Kisah dan Pelajaran Gerakan Rakyat dari Dunia Ketiga


Bagi belahan dunia yang tertinggal arus modernisasi yang menjadi pintu masuk globalisasi (pasar bebas), sering disebut sebagai Dunia Ketiga, tidak terkecuali Indonesia. Belahan dunia yang unik ini, meninggalkan jejak perjuangan yang sangat kaya. Sudah sewajarnya kesamaan kondisi sebagai sesama belahan Dunia Ketiga, kita di Indonesia belajar banyak dari buku yang disuntung Noer Fauzi Rahman ini. Dengan judul Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Noer Fauzi Rahman menampilkan beberapa tulisan dari kisah perlawanan terkenal dari Brazil, Meksiko, Afrika Selatan sampai Filipina.

Buku ini dibuka dengan kisah Movimento dos trabalhadores Rurais Sem Terra (MST), adalah organisasi pergerakan pekerja pedesaan yang tidak punya tanah di Brazil. Didirikan pada 1984 dengan agenda utama reforma agraria, menjadi mediator bagi anggotanya yang tidak punya tanah agar dapat akses sumber daya dari negara demi terwujudnya masyarakat baru yang adil dan setara.

Sejak awal 1960-an kekuatan dari Patai Komunis Brazil dan Gereja Katolik menjadi kekuatan yang fokus pada reforma agraria. Gereja Katolik Roma bahkan menerbitkan seri buku pendidikan yang berjudul "Tanah Anugrah Tuhan" pada 1961. Fokus Gereja Katolik Roma ke permasalahan Amerika Latin menginspirasi terbentuknya gereja-gereja berbasis komunitas pada 1963. Bahkan tahun 1972 terbebtuk Komisi Pertanahan Pastoral yang fokus melindungi pekerja tak bertanah. Peran Gereja komunitas dinilai cepat menjadi magnet puzat gerakan akar rumput karena masih berjejaring dengan jejaring aktivis reformis yang lebih luas (h.7).

Setelah pemerintah militer undur diri tahun1982 dan Joe Sarney terpilih sebagai presiden pada 1985, MST juga melakukan kongres nasional yang dihadiri 1600 delegasi. Kongres memutuskan untuk menentang setiap pemerintahan dengan alasan bahwa negara teraebut mewakili negara borjuis, yang syarat kepentingan kelas (h.10). Keberhasilan MST dalam pengorganisasian menghasilkan banyak cerita bahagia seperti, 400 asosiasi bagi produksi, perdagangan dan jasa, serta kepemilikan koperasi dengan puluhan ribu mitra anggota. MST juga terlibat aktif di Via Campesina, wadah yang berisi 90 organisasi dari 60 negara yang menyuarakan gerakan nir-kekerasan demi reforma agrarian dan kebijakan yang memihak petani.

Dari perjuangan panjang MST, ada hal menarik yang bisa kita pelajari dari pernyataan salah satu anggotanya, 

"..tidak ada yang berjalan tanpa gerakan. Jika tidak ada protes, perjuangan, serta keterlibatan semua orang, maka kita tidak mendapat apapun.."

Menariknya lagi, anggota MST sendiri tidak pernah melihat bantuan pemerintah terhadap akses-akses yang mereka dapat melalui perantara MST sebagai  hadiah, melainkan sebagai sebuah hasil perjuangan (h.19). Dalam terbitan lainnya, Resist Book juga mengulas kisah sukses MST dalam Buku Gerakan Massa Menghadang Imprealisme Global (2005) dimana Pemred Indoprogres, Coen Husain Pontoh, menjadi editornya.

Selanjutnya ada kisah Ejercito Zapatista de Liberacion Nasional (Tentara Pembebasan nasional Zapatista-EZLN) yang pada tahun 1994 melakukan pemberontakan bersenjata. Selama 12 hari anggota dan simpatisan Zapatista yang mayoritas petani melakukan perang bersenjata di Chiapas.

Zapatista tidak mencoba merebut kekuasaan politik, tetapi malah mendorong demokratisasi dari luar parlemen dengan memperkuat masyarakat sipil. Gerakannya dinilai lebih berdampak dibanding partai-partai Oposisi dalam mempengaruhi Partai Revolusioner Institusional (PRI) yang telah nemimpin Meksiko selama sekitar 70 tahun.

Zapatista dengan begitu mengerjakan dua hal sekaligus. Pertama, menyuarakan ketimpangan sosial yang akan diperparah dengan masuknya Meksiko ke Pasar Bebas Global. Konsekuensinya masyarakat adat yang akan terdampak harus melawan dan menuntut reforma agraria. Kedua, perlawanan tersebut juga sekaligus promosi gerakan demokratisasi nasional. Melalui gerakan damai mereka berhasil meraup simpati dunia internasional untuk menekan kekuasaan PRI.

