Menziarahi Para Sufi di Turki


Judul buku         : Menziarahi Para Sufi di Turki
Pengarang          : Ahmad Munji
Penerbit             : LovRinz Publishing
Cetakan              : Cetakan pertama, 2020
Tebal haman      : viii + 136 haman
ISBN                   : 978-602-489-808-3
Peresensi            : Maulana Malik Ibrahim (Santri Ponpes RKSS)

Kekayaan peradaban Turki Usmani yang luas, membentang gagah dan menjadi harta warisan tak ternilai bagi generasi penerusnya. Peninggalan cagar budaya semacam istana, masjid, taman hingga makam manjadi penanda bahwa ada jejak peradaban yang agung yang pernah hidup di sana. 

Ada spirit yang menggerakan ingatan masyarakat Turki bahkan dunia akan perjalanan panjang peradaban kerajan Turki Usmani. Salah satu warisan agung yang masih terus dirawat masyarakat Turki adalah ziarah. Sebagai negara yang bertransisi dari agamis ke sekuler, denyut peradaban Turki modern masih dihidupi oleh gemuruh para peziarah baik dari dalam maupun luar negeri. 

Kisah tentang perziarahan ke makam para Waliyullah di Turki secara apik dituliskan oleh Ahmad Munji. Ia membawa pembaca untuk menikmati perjalanan hidup atau kisah para sufi yang memiliki keragaman latar belakang hidup, mulai dari penjual roti hingga penasihat sultan. Kultur ziarah disana tidak ketinggalan juga diulas secara apik.

Dalam buku Ziarah & Wali di Dunia Islam (2007), Thierry Zarcone, menulis tentang Turki dan Asia Tengah, ia menjelaskan bahwa konsep kewalian di Turki (dan sekitarnya) adalah hasil dari suatu perpaduan antara dua faktor. Pertama kecenderungan perang (jihad) dengan didasari semangat ghazi- dan keanggotaan pada tarekat aliran sufi tertentu. Kedua, yang peranannya dalam islamisasi di Asia Tengah dan peralihan agama raja-raja yang jauh lebih besar dibanding peran dakwah para ulama (2007:381). 

Sesuai pendapat Zarcone, Waliyullah yang coba dibahas dalam kecenderungan perang pertama tadi adalah Ghazi. Ghazi merupakan salah satu ciri yang paling menonjol dalam wiracerita tentang tokoh sufi atau raja-raja yang namanya tersohor dalam perjuangan melawan “kafir”. Pada umumnya jihad tokoh-tokoh yang akan menjadi wali itu mempunyai dimensi mistis, yang juga mencakup perjuangan batin terhadap diri sendiri (futuwwa) (2007:382). Kemudian peran kedua tadi, baik wali, raja atau bangsawan yang berhasil memperluas ekspansi agama Islam, pengaruhnya dari ajaran sufi (sufisme) tidak boleh dilupakan. Ajaran dan peran para mistikus Islam tersebut selama ratusan tahun, hingga saat ini, baik sebagai penasehat, guru spiritual dari para pemimpin/sultan adalah untuk menyebarkan ajaran Islam. 
Namun di buku ini, Munji menurut penulis belum memasukkan seorang sufi yang juga seorang ghazi, tetapi lebih banyak mengisahkan para bangsawan yang juga seorang sufi serta bagaimana tingkat pengaruh yang dimiliki sang sufi, seperti Sadruddin Konawi, yang merupakan juru bicara Ibnu ‘Arabi (h. 37). Juga ada seorang bangsawan bernama Emir Sultan yang mendapatkan gelarnya setelah menikahi putri Yildrim Beyazid. Emir Sultan menjadi penasihat bagi Yildrim. 

Paling tidak ada tiga relasi menarik antara keduanya (Emir dan Yildrim, pen): mertua-menantu, guru-mursyid, dan ulama-umara (h. 73). Kemudian ada Aziz Mahmud Hudayi “yang nasihat-nasihatnya didengar dan dijadikan pegangan oleh pengikutnya… Mulai dari rakyat biasa hingga para sultan yang sedang berkuasa” (h. 106). 

