Judul : Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere
Penulis : Sri Indiyastutik
Penerbit : Buku Kompas
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2019
Jumlah Halaman : xx + 236
Cetakan : Cetakan I
Di tengah kegalauan atas demokrasi di Tanah Air yang membosankan, membuat demokrasi nampak tak seideal yang dibayangkan pembelanya. Mengapa demokrasi kian lesu? Demokrasi seperti masuk ke jalan buntu, seakan-akan hanya menjadi wacana partai-partai yang janji-janjinya membuat rakyat jumud dan cenderung apatis. Padahal, problem-problem baru bermunculan dan tak pernah berhenti. Sejak 1998 perubahan politik fundamental Indonesia telah menyepakati demokrasi sebagai cara hidup bangsa ini. Pertarungan politik di negeri ini tak pernah jauh dari perebutan kuasa kaum oligarki, baik oligarki trah keluarga maupun oligarki militer.
Buku yang ditulis oleh Sri Indiyastutik dengan judul Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere hadir dengan membawa angin segar di tengah kelesuan demokrasi. Meskipun buku ini tak memiliki pretensi untuk memberi jawaban apalagi ramalan mengenai masa depan politik di Indonesia, namun hasil jerih payah penelitian ini merupakan hasil pemikiran yang tajam, bernas, sekaligus penuh dengan kehati-hatian. Buku filsafat ini merupakan hasil tesis dengan metode yang teliti terhadap sumber primer dan sekunder.
Politik bukan sekadar soal pilkada dan pilpres, tetapi apa yang terjadi sehari-hari. Politik hadir dalam tatanan, ia hadir dan muncul dari dan oleh siapa saja yang disebut demos, kaum yang tak terhitung, kaum yang tak dianggap ada dalam tatanan status quo. Politik dalam artian Ranciere adalah dissensus atau ketidaksepakatan, selalu adanya gangguan. Selalu ada mereka yang “tak terhitung” menuntut untuk dimasukkan dalam perhitungan atau bagian dalam tatanan.
Demokrasi Menurut Jacques Ranciere
Buku ini merupakan sebuah tawaran untuk memahami pemikiran Jacques Ranciere. Apabila kita dapat memahami posisi Ranciere, kita tidak perlu galau dengan demokrasi yang saat ini tersandera oleh kaum kanan atau kaum konservatif yang mendasarkan diri pada argumen ras, etnis, dan agama. Meskipun pemikiran Jacques Ranciere sulit untuk dipahami, akan tetapi Sri Indiyastutik berusaha mengajak kita untuk membacanya langkah demi langkah dan membantu kita untuk yakin terhadap tafsir-tafsir mengenai pemikiran Jacques Ranciere karena tidak hanya memuat satu dua tafsiran saja.
Jacques Ranciere tumbuh dalam tradisi kiri dan pernah menjadi pengikut Althusser di Paris. Namun begitu, politik yang dibahas Ranciere sama sekali lain dari ideologi kiri. Ia tidak berbicara soal politik sebagai pertarungan kekuasaan guna menguasai jabatan yang memberikan wewenang untuk mengeruk sumber daya manusia maupun alam dan uang. Buku ini juga tidak bicara mengenai cara-cara yang menghalalkan segala sarana untuk mengekalkan kekuasaan. Secara ekstrem, Ranciere merupakan pemikir anarkis menurut Todd May. Maka, apabila kita berbicara soal demokrasi dalam pemikiran Ranciere, demokrasinya bersifat an-arkhe.
Pemikiran Ranciere mengenai demokrasi diutarakan dengan radikal. Pemikirannya bahkan melampaui apa yang disebut sebagai “filsafat politik”. Pemikiran Ranciere yang dibahas ialah mengenai kesetaraan. Baginya, demokrasi ialah kesetaraan yang bukan janji di masa depan atau suatu saat nanti. Ranciere juga menganggap bahwa warga negara dalam demokrasi ialah setara. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa hidup dalam tatanan sosial yang selalu oligarkis yang mana tatanan ini tak bisa dihindari. Namun, karena terbatasnya indrawi, tatanan tak pernah sanggup secara total menata segala sesuatunya.
