Saat Orang Awam Belajar Tasawuf Melalui Kitab Hikam

Bagi yang hidupnya dikejar-kejar pencapaian yang harus diraih tetapi belum terpenuhi, yang sering tersikut dalam kompetisi yang seharusnya berjalan sportif, lalu merasa kehidupan tidak adil pada mereka. Bagi mereka yang bimbang mencari pegangan prinsip untuk kehidupan di tengah struktur sosial yang semakin kompleks, maka perlulah obat yang bisa menyentuh jiwa mereka. Obat tersebut adalah tasawuf, dan Buku Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab al-Hikam, adalah “merek” obat yang bisa diresepkan.

Menurut WHO tingkat stres yang menigkat adalah fenomena dunia, tidak hanya dialami masyarakat Indonesia saja. Biasnya faktor keuangan dan pekerjaan jadi sebab utamanya. Buku ini sangat tepat dibaca oleh dua kalangan. Pertama kalangan yang ingin mengatasi “kestresan” karena permasalahan dunia modern. Kalangan kedua, bagi yang ingin menempuh hidup yang lebih berkualitas secara rohani, karena buku ini menawarkan kedalaman di tengah kedangkalan.

Apa benar orang awam bisa belajar tasawuf? Meski menawarkan kedalaman dan ada asumsi bahwa orang awam baiknya belajar fiqh sampai matang dahulu sebelum tasawuf, Ulil Abshar Abdalla cukup cerdas mengatasi hal tersebut dalam narasi-narasinya. Pertama karena dia membagi dua pengertian setiap meditasi Ibnu ‘Atha’illah menjadi pengertian umum dan khusus. Sebagai orang awam (yang ilmu agamnya rendah) saya merasa lebih tepat membaca nasihat di penegrtian umum dibandingkan di pengertian khusus. Kalau yang sudah belajar dan punya modal agama, mungkin akan mengena saat membaca nasihat di pengertian khusus.

Maksud saya dari orang awam bisa mempelajari tasawuf dari buku ini adalah, meski seharusnya butuh kematangan ilmu dan praktik beragama, tetap saja ada hikmah yang bisa kita ambil (sebagai orang awam). Ulil sendiri tidak melangitkan pembahasan tasawuf ini, bahkan tidak jarang ia menampilkan apa yang ia sebut “Tasawuf sehari-hari”. Komentar Ulil (sarah) pada bait al-Hikam ini sering ia benturkan dengan pengalaman ruhani pribadinya, yang tentunya kita juga mungkin pernah mengalaminya. Contohnya bagaimana perenungan ilahiah muncul saat Ulil terjebak macet Jakarta. Selanjutnya, sebagai disclaimer, agar dipahami ulasan ini saya tulis dari kacamata saya sebagai orang awam tersebut.

Ulil tidak memaksa kita menjadi manusia rohani dengan terus membahas bagaimana cara mendekatkan diri dengan tuhan. Dalam hikmah-24 bahkan ia membahas hal yang benar sehari-hari bisa dialami siapa saja, menunda pekerjaan. Barang siapa melakukan hal ini (penundaan pekerjaan) jiwanya sedang kotor. Latihan untuk berusaha mengerjakan semua tanggungjawab tanpa menunggu mendekati batas waktu dan tahu prioritas, adalah hal paling bijak yang bisa ia sarankan untuk mengatasi permasalahan ini.

Di hikmah lainnya, ia memberi rambu bagaimana sebaiknya kita menentukan lingkungan kita. Seseorang yang punya cahaya dalam jiwanya patut kita jadikan teman. Ulil juga menerangkan tentang anjuran menjalin ikatan pertemanan dengan orang yang berani mengkritik dirinya sendiri, orang yang tidak gampang puas terhadap pencapaian-pencapaiannya dan mudah merasa sombong. Dalam bahasanya ia menyebut sebagai fellow traveler, teman seperjalanan spiritual. Persis seperti syair tombo ati yang menyarankan berkumpullah dengan orang sholeh.

Hal yang sering dipertanyakan manusia pada Allah, mungkin ketetapan takdir yang terkadang di luar kemampuan kita untuk membacanya. Pikiran dan jiwa kita akan diaduk-aduk dalam masalah takdir. Menurut saya kita harus hati-hati menggabungkan pemahaman antara hikmah ke 1, "Usaha Penting, tapi bukan Segala-galanya", dengan hikmah ke 3, "Bisakah Kita Menembus Tembok Takdir?", Hikmah ke 7, "Optimisme Terhadap Kenyataan hidup" serta hikmah ke 25, "Menerima Takdir dengan Sikap Jantan".

Pemahaman komprehensif mengenai hikmah-hikmah tersebut membantu kita kapan harus terus berusaha, dan kapan waktunya untuk pasrah. Tambahan menariknya, Ulil mampu menyeimbangkan bahasan tasawuf ini dengan nilai-nilai filosofi kehidupan orang Jawa seperti, sumeleh dan nerimo ing pandum dengan membuang jauh-jauh kesan fatalisme dari nilai-nilai ajaran tersebut.

Secara keseluruhan hikmah-hikmah tersebut (1, 3, 7 dan 25) membangun pondasi pemahaman kita bagaimana memperlakukan doa dan usaha, terlebih, bagaimana menempatkan kepasrahan terhadap ketentuan-Nya secara tepat. Ulil berulang kali menegaskan jangan sampai hikmah yang ada malah mengantarkan kita pada fatalisme buta.

Sejauh menyangkut ketentuan Allah kita diajarkan tulus menerima. Tetapi dalam wilayah ikhtiar, filosofi kita harus pekerja keras, tidak gampang puas dan terus mengejar batas potensi tertinggi yang mungkin kita capai (h.158). Filosofi semacam ini menurut Ulil akan menghindarkan kita dari rasa mudah depresi dalam menjalani kehidupan.

Tasawuf bukanlah hal yang menjauhi keduniawian dan keramaian. Dalam konteks perubahan sosial, kita bisa mengubah masyarakat dengan mengubah individu-individunya. Sementara cara terbaik memperbaiki individu adalah meningkatkan kualitas rohani dan sikap dalam hatinya. Karena apa yang ada dalam hati akan tercermin dalam tindakan. Seperti pepatah arab mengatakan, lisaan al-haal afshah min lisan al-maqaal, tindakan seseorang lebih jelas menggambarkan seseorang dibanding perkataannya.

Salah satu tema yang diulas dalam beberapa hikmah adalah doa. Mulai dari adab, tujuan dan dimudahkannya doa terkabul. Dengan doa manusia terhindar dari usaha memalingkan diri dari Allah. Seberat apapun masalah, hanya Allah yang akan jadi sandaran dan tempat berharap. Bahkan, Ulil menjelaskan doa secara filosofis, sesuai Istilah Imanuel Kant, yaitu Deontologi.

Menurutnya manusia berdoa bukan karena pasti harapanya (doa) akan dikabulkan. Manusia berdoa karena memang itu hakikat hamba pada penciptanya. Persis yang dicontohkan Sony Keraf dalam buku Etika Lingkungan, membuang sampak ke sungai itu dilarang, terlepas akan menyebabkan banjir atau tidak, ya memang tidak seharuanya sampah dibuang ke sungai. Kata Ulil harapanlah (berdoa) yang akan membuat manusia terus "terapung" di permukaan, tidak tenggelam.

Sementara judul dari buku ini, Manusia Rohani, bisa kita temukan secara lebih sepesifik dalam pembahasan beberapa hikmah terakhir. Ulil dalam perbedaan yang sumir menyamakan manusia rohani yang dimaksud sebagai insan kamil, atau dalam bahasa filosofisnya, urbermensch. Manusia Rohani bisa dicapai jika sifat basyarriyyah seperti hasrat untuk makan, minum, kebutuhan seksual, kesombongan dll bisa dikendalikan. Padahal kedudukan manusia sebagai hamba (ubuudiyyah) lebih tepat jika meningkatkan kualitas insaaniyyah (kemanusian) seperti, kerendahhatiaan. Denagn begitu,dalam dirinya akan muncul cahaya tawajjuh, cahaya fitrah yang bisa menghantarkannya pada “Kebenaran” (h.236).

Pada pemaknaan sosial, Ulil dengan tepat menjelaskan bahwa realitas manusia mempunyai maqam yang berbeda-beda. Implikasinya kita harus menjalin komunikasi sesuai tingkatan ini. Dalam konteks pembagian manusia sosial atau manusia kamar, kita akan tahu jawaban dari pertanyaan aktifis-aktifis muda mengenai, kenapa ada tokoh (baik agama atau masyarakat) yang seolah-olah tidak mau terlibat turun langsung dalam suatu permasalahan. Hal ini bisa jadi tokoh tersebut termasuk kategori manusia kamar. Komunikasi kita tentu harus memahami realita yang seperti ini.

Terakhir, keluasan dan kepakaran Ulil dalam tema ini membuat kita mendapatkan banjir persepektif. Dari keislaman klasik ada banyak sekali komentar Ibnu Ajibah (punya kitab tafsir yang bercorak sufistik, bahrul madid), dari barat tidak segan mengutip filosof eksistensialis yang terkadang menyerang eksistensi Tuhan kemudian memberikan catatan sanggahan seperlunya, kemudian nilai filosofi jawa yang tidak bisa dihilangkan dari pengaruh tempat lahirnya di Pati, Jawa Tengah. Membaca buku ini sewaktu Ramadhan menjadi momen nikmat tersendiri, sebaiknya jangan tergesa sekali duduk selesai, meskipun bisa begitu jika anda berkenan. Baiknya baca pelan, jeda dengan penghayatan, lalu membacanya lagi dan lagi.


Peresensi:  Ahmad Muqsith


Tulisan Ahmad Muqsith lainnya

Aksi Nirkekerasan, Syarat dan Hambatannya Agar Berhasil

Membaca Rumi dari Kacamata Gerakkan Mahasiswa