Tak boleh dilupakan salah satu sufi, dokter, dan guru spiritual Muhammad Al-Fatih penakluk kota Konstatinopel, Aksemseddin (nama aslinya Syaikh Muhammad Shamseddin bin Hamza) (lihat h.109). Selanjutnya diceritakan pula mengenai satu wali yang dimakamkan di ibukota Turki, Ankara, bernama Haci Beyram Veli yang merupakan salah satu penasihat bagi Sultan Murad II (lihat h.123). 

Keunikan Penyebutan Nama dan Makam Sufi

Untuk menyebut orang-orang suci, ada beberapa sapaan yang sering dipakai; Wali, Auliya, Syekh adalah sebutan dari bahasa arab (juga digunakan di Indonesia), sedangkan dalam bahasa persia ada penyebutan Ishan, Pir, dan Shah. Kemudian dari bahasa turki, masyarakatnya sering menggunakan sebutan Ata, Eren, Yatir, Baba, dan Dede. Ada keunikan tersendiri dari sebutan Baba, Zarcone mengisahkan bahwa istilah ini dipakai untuk menamakan suatu kelompok sufi heterodoks dari abad ke-13, yakni pada Baba’i; istilah itu juga menyertai berbagai nama pangkat dalam jajaran tarekat Bektasyiyah (2007:396). 
H unik dari penamaan wali bisa dilihat dari kisah Syaikh Hamid Veli Somuncu Baba yang mendapat julukan Wali Penjual Roti (h. 69). Julukan Baba juga disematkan pada tokoh Talli Baba yang misterius, seorang sufi yang dikenal masyarakat Turki sebagai salah satu Wali penjaga selat Bhosporus (h. 100). Nama Veli juga disematkan pada tokoh Haci Bektas Veli (h.113).

Dari segi keunikan tempat ziarah, umumnya makam seorang sufi atau ghazi yang ‘disufikan’ didampingi oleh sebuah pondok/zaviya (meski tak selalu). Namun jika makam seorang wali yang tidak terikat aliran tarekat apapun, biasanya makamnya didampingi masjid atau madrasah. 

Biasanya makam waliyullah dikelilingi oleh makam umum. Munji menuliskan hasil pengamatannya: “Pemakaman di Turki biasanya terletak di belakang sebuah masjid, ini dimaksudkan agar para jamaah selalu ingat akan kematian setiap kali datang ke masjid…” (h. 20). Masjid menjadi tempat ibadah sekaligus pengingat akan kehidupan di akhirat. 

Namun tak hanya sebatas masjid atau pondok, di makam Jalaluddin Rumi terdapat museum dan destinasi wisata. Munji menulis: “Setiap tahunnya, lebih dari 1,5 juta peziarah datang untuk berziarah ke makam Rumi. Makam Rumi tercatat sebagai museum ketiga yang paling ramai dikunjungi oleh wisatawan… peziarah juga bisa menyaksikan pertunjukan tari sufi yang digelar setiap Sabtu malam di Pusat Budaya Konya yang letaknya tak jauh dari kompleks makam” (h.29). 

Munji memaparkan beberapa nama tokoh sufi yang dimakamkan di dekat padepokan sufi dan masjid; Aziz Mahmud Hudayi dimakamkan di dekat dergah (padepokan sufi) (h. 103). Kemudian ada Molla Fenari yang makamnya berada di sebelah masjid yang dibangunnya di distrik bernama Maksem di Kakli Uludag, Bursa (h.59). Dengan membuka lembar demi lembar buku ini membawa kita mampu membayangkan bagaimana semarak para peziarah dalam kenikmatan spiritualitas dan khidmat berdoa di makam para sufi. Tentu, pengalaman yang akan sangat terasa apabila kita bisa datang kesana secara langsung sendiri.