Demokrasi Sebagai Disensus
Demokrasi dapat memicu ketakutan dan kebencian, di antara mereka yang biasanya menggunakan kepakaran pemikiran. Namun, di antara mereka yang tahu bagaimana berbagi dengan setiap orang dan semua orang tentang kesetaraan kekuatan akal budi, demokrasi sebaliknya dapat menginspirasi keberanian, dan oleh karenanya menjadi suka cita. Hlm. 40
Politik adalah ruang tindakan orang-orang kebanyakan yang selalu dalam perselisihan, hubungan antara bagian-bagian yang hanya menjadi bagian dan mereka yang dianggap tidak pernah setara dengan keseluruhan yang punya bagian tersebut. Politik terjadi karena mereka yang tidak punya hak untuk dihitung sebagai pengada/manusia yang berbicara (speaking beings) membuat diri mereka dihitung. Hlm. 51
Ranciere menegaskan bahwa ketidaksetujuan dalam kehidupan bernegara bukanlah sesuatu yang perlu dijauhi. Bukan juga untuk dipaksakan menjadi kesepakatan (consensus). Perselisihan yang terjadi di dalam tatanan sosial dapat bertujuan untuk membenahi tatanan sosial untuk mendukung kehidupan bersama yang lebih baik. Hal tersebut dikarenakan tatanan sosial yang terbuka terhadap kemungkinan munculnya konflik dan ketidaksepakatan dapat membentuk keseimbangan serta membuat orang-orang tak terlihat dan tak terhitung menjadi mungkin untuk dilihat dan dihitung.
Politik selalu berupa perselisihan (dissensus) yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak terlihat, tidak dihitung, dan tidak dianggap sebagai bagian dalam tatanan sosial terhadap logika membagi-bagi berdasarkan tempat, kegunaan, keningratan, kepakaran, bakat, kekayaan, dan kepercayaan. Demokrasi dilaksanakan oleh orang-orang yang menempatkan akal budinya setara dengan siapa saja. Hal tersebut digunakan untuk mengusik tatanan sosial mapan yang menyingkirkan atau luput mengitung, luput melihat, dan mendengar bagian yang tidak punya bagian.
Buku ini sangat relevan untuk direnungkan, terutama bagi orang-orang yang mencintai sesama dengan menggunakan kesetaraan akal budinya. Bagi orang-orang yang menggunakan nalarnya untuk mengkritisi tindakan dan gagasan yang menimbulkan ketimpangan sosial. Dalam bingkai tatanan sosial yang dimaksud ialah perselisihan dengan mempermasalahkan kesetaraan dan ketidaksetaraan yang jauh dari praktik kekerasan.
Sri Indiyastutik telah menulis buku ini dengan menyajikan pemikiran-pemikiran Ranciere yang tidak mudah dipahami dengan detail dan bertahap. Selain itu, Jacques Ranciere juga telah membalas beberapa email penulis dalam rangka klarifikasi beberapa pemikirannya. Hal tersebut tentu dapat menjadikan tulisan ini lebih lengkap dalam menafsirkan pemikiran Ranciere yang termasuk baru dalam khasanah filsafat politik di Indonesia.
Buku yang ditulis oleh Sri Indiyastutik dengan judul Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere hadir dengan membawa angin segar di tengah kelesuan demokrasi. Meskipun buku ini tak memiliki pretensi untuk memberi jawaban apalagi ramalan mengenai masa depan politik di Indonesia, namun hasil jerih payah penelitian ini merupakan hasil pemikiran yang tajam, bernas, sekaligus penuh dengan kehati-hatian. Buku filsafat ini merupakan hasil tesis dengan metode yang teliti terhadap sumber primer dan sekunder.
Politik bukan sekadar soal pilkada dan pilpres, tetapi apa yang terjadi sehari-hari. Politik hadir dalam tatanan, ia hadir dan muncul dari dan oleh siapa saja yang disebut demos, kaum yang tak terhitung, kaum yang tak dianggap ada dalam tatanan status quo. Politik dalam artian Ranciere adalah dissensus atau ketidaksepakatan, selalu adanya gangguan. Selalu ada mereka yang “tak terhitung” menuntut untuk dimasukkan dalam perhitungan atau bagian dalam tatanan.
Demokrasi Menurut Jacques Ranciere
Buku ini merupakan sebuah tawaran untuk memahami pemikiran Jacques Ranciere. Apabila kita dapat memahami posisi Ranciere, kita tidak perlu galau dengan demokrasi yang saat ini tersandera oleh kaum kanan atau kaum konservatif yang mendasarkan diri pada argumen ras, etnis, dan agama. Meskipun pemikiran Jacques Ranciere sulit untuk dipahami, akan tetapi Sri Indiyastutik berusaha mengajak kita untuk membacanya langkah demi langkah dan membantu kita untuk yakin terhadap tafsir-tafsir mengenai pemikiran Jacques Ranciere karena tidak hanya memuat satu dua tafsiran saja.
