Pandemi Covid-19
beberapa bulan terakhir telah memaksa kita semua membatasi mobilitas
sehari-hari demi menurunkan resiko penularan virus ini. Tidak terkecuali
aktivitas sepakbola, di Indonesia liga yang baru saja memasuki pertandingan ke
tiga terpaksa dihentikan, lain lagi liga-liga di Eropa yang telah memasuki fase
akhir perebutan juara, juga terpaksa berhenti akibat virus
SARS-CoV-2.
Bagi penggila sepakbola, mberhentinya
gelaran kompetsisi tentu
membuat galau. Bagi para Liverpooldian, Manchunian, Madridistas hingga
Juventini sampai batas waktu yang belum jelas, tidak ada tontonan hiburan akhir
pekan. Bagi pendukung kesebalasan lokal mereka pasti sudah “gatel” pengen neribun
mendukung tim kebanggaannya.
Tak terkecuali bagi Manchunian seperti saya. Menonton
pertandingan Manchester United (MU) di televisi maupun
daring dari telepon genggam adalah hiburan tersendiri. Tidak bisa melihat aksi Rashford Cs hingga waktu yang
belum ditentukan merupakan kegalauan tersendiri, apalagi ditengah naiknya
performa tim ini.
Ditengah kegalauan saya berpikir bagaimana menemukan
hiburan serupa nonton sepakbola, tak lama terlintas di otak saya nama-nama
penulis bola macam Darmanto Simapea, Romo Sindhunanta, Fajar Djunaidi hingga Zen
Rs. Akhirnya nama terakhir terpilih untuk saya baca bukunya. Pertimbangannya
sederhana, selain namanya memang sudah masyhur, saya sebenarnya sudah lama
punya angan-angan ingin membaca bukunya, hanya saja setiap mau membeli uangnya
terpakai untuk prioritas yang lain, akhirnya Minerva.id menjadi messiah di
tengah pandemi dengan mengantarkan buku ini ke
pangkuan saya.
Tulisan-tulisan Zen RS yang terkumpul dalam buku Simulakra
Sepakbola merupakan kumpulan tulisan yang berserakan di berbagai media
online, terutama di padepokan yang ia dirikan sendiri PanditFootball.com.
Pertama membaca esai bapak dua anak ini, saya merasakan sepakbola hanyalah
instrumen yang ia pakai untuk mengajak kita mengenali berbagai aspek ilmu pengetahuan;
sastra, filsafat, politik hingga sejarah.
Mengapa sepakbola? Tidak demi siapa-siapa. Zen RS dari
kecil memang mania bola, sekaligus pembaca buku yang rakus, dalam mukaddimah bukunya Sepakbola, Buku dan Cinta ia rela dihukum
pelatihnya gara-gara sengaja telat latihan demi menghatamkan buku Burung-
Burung Manyar. Buku yang menurutnya jauh lebih bagus dari Tenggelamnya Kapal van Der Wijk atau Grotta Azzura, dua buku terakhir itu ia khatamkan sewaktu SD dan SMP.
Dalam Sepatu Bola Pertama ia menceritakan
bagaimana girangnya dibelikan sepatu bola oleh Bapak-nya. Selain pemilik sepatu
pertama dikalangan sebayanya, ia juga satu-satunya pemain seumurunnya yang
dipanggil mengikuti turnamen agustusan
bersama orang-orang dewasa di kampungnya, dari situ ia juga dianggap dewasa
dengan ditandai undangan pernikahan atas nama-nya sendiri. Saat itu ia masih
berusia 13 tahun, semua momen-momen itu ia gambarkan sebagai rite de passage
sebuah istilah nomenklatur ilmu kebudayaan pramodern, yang menegaskan peralihan
dari satu fase ke fase yang lain.
Namun menilai tulisan lelaki yang memilih
untuk tidak menyelesaikan sarjananya sebatas “instrumen” an-sich juga
naif. Zen yang dulu mantan atlet sepakbola
tarkam mengakui:
“Saya menggunakan tangan untuk apa yang sudah terlampau sukar untuk dilakukan dengan kaki” (hal 17).
Cita-citanya menjadi pemain bola profesional ia kubur
dalam-dalam, tapi kecintaan-nya pada sepakbola tak pernah padam. Hasratnya ia
lampiaskan sepenuhnya untuk mempelajari teknik menulis esai sepakbola,
kemampuan analisis sepakbolanya ia asah serta mengembangkan bahan bacaannya.
Terbukti tahun 2016 ia bersanding dengan bung Binder
Singh menjadi pandit piala dunia di salah satu stasiun televisi. Zen muda bertransformasi dari aktivis
sepakbola yang dikeroyok preman suruhan Nurdin Halid karena nekat membagikan
zine PLAK (majalah yang mengkritik keras Nurdin
Halid), hingga menjadi
pandit dan esais bola pilih tanding.
