Permasalahan Landreform tidak dapat dibatasi hanya dalam sudut pandang ekonomi semata. Penataan ulang sumber-sumber agraria yang lebih adil harus mencakup transformasi di semua aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial-politik, budaya, kelembagaan, lingkungan, bahkan kemanusiaan.
Melalui hasil penelitian dan kajian
yang dilakukan, Tri Chandra Aprianto menyajikan dinamika perkebunan di wilayah
Jember, dari kurun waktu awal tahun 1940-an sampai tahun 1970-an. Sejak era
kolonial, kemerdekaan, hingga lahirnya orde baru. Bagaimana Sumber Daya Alam (SDA)
yang melimpah ruah di Indonesia menjadi objek empuk untuk mengisi
kantong-kantong segelintir golongan atau elite dari masa ke masa.
Mengapa Landreform
?
Sejak masuknya perkebunan kolonial, relasi kuasa agraria tidak lagi diatur oleh pemenuhan kebutuhan subsistensi semata, melainkan untuk memenuhi pesanan pasar-pasar Internasional. Untuk memenuhi pesanan tersebut, maka praktik penyingkiran dan perampasan dilakukan oleh lembaga pemodal. Ketimpangan penguasaan dan relasi kuasa ini akhirnya menimbulkan konflik agraria sebagai wujud perlawanan rakyat (h. 5).
Ekspansi
modal akhirnya memaksa masyarakat di pedesaan berada dalam lingkup perusahaan
perkebunan. Secara tidak sadar mereka dihubungkan dengan pasar seberang lautan
oleh penguasa-penguasa agraria yang baru. Kehadiran modal besar yang melakukan
ekstraksi tanah dalam bentuk perusahaan perkebunan tidak hanya menimbulkan
ketimpangan. Lebih jauh, terjadi demoralisasi
sosial sebab diferensiasi kelas sosial antara golongan tani pribumi (kelas pekerja)
dengan golongan pengusaha asing (pemodal) semakin jelas
terlihat jurang pemisahnya.
Oleh sebab
itu, penataan ulang atas sumber-sumber agraria yang lebih adil (landreform) adalah jalan keluar dari
mata rantai ketimpangan sosial, serta pergeseran budaya, bahkan usaha memanusiakan
manusia akibat
penguasaan sumber-sumber agraria yang timpang.
Perjuangan
Landreform
Menata ulang yang berarti membongkar
yang lama kemudian menyusun yang baru adalah bukan perkara yang mudah. Sebab para pemodal tentu tidak berdiam
diri ketika relasi kuasanya dibongkar. Praktik tersebut merupakan sebuah
ancaman bagi ‘nilai lebih’ yang didapatkan pemodal dari mempekerjakan buruh
untuk menghasilkan komoditas berupa hasil perkebunan, kemudian menjual
komoditas tersebut untuk memenuhi pasar internasional.
Pada masa kolonial wilayah pekebunan dikenal dengan sebutan hak erfpacht (hak perbendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu lama dari sebidang tanah) yang berlandaskan pada hukum Agrarische Wet 1870. Soekarno menyadari bahwa untuk menata ulang sumber-sumber agraria membutuhkan kebijakan dan dukungan politik yang kuat. Oleh sebab itu Soekarno segera membentuk Panitia Agraria Yogyakarta pada 1948, yang bertugas membuat kerangka pemikiran hukum agraria nasional, pengganti hukum Agrarische Wet kolonial.
Kemudian karena perpindahan ibu kota
negara, berubah menjadi Panitia Agraria Jakarta (1951). Selanjutnya diganti
Panitia Soewahjo (1956) yang berhasil membuat Rancangan Undang-Undang (RUU).
Akhirnya disempurnakan oleh Panitia Soenario (1958), dan menyerahkan RUU tersebut
ke DPR. Namun Soekarno meminta pendapat kepala Universitas Gajah Mada (UGM) untuk mengkritisi RUU tersebut. Akhirnya pada
tanggal 24 September 1960, dalam Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960, sebagai UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disahkan (h.
