Jejak Sunyi Putra Mataram di Pemalang

Judul : Buminata-Pejuang Agama dan Bangsa
Penulis : Akromi Mashuri, dkk
Penerbit : Brayan Press
Kota Terbit : Pemalang
Tahun Terbit : 2017
Jumlah Halaman : xiv + 156
Cetakan : Cetakan I
Peresensi  : Nur Khakiki

Bagi pecinta sejarah, masa lalu adalah kemewahan yang berharga. Sosok-sosok dalam memori masa lampau akan membawa seseorang pada semangat meneruskan perjuangan pada masa kini. Nilai-nilai perjuangan itulah yang menjadi warisan mewah yang tak terhitung harganya.

Seperti buku berjudul “Buminata-Pejuang Agama dan Bangsa” yang ditulis oleh Akromi Mashuri, dkk. Buku ini merupakan hasil dari kajian dan penelitian mengenai tokoh daerah yang berasal dari Pemalang, Bendara Pangeran Arya (BPA) Buminata, putra raja Amangkurat III.

Jejak Buminata masih sangat sedikit yang diketahui. Hal ini terjadi karena kondisi Mataram saat itu dilanda perang saudara. Ayah Buminata, Amangkurat III tengah berseteru dengan pamannya sendiri, Pangeran Puger, untuk memperebutkan tahta Mataram. Pangeran Puger yang dibantu oleh Vereenigde Oostindishche Compagnie (VOC) menggempur keraton dan berusaha meruntuhkan kekuasaan Amangkurat III.
Dalam peperangan tersebut Amangkurat III terdesak dan melarikan diri dari keraton. Kepergian Amangkurat III dari keraton juga memboyong keluarga dan anak-anaknya. Seperti halnya Buminata, ia singgah di desa terpencil  wilayah Pemalang tepatnya di Desa Mandiraja.

Jejak Tersembunyi Sang Putra Mataram

Buku ini, menyajikan bahasan yang menarik tentang bagaimana Buminata sang putra Mataram menyikapi keadaan keluarga dan negerinya yang kacau. Buminata tumbuh dan berkembang dalam keadaan penuh peperangan yang tidak menentu kapan selesainya. Apalagi, Pangeran Puger yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai raja baru tak lantas berhenti memburu Amangkurat III beserta keluarganya. Bersama VOC, pasukan Pangeran Puger terus mencari Amangkurat III dan berusaha membunuh keturunannya.

Situasi ini memaksa Buminata harus berpindah-pindah tempat persembunyian dalam melanjutkan kehidupannya akhirnya mengantarkannya ke desa Mandiraja di wilayah Pemalang dan turut membangun keadaan sosial, agama serta turut melawan penjajahan. Dikisahkan bahwa Buminata dalam perjalanan tersebut menyusuri daerah terpencil hingga menyembunyikan jati dirinya. Mengingat, VOC dengan kekuatannya sudah menyebarkan mata-mata ke seluruh penjuru Jawa untuk memburu keturunan Amangkurat III. Hal itulah yang membuat Buminata menyimpan rapat-rapat siapa sesungguhnya dirinya.

Upaya pasukan Pangeran Puger dan VOC untuk memberangus seluruh keturunan Sunan Amangkurat III juga berpengaruh terhadap hilangnya jejak-jejak perjuangan putra-putra Mataram. Hilangnya jejak ini, juga menjadikan minimnya literatur sejarah yang menceritakan bagaimana kondisi dan jejak anak cucu Amangkurat III.
Tentu, jika dipandang dari segi politik, hal itu adalah strategi untuk melanggengkan kekuasaan yang baru dipimpin oleh Pangeran Puger. Mengingat, anak keturunan Sunan Amangkurat III yang juga berhak atas warisan tahta Mataram. Menghilangkan jejak putra-putra Amangkurat III dapat dianggap sebagai usaha meminimalisir penggalangan kekuatan untuk melawan dan merebut kembali tahta Mataram di kemudian hari.

Menanggalkan Keningratan dan Melebur Bersama Rakyat

Perjalanan hidup Buminata diwarnai oleh sejumlah peristiwa yang unik untuk diketahui. Kemewahan istana sempat ia alami, namun juga kepedihan karena ditinggal ayah menjadi penyeimbang yang menggerus rasa nikmat sebelumnya. Rasa sedih yang ia rasakan kemudian ditahannya, dan ditutupi  dengan serangkaian kerja menempa diri, pikiran, dan hati. Ia menyibukkan diri bertarak brata, memperdalam ilmu kanuragan, dan menderas kitab-kitab ajaran Islam dan leluhur. (hlm.134)

Perjalanan yang ditempuh Buminata mengambil jalan yang berbeda dengan ayah dan kakeknya. Keruhnya konflik Mataram yang menyebabkan ayahnya diasingkan di Sri Lanka tak lantas membuatnya menaruh dendam dan ingin merebut kembali tahta Mataram.

