Penulis : Tom Nichols
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Cetakan I, Desember 2018
Tebal : 320 halaman
ISBN : 9786024810733
Peresensi : Ahmad Muqsith
Jika di tengah pandemi covid-19 anda menemukan berita hoax tersebar dengan mudah, kemudian seseorang menemukan berita tersebut dari salah satu Grup Whatsapp, lalu dijadikan dasar mengajak orang lain mendebatkan masalah Covid-19 meski tanpa latar belakang ilmu kesehatan, anda jangan heran. Ok, kalaupun heran, sebaiknya anda segera membaca buku ini.
Matinya kepakaran dewasa ini bukan lagi masalah ketidakpedulian terhadap pengetahuan yang mapan karena minimnya informasi, tetapi karena pengetahuan yang mapan itu sedang dimusuhi. Pendapat pakar tergantikan desakan yang menyatakan bahwa setiap pendapat sama pentingnya dibanding yang lain, pemahaman atas kebebasan berpendapat yang menafikan otoritas kepakaran.
Pakar sendiri menurut Nichols adalah perpaduan antara pendidikan, bakat, pengalaman dan pengakuan rekan sejawat. Hal terakhir menarik, tanpa ada pengakuan rekan sejawat, pakar bisa dipolitisir dan diklaim sepihak. Dalam kondisi kepakaran yang lebih kritis, pengakuan rekan sejawat yang berbeda institusi malah sangat perlu, missal sesama ulama diakui oleh ulama yang berasal dari organisasi berbeda, pengacara yang diakui pengacara lain yang bernaung di organisasi berbeda dst.
Pakar dan Kelas Sosial
Nichols mengkritik beberapa pakar, yang khususnya berada dalam lembaga pendidikan, Nichols menganggap mereka menarik diri dari tugas untuk berhubungan dengan masyarakat. Mereka menarik diri dalam jargon-jargon yang tidak relevan. Berinteraksi terbatas pada sesamanya dan menjadi elitis.
Sementara pernyataan pakar kadang dituding sebagai tanda-tanda elitisme yang berbahaya. Dalam level ekstrem demokrasi, masyarakat amerika yakin bahwa persamaan hak politik membuat mereka percaya bahwa pendapat setiap orang dalam segala hal, harus dianggap setara dengan pendapat orang lain.
Tetapi apakah Nichols mengkampanyekan setatus quo pakar? Jawabannya tidak, dia juga menerangkan beberapa pakar yang berargumen salah, bahkan ada professor yang yang argumennya terbantahkan oleh siswa yang ulet mencari data dan fakta.
Akar dari permasalahan matinya kepakaran adalah, ketidakmampuan orang-orang awam untuk memahami bahwa kesalahan pakar mengenai hal tertentu tidaklah sama dengan kesalahan terus-menerus mengenai semua hal.
Ketidaktahuan yang Baru
Zaman banjir informasi membuaat kondosi sosial mendorong, bahkan orang tercerdas sekalipun, untuk berpura-pura tahu lebih banyak dibanding yang sebenarnya ia ketahui. Memurut Karl Taro Grrenfield, hal semacam itu dilakukan agar menampakkan kesan ia bukanlah orang buta budaya. Dengan begitu mereka tetap bisa bertahan dalam pertukaran ide, pertemuan bisnis, obrolan kantor, aktif di sosial media seolah-olah mereka telah melihat, membaca, menonton dan mendengar. Hal semacam itu ia sebut ketidaktahuan yang baru. (79)
Hal yang berlainan bisa dilihat bagaimana Nichols menyusun buku ini, dimana setiap argumen yang ia susun didasarkan refrensi yang bisa diteliti sendiri lebih dalam dan panjang. Nichols menjelaskan bagiamana terjadi bias opini dalam dialog sehari-hari dan dalam sekala kerja organisasi, bagiaman sifat alamiah yang cenderung mencari prefrensi keyakinannya (bahkan terjadi pada pakar) dan melihat dialog antara pakar dan orang bodoh yang mengalami metakognisi (dunning-kruger syndrom).
Orang yang mengalami ketidaktahuan yang baru, yang bias opini atau terkena meta kognisi membuat pakar frustasi saat mengajak dialog mereka, sementara mereka akan merasa terhina setelah berdialog dengan pakar. Semua pergi dengan sama-sama dalam kondisi marah dan tidak puas. Jurang antara pakar dan masyarakat awam akhirnya semakin bertambah lebar.