29)
Landreform:
Konflik Pertentangan Kelas
Periode
1959-1967 adalah periode penting dalam dinamika masyarakat perkebunan yang
didominasi warna politik. Masing-masing kekuatan masyarakat politik dalam tubuh
masyarakat perkebunan ter(di)sedot oleh dinamika dan politik arus utama. Termasuk gagasan pelaksanaan landreform yang merujuk pada UUPA 1960
menjadi ruang yang diperebutkan secara politis (h. 236)
Tuntutan untuk melaksanakan penataan ulang atas sumber-sumber agraria sebelumnya diteriakkan oleh masyarakat perkebunan (h. 244). Panggung-panggung politik turut bersaing dalam memaknai penataan struktur agraria. Masyarakat perkebunan yang tergabung dalam BTI memainkan peranan yang menonjol, dengan sasaran kerja utamanya mendistribusikan tanah-tanah erfpaht kepada para petani (h.245). Akibatnya suasana pedesaan di sekitar tanah-tanah perkebunan menjadi gaduh oleh demonstrasi masyarakat yang menuntut landreform.
Pada tahun 1963-1964 Jawa Timur menjadi wilayah tersebar konflik agraria di Pulau Jawa. Beberapa diantaranya konflik antara pengikut PNI dengan pengikut PKI, atau pengikut PKI dengan kekuatan muslim dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi. Setidaknya ada ketegangan antara Islam dan Komunis di Indonesia, khususnya Muhammadiyah (h. 247). NU secara politik memang tidak setuju dengan keberadaan PKI, akan tetapi banyak elite NU yang merasa bisa bersandingan dengan pihak komunis, ketimbang terhadap kelompok muslim reformis (h. 248).
Berbagai
konflik yang terjadi akibat lambannya
pelaksanaan landreform yang merujuk
pada UUPA 1960 dan UU Pokok Bagi
Hasil (UUPBH). Pertentangan kelas antara tuan tanah dengan petani tak bertanah
menuntut keadilan agraria demi kesejahteraan sosial tak terhindarkan. Akhirnya bentrokan fisik antara yang
mendukung dan yang menolak tidak bisa dielakkan. Bentrokan tersebut bukan lagi
karena kepentingan ideologi, tetapi lebih disebabkan oleh kepentingan ekonomi
(h. 256).
Dinamika ini
terjadi, sebab tanah merupakan aspek vital dalam kehidupan. Bagi penguasa tanah
pasti sulit membiarkan tanahnya dibagi-bagikan kepada orang lain. Namun lain bagi petani tak bertanah, hal
tersebut merupakan napas segar untuk sebuah masa depan dengan kepastian pangan. Dan menurut PKI, landreform merupakan revolusi transformasi sosial yang
revolusioner.
Problem
Struktur Agraria Hari ini
Berbeda dengan hari ini, ekspansi modal yang
paling masif adalah industri ekstraktif pertambangan mineral, atau Hak Guna
Usaha (HGU) perkebunan sawit. Perkembangan ekspansi modal di sektor ekstraksi tambang
batu bara sebagai bahan dasar energi listrik menimbulkan masalah dari dulu
sampai hilir.
Masyarakat di sekitar tambang batu bara maupun
masyarakat kelas bawah di sekitar perkebunan sawit, sangat kecil merasakan hasil
surplus ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan
kerusakan alam dari sumber-sumber agraria yang sejak 1965 dikembalikan
sebagaimana struktur kolonial yang menghasilkan ketimpangan serta penyebab
kemiskinan.
Agenda landreform
berupa sertifikasi tanah, sepertinya bukan solusi kongkret untuk mengurai ketimpangan sosial. Buktinya, meski
sudah ada sertifikat tanah, penggusuran
lahan berdalih proyek strategis nasional malah memunculkan konflik
agraria baru. Alih-alih memberi perlindungan hukum, program sertifikasi tanah
hanya mempermudah pusaran investasi perusahaan besar untuk menguasainya.
Reforma Agraria bukan semata-mata masalah administrasi
tanah masyarakat yang pengaturannya hanya di bawah suatu badan di pemerintahan
seperti yang selama ini terjadi (h. 321). Sekali lagi, penataan ulang sumber-sumber agraria yang
lebih adil adalah suatu transformasi dari semua
aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial-politik, budaya, kelembagaan,
lingkungan, bahkan kemanusiaan.
Judul Buku : Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria di Jember
Penulis : Tri Chandra Aprianto
Penerbit : STPN Press dan Sajogyo Institute
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2016
Cetakan : Ke-I
Jumlah Halaman : xiv + 344 hlm
ISBN : 978-602-7894-29-7
Peresensi : Fahmi Saiyfuddin (Pegiat RPDH Jombang)
Tulisan Fahmi Saiyfuddin lainnya
Mengulas Kembali Manifestasi Kartini