Disebutkan setelah dirinya mendapatkan tugas untuk menggempur VOC di Batavia, ia tak kembali ke Kotaraja. Pertempuran yang dapat dipatahkan oleh Kompeni dan keadaan Mataram yang berkonflik membuatnya merubah rencana kepulangannya. Ia sadar betul, pasca kekalahan ayahnya, keluarganya diburu oleh penguasa Mataram yang baru dengan bantuan VOC. Maka Buminata memutuskan untuk mencari tempat yang jauh dari intaian Belanda dan mata-mata kerajaan.
Mandiraja, perdukuhan kecil di Pemalang yang masih sepi dari kepadatan lalu lalang manusia dipilih Buminoto untuk melakukan pemugaran batin. Di sana ia menjabarkan ajaran-ajaran tauhid dan fiqih kepada masyarakat setempat.

Buminata dikenal sebagai kyai dan menyembunyikan keningratannya. Ia benar-benar keluar dari identitasnya sebagai putra raja dengan membaur bersama rakyat biasa, mendobrak sekat-sekat keningratan dan feodalisme Jawa. Buminata mencoba mencintai tanah Jawa dan rakyatnya bukan lagi  menjadi raja dengan bayang-bayang keris dan pedang, melainkan di bawah naungan Al-Quran dan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Arkeologi Spiritual Buminata

Buku ini menjelaskan bahwa Buminata mengajarkan tasawuf Jawa yang dikenal dengan istilah ilmu tauhid. Buminata menggunakan nama Ilmu Tauhid untuk melabeli ajaran tasawufnya yang meliputi rangkaian cara bagaimana seorang hamba menjadi insan paripurna yang menjuruskan seluruh daya dan upaya hanya untuk Allah. Tasawuf yang diajarkan Buminata mengambil bentuk pada metode penyucian jiwa berbasiskan sikap pasrah dan permohonan ampun kepada Allah.

Medan dakwah yang dijalani Buminata menyasar pada para petani yang secara umum beraktivitas di pagi sampai siang hari. Untuk itu, pengajiannya diselenggarakan di waktu-waktu tertentu, menyesuaikan dengan keadaan sekitarnya. Tindakan Buminata juga diikuti oleh pengikutnya, para mantan pasukan Mataram yang menyertainya dengan setia. Setelah tidak lagi berperang, Buminata memerintahkan mereka untuk membantu meringankan kesusahan warga dengan membangun fasilitas umum.
Mengabdi di Mandiraja adalah jalan sunyi yang dipilihnya. Di kala semua pangeran Jawa sedang berebut kursi kuasa, Buminata memilih meninggalkan riuhnya panggung politik di Kotaraja. Ia tak lagi menginginkan kemegahan duniawi, ia memilih menjadi pamong dan guru masyarakat. Bagi Buminata, politik adalah melayani masyarakat tanpa memandang kasta atau kelas.

Sosok yang jejaknya tersembunyi  dan berkiprah di masa lampau seperti Buminata sudah sepatutnya terus diangkat melalui tulisan. Agar generasi berikutnya dapat belajar dan menyelami apa yang sudah di gagas sebelumnya. Tulisan-tulisan itu akan menjadi kekayaan literatur dalam pendidikan, sehingga akan meminimalisir kealpaan dalam mengingat sejarah.

Buku ini cukup bisa menjelaskan gambaran umum mengapa Buminata sampai di Pemalang. Akan tetapi, detail sejarah yang disajikan kurang lengkap karena minimnya sumber data yang ditemukan oleh penulis. Hal itu diakibatkan oleh polemik politik yang melingkupi Buminata itu sendiri, mengingat putra Amangkurat III dan keturunannya diburu serta dihabisi untuk melanggengkan kekuasaan pada saat itu. Sehingga jejak-jejak Buminata masih sulit diungkap dengan sempurna. Namun demikian, banyak pelajaran yang dapat kita ambil dengan membaca buku ini terutama bagaimana menggeser hasrat politik kekuasaan menjadi kemanusiaan.