Salah satu kriteria tulisan bagus menurut saya, selain
mengandung informasi, sekecil apapun, ia juga harus mampu mengubah persperktif si pembaca, serta mampu
mengubah hal yang nampaknya tidak penting menjadi penting. Nah tulisan–tulisan
ayah Pilar Parrhesia ini mencakup kriteria di atas.
Saya termasuk orang yang suka dengan gaya sepakbola
menyerang, menguasai ball possession ala tiki-taka-nya Pep Guardiola.
Dan amat membenci sepkabola “negatif- pragmatis” seperti Timnas Yunani-nya Otto
Rehhagel kala memenangi titel Euro 2004, pelatih yang mampu membuat Cristiano
Ronaldo menangis sendu ketika timnya harus menerima kekalahan di partai puncak.
Alasan saya menyukai gaya di atas simpel, karena
pendekatan tersebut lebih menghibur, lebih enak ditonton, seakan kalahpun tak apa asal mainnya menyerang.
Namun anggapan itu perlahan terkoreksi setelah membaca tulisan Pragmatisme
Sepakbola dan Serangan Balik Sebagai Keindahan Yang Lain.
Mula-mula Zen menanyakan dengan nada sangsi;
apakah benar keindahan dalam sepakbola hanya berdimensi tunggal? Benarkah
keindahan sepakbola hanya milik sepakbola menyerang? Dengan diksi-diksi bernasnya Zen mengajak
kita untuk menyelami filosofi permainan Otto;
“..perkuat lini pertahanan, jangan beri celah lawan untuk masuk kotak penalti, lalu kirimlah serangan balik yang tidak harus cepat, tapi yang penting tertata dan tidak sembrono..” (h. 106).
Tidak peduli istilah permainan negatif dan kolot karena
bagi Otto permainan positif-modern tidak ada urusannya dengan formasi 4-3-3
atau 4-4-2, siapa yang menang dialah yang modern. Bagi Zen itu merupakan
ungkapan kejujuran tanpa cadang.
Cara berpikir itu
nyaris segendang-sepenarian denga kata William James filsuf pragmatisme “If
you care enought for a result, you will most certainly attain it”
(hal.107). Faktanya diam-diam saya mengamininya.
Saat bermain Playstation melawan Ajid yang selalu memiliki rata-rata penguasaan bola di atas enam puluh persen, melawannya
dengan bermain terbuka merupakan tindakan “bunuh diri”. Tak jarang saya
memasang 5 bek sejajar dalam formasi 5-3-2, menaruh dua devensive midfielder,
satu attacking midfielder, satu second forward dan satu center
forward dengan peran pemain nomor “9” murni.
Dengan memanfaatkan kelengahan umpan satu dua yang
sesekali tidak akurat, begitu bola terebut, tanpa basa-basi
dengan pola yang sebenarnya random dan tak rapi-rapi amat, serangan balik sukses membobol jala gawang Ajid. Sayalah yang
modern.
Bayangkan
betapa gembiranya saya, setelah selama hampir 90 menit dibombardir dari sisi
kanan, kiri dan tengah, sekali memegang bola dapat membobol gawang lawan dengan
hitungan detik. Itulah magic dari serangan balik dalam sepakbola dan
diam-diam saya menikmati adrenalinnya.
Dunia menasbihkan gol kedua Maradona ke gawang Peter
Shilton (timnas Inggris) pada piala dunia 1986 sebagai gol terbaik abad 20.
Kita barangkali sepakat aksi solo run melewati tujuh pemain timnas
Inggrislah yang menjadikannya fantastis. Tapi apakah benar karena faktor itu
saja? Apakah sepanjang abad 20 hanya Maradona yang dapat melakukan aksi seperti
itu? Rupanya Zen Rs melihat faktor lain dari aksi Maradona, yakni adanya
lompatan Grand Jete’ (lompatan tinggi) salah satu teknik tarian dalam
balet, ia menjabarkan prosesnya dengan rigid yang sialnya pembaca seperti
“dipaksa tanpa sadar” menganggap itu semua penting.
Tidak berlebihan seorang Muhidin M Dahlan menyebut Zen Rs sebagai pembaca yang kuat, penulis yang cepat
dan pengingat yang baik. Bagi saya
tulisannya begitu skill-full. Dan layaknya Messi, ia adalah
gabungan bakat penulis dari Tuhan dan latihan menulis tanpa kenal lelah.
Peresensi Fathan Zainur Rasyid
Tulisan Fathan Zainur Rasyid lainnya