Hasrat
belajar dan pencarian ilmu pengetahuan bangsa Jepang boleh dibilang punya akar
sejarah yang panjang. Mulai dari abad VII saat beberapa pelajar Jepang pergi ke
Tiongkok mempelajari budaya teknologi sampai ilmu pemerintahan, aksara dan
menerjemahkan berbagai buku berbahasa tiongkok. Pada abad XVIII impor buku
asing (non keagamaan) dibuka, cendikiawan jepang diminta belajar bahasa belanda
agar memahami berbagai buku asing dari Eropa, terutama bidang astronomi dan
kedokteran. Puncaknya pada era Meiji pada akhir abad XIX, separuh pejabat
dikirim untuk belajar ke Amerika dan 11 negara Eropa untuk mengetahui apa rahasia
mereka bisa menjadi bangsa yang maju.
Susy
Ong, penulis buku Seikatsu Kaizen ini
menjelaskan bahwa bukunya mebredel faktor kemajuan Jepang dari kaca mata
budaya. Bisa dibilang nyawa dari kemajuan negeri matahari terbit tersebut,
terletak pada pandangan-pandangan pemerintahannya dalam melahirkan kebiijakan
yang sangat dipengaruhi nilai-nilai konfusius dan Budha. Misal, pandangan bahwa
“manusia akan sadar apa yang harus dilakukan dana pa yang harus tidak dilakukan
jika kebutuhan sandang, pangan dan papannya tercukupi”. Pandangan tersebut
berasal dari Konfusius. Polanya menjadi negara maju dari pajak, pajak dari
rakyat, semakin sejahtera rakyat pajak akan semakin besar.
Proses
modernisasi jepang yang berkiblat pada barat ternyata menemui hambatan. Periode
pertengahan abad IXX