Jacques Ranciere tumbuh dalam tradisi kiri dan pernah menjadi pengikut Althusser di Paris. Namun begitu, politik yang dibahas Ranciere sama sekali lain dari ideologi kiri. Ia tidak berbicara soal politik sebagai pertarungan kekuasaan guna menguasai jabatan yang memberikan wewenang untuk mengeruk sumber daya manusia maupun alam dan uang. Buku ini juga tidak bicara mengenai cara-cara yang menghalalkan segala sarana untuk mengekalkan kekuasaan. Secara ekstrem, Ranciere merupakan pemikir anarkis menurut Todd May. Maka, apabila kita berbicara soal demokrasi dalam pemikiran Ranciere, demokrasinya bersifat an-arkhe.
Pemikiran Ranciere mengenai demokrasi diutarakan dengan radikal. Pemikirannya bahkan melampaui apa yang disebut sebagai “filsafat politik”. Pemikiran Ranciere yang dibahas ialah mengenai kesetaraan. Baginya, demokrasi ialah kesetaraan yang bukan janji di masa depan atau suatu saat nanti. Ranciere juga menganggap bahwa warga negara dalam demokrasi ialah setara. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa hidup dalam tatanan sosial yang selalu oligarkis yang mana tatanan ini tak bisa dihindari. Namun, karena terbatasnya indrawi, tatanan tak pernah sanggup secara total menata segala sesuatunya.
Demokrasi Sebagai Disensus
Demokrasi dapat memicu ketakutan dan kebencian, di antara mereka yang biasanya menggunakan kepakaran pemikiran. Namun, di antara mereka yang tahu bagaimana berbagi dengan setiap orang dan semua orang tentang kesetaraan kekuatan akal budi, demokrasi sebaliknya dapat menginspirasi keberanian, dan oleh karenanya menjadi suka cita. Hlm. 40
Politik adalah ruang tindakan orang-orang kebanyakan yang selalu dalam perselisihan, hubungan antara bagian-bagian yang hanya menjadi bagian dan mereka yang dianggap tidak pernah setara dengan keseluruhan yang punya bagian tersebut. Politik terjadi karena mereka yang tidak punya hak untuk dihitung sebagai pengada/manusia yang berbicara (speaking beings) membuat diri mereka dihitung. Hlm. 51
Ranciere menegaskan bahwa ketidaksetujuan dalam kehidupan bernegara bukanlah sesuatu yang perlu dijauhi. Bukan juga untuk dipaksakan menjadi kesepakatan (consensus). Perselisihan yang terjadi di dalam tatanan sosial dapat bertujuan untuk membenahi tatanan sosial untuk mendukung kehidupan bersama yang lebih baik. Hal tersebut dikarenakan tatanan sosial yang terbuka terhadap kemungkinan munculnya konflik dan ketidaksepakatan dapat membentuk keseimbangan serta membuat orang-orang tak terlihat dan tak terhitung menjadi mungkin untuk dilihat dan dihitung.
Politik selalu berupa perselisihan (dissensus) yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak terlihat, tidak dihitung, dan tidak dianggap sebagai bagian dalam tatanan sosial terhadap logika membagi-bagi berdasarkan tempat, kegunaan, keningratan, kepakaran, bakat, kekayaan, dan kepercayaan. Demokrasi dilaksanakan oleh orang-orang yang menempatkan akal budinya setara dengan siapa saja. Hal tersebut digunakan untuk mengusik tatanan sosial mapan yang menyingkirkan atau luput mengitung, luput melihat, dan mendengar bagian yang tidak punya bagian.
Buku ini sangat relevan untuk direnungkan, terutama bagi orang-orang yang mencintai sesama dengan menggunakan kesetaraan akal budinya. Bagi orang-orang yang menggunakan nalarnya untuk mengkritisi tindakan dan gagasan yang menimbulkan ketimpangan sosial. Dalam bingkai tatanan sosial yang dimaksud ialah perselisihan dengan mempermasalahkan kesetaraan dan ketidaksetaraan yang jauh dari praktik kekerasan.
Sri Indiyastutik telah menulis buku ini dengan menyajikan pemikiran-pemikiran Ranciere yang tidak mudah dipahami dengan detail dan bertahap. Selain itu, Jacques Ranciere juga telah membalas beberapa email penulis dalam rangka klarifikasi beberapa pemikirannya. Hal tersebut tentu dapat menjadikan tulisan ini lebih lengkap dalam menafsirkan pemikiran Ranciere yang termasuk baru dalam khasanah filsafat politik di Indonesia.