Internet dan Jurnalisme yang Memperparah
Di Internet, banyak yang beranggapan semua sama pintar dan tahu, sehingga pendapat pakar di internet saat bersosial media dianggap sama kualitasnya dengan akun masyarakat awam. Tidak sama dengan di dunia nyata, di internet semua suka berdebat. Nichols menyebutnya sebagai "..narsisme intelektual dari tukang komentar telah menggantikan norma yang mengatur interaksi tatap muka.." (h.157).
jurnalisme abad 21 memperburuk keadaan, dimana informasi palsu dan salah tersebar lebih cepat dan bertahan lebih lama. Dia menggerutu,
"..media modern telah membuat pekerjaan saya--sebagai pengajar dan pengamat kebijakan publik--lebih sulit dibanding dua puluh tahun lalu (h.168).
"..media modern telah membuat pekerjaan saya--sebagai pengajar dan pengamat kebijakan publik--lebih sulit dibanding dua puluh tahun lalu (h.168).
Permasalahan jurnalisme yang disoroti adalah debat mengenai berita yang disajikan, apakah redaksi yang menentukan apa yang layak pembacanya baca, atau "wartawan menanyai pembaca apa yang ingin ia baca?" Apalagi redaksi media bisa memonitor traffic pengunjung mereka masing-masing. Di era click bait, kualitas berita ditentukan dari pemenang perdebatan tadi.
Orang yang suka berita hoax biasanya juga cenderung hanya menyukai informasi yang sesuai pandangan mereka, sehingga Nichols menyarankan agar kita berani mengambil sumber informasi yang terkadang berlawanan dengan kecenderungan prefrensi kita. Hal ini perlu agar menjaga informasi yang kita dapat tetap berimbang.
Internet adalah kemajuan. Berkatnya demokratisasi menjadi lebih cepat. Tetapi paradoks yang ia kandung adalah masalah yang ditimbulkan orang yang kurang pengetahuan. Mereka kesulitan membedakan mana informasi yang benar, tidak dapat melakukan pengecekan fakta, dan mudah terprovokasi membagikan sesuatu yang mereka anggap benar.
Masalah yang ditimbulkan internet di dunia nyata memungkinkan kebijakan publik diambil berdasarkan rasa percaya, baru bukti pendukungnya dicari setelahnya. Sialnya, penelitian asal-asalan banyak tersedia di internet.
Masalah yang ditimbulkan internet di dunia nyata memungkinkan kebijakan publik diambil berdasarkan rasa percaya, baru bukti pendukungnya dicari setelahnya. Sialnya, penelitian asal-asalan banyak tersedia di internet.
Selain internet dan jurnalisme yang baru ini, Nichols juga menuntut perguruan tinggi untuk bertanggungjawab. Meski dalam ulasan bukunya tidak bisa sepenuhnya kita bandingkan dengan sistem dan budaya pendidikan di Indonesia, tetap saja kita tidak bisa menolak argumen yang ia tulis secara bulat.
Membaca buku ini secara tuntas, akan membuat kita menganggukan kepala-membenarkan sebagaian besar yang tertulis dalam buku sebagai penejlasan fenomena yang kita temui sehari-hari. Mulai dari debat di kantor yang bias opini, anak muda yang berargumen berdasarkan meme Instagram, sampai hoax yang disebar kembali di Whatsap grup meski sudah dikalrifikasi tahun lalu.
Buku yang awalnya ditulis untuk mengkritisi pemuda Amerika yang apatis terhada politik ini, adalah alat bagi kita untuk memposisikan diri dalam pertempuran, dimana disisi lain pengetahuan mapan yang dikumpulkan bertahun-tahun dibela pakar, melawan orang awam bermodal prefresnsi politik yang ingin membunuh kemapanan tersebut.
Pertempuran ini sangat membahayakan demokrasi, apalagi jika yang menyerang pakar dan ilmu yang mapan malah pemerintah sendiri, yang harusnya menjaga demokrasi.
Pertempuran ini sangat membahayakan demokrasi, apalagi jika yang menyerang pakar dan ilmu yang mapan malah pemerintah sendiri, yang harusnya menjaga demokrasi.