut menjadi legitimasi aparat kepolisian untuk melakukan perlindungan terhadap proyek tambang emas Tumpang Pitu dari gangguan apapun, termasuk protes warga.
Kehadiran perusahaan tambang emas di Tumpang Pitu juga memicu tumbuhnya aktivitas penambangan emas secara ilegal, baik oleh para pendatang maupun warga sekitar yang tergiur dengan penghasilan besar dari tambang emas. Mereka inipun menjadi sasaran operasi kepolisian yang bisa mengkriminalkan siapa saja yang menambang tanpa izin.
Selain ancaman kriminalisasi, adanya tambang rakyat ilegal juga mengancam kesehatan lingkungan di sekitar pengolahan bijih emas. Hal itu dikarenakan penggunaan merkuri untuk memurnikan emas telah menyebabkan pencemaran terhadap Sungai Lampon tempat pembuangan limbah merkuri.
Padahal sungai ini masih digunakan warga untuk mencari ikan Belanak dan Bandeng. Ikan yang terkontaminasi merkuri apabila dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf pencernaan, paru-paru, dan ginjal. Kepada ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan janin yang dapat menyebabkan keterbelakangan mental, gangguan pada penglihatan dan pendengaran, dan hilang ingatan (hlm. 99).
Yang menarik, buku ini juga menjelaskan siapa saja para taipan yang menguasai pertambangan emas di Tumpang Pitu beserta proses perubahan penguasaan juga perebutan saham yang terjadi di dalamnya. Rupanya mereka adalah aktor-aktor yang sama dalam kasus perusakan lingkungan oleh tambang di berbagai daerah di Indonesia. Lingkaran ini juga berkelindan dengan pemilik konsesi lahan sawit dan oligarki media. Di antara nama-nama itu adalah Gaibaldi Thohir, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, A. M. Hendropriyono, Surya Paloh, dan beberapa lainnya. Mereka menjadi aktor yang mendalangi kehadiran tambang emas atas nama PT. Merdeka Copper Gold di Tumpang Pitu Banyuwangi.
Akhirnya hemat saya, buku yang terbit tahun 2019 ini sangat relevan untuk dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia. Buku ini telah menyingkap satu persoalan penting dalam tata kelola sumber daya alam, yaitu kecenderungan pada orientasi perekonomian yang pro oligarki-kapitalis.
Dengan memaparkan fakta ketakberdayaan rakyat menghadapi ekspansi oligarki yang berusaha mengeksploitasi alamnya, penulis menunjukkan bahwa apa yang digadang-gadang pemerintah di mana kehadiran investor tambang merupakan cara untuk menyejahterakan rakyat sangat bertolak belakang dari kenyataannya. Rakyat justru lebih banyak dirugikan, meski Pemda Banyuwangi dengan bangga memperoleh bagian saham 10% dari perusahaan tersebut.
Walaupun sampai diterbitkannya buku ini masyarakat Tumpang Pitu Banyuwangi masih bejuang melawan perusahaan tambang emas, bukan berarti Ika berhenti menjadi corong informasi bagi permasalahan rakyat di sana. Dengan hadirnya buku ini, Ika memperlihatkan bagaimana seorang jurnalis bisa memenangkan rakyat dengan tulisan-tulisannya yang memihak pada mereka.
Dengan harapan besar perlawanan akan tumbuh di manapun seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat akan dampak destruktif dari adanya tambang ekstaktif, buku ini juga menjadi pemantik bagi kita untuk turut melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang mengalami perampasan ruang hidup, di manapun.