Dalam buku lain yang secara khusus mengulas Zapatista, ada Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan "Komunike-Komunike Zapatista Melawan Neoliberalisme", lalu ada buku Bayang Tak Berwajah "Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista" dari Insistpress dengan kata pengantarnya dari Noer Fauzi Rahman.

Dalam politik paska apartheid di Afrika Selatan, kekerasan telah menjadi bagian integral dari kontrol sosial di area pertanian komersial. Untuk wilayah yang lebih miskin, kekerasan bisa lebih parah. Kulit hitam penghuni tanah pertanian, terjebak dalam ketidakberdayaan perangkap pemilik tanah kulit putih yang dibantu aparat negara untuk menyisihkan mereka.

Pada tahun 1994, ada peralihan relasi masyarakat sipil dengan negara. Gerakan masyarakat sipil yang awalnya menjadi oposisi pemerintah kemudian berubah menjadi mitra dan kooperatif. Aktifis progresif yang masuk dalam lingkaran ini semakin menggerogoti kekuatan demokratisasi masyarakat sipil  independen. Sementara mereka yang sudah terlanjur masuk ke dalam pemerintahan, tidak mampu membuat perubahan dari dalam yang cukup berarti. Indonesia sendiri juga mengalami hal serupa, terutama pasaka Pemilu 2014.

Kampanye kekerasan pemerintah bisa dirasakan secara langsung dampaknya. Missal melihat jumlah dari aksi massa yang mampu melibatkan 7000 orang pada tahun 1994, menjadi tinggal 400 orang pada aksi massa tahun 2002 (h.120). Jika anda ingin memahami beberapa refrensi mengenai hal ini secara lebih khusus, buku Dom Helder Camara yang Spiral Kekerasan sangat membantu memahami isu ini.

Landless Peope Movement (LPM), atau Gerakan Rakyat Tak Bertanah, sebagai pengordinir gerakan rakyat mempunyai basis massa lintas kelas.  Tidak hanya petani dan buruh, tetapi juga diikuti tokoh politik lokal yang terpilih secara demokratis. Selain kampanye kekerasan dari pemerintah, banyaknya ornop yang berafiliasi ke parpol yang menjamur sampai pelosok desa, lalu Serikat Buruh yang sibuk mengavodkasi anggotanya yang mengalami kekerasan dan pengusiran dari lahan pemukiman, menjadi tantangan tersendiri bagi LPM.

Kasus lainnya ada Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom (UNORKA), berdiri pada Juni 2000, berisi organisasi-organisasi petani dan buruh tani yang memperjuangkan reforma agrarian di Filipina. Perjuangan ini sama seperti yang terjadi di Duni Ketiga lainnya, diawali dari proses kolonialisasi. Pada abad XVI Spanyol memperkenalkan hak kepemilikan tanah sebebas-bebasnya yang menjadi benih perjuangan reforma agrarian karena ada ketimpangan akses tanah.  Unorka sendiri menjadi simbol penting demokratisasi otonom pedesaan di Filipina.

Selebihnya Buku ini mengulas strategi mengapa gerakan-gerakan perjuangan tersebut sukses, baik meraih sepenuhnya tuntutan yang mereka perjuangkan atatu hanya sebagaian besarnya saja. Gerakan yang ditulis punya kesamaan yaitu, kesabaran dalam perjuangan nirkekerasan yang tujuannya universal. Bagiaman melihat relasi kekerasan yang sering menimpa aktor perjuangan di gerakan semacam ini, kita harus memahami juga Spiral Kekerasan ala Dom Helder Camara. Selanjutnya, dinamika diskursus Teologi Pembebasan tidak bisa dipisahkan dari isu semacam ini.

Kisah sukses gerakan perlawanan lainnya tentu masih banyak. Tetapi yang disajikan dalam buku ini saya rasa cukup penting untuk dibaca. Pertama karena selain setiap aksi yang terekam, bobot teoritisnya juga menjadi modal bagus yang mau serius di tema seputar gerakan. Kedua, negara yang menjadi pusat ceirta-cerita dalam buku ini punya garis demarkasi yang jelas, Dunia Ketiga yang pernah dijajah, sehingga sebagai orang Indonesia kita tidak akan merasa asing dengan kondisi dalam kisah-kisah di buku ini. Terakhir, buku semacam ini memang sudah diterbitkan dan diperboncangkan satu dasawarsa yang lalu. Tetapi melihat gerakan mahasiswa yang semakin jauh dari permasalahan seperti ini, maka memuncukan kembali buku ini adalah hal yang benar.

 

Judul Buku                         : Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga

Penerbit/Tahun Terbit : Resist Book/2015

Cetakan                               :Pertama 2005, Kedua 2015

Halaman/ Dimensi         : xviii + 288/ 17x 24,5cm

Penyunting                        :Noer Fauzi Rahman

Peresensi                            Ahmad Muqsith


Tulisan Ahmad Muqsith lainnya

Kapitalisme dalam Diskursus Agraria

Krisis Pangan Penyebab dan strategi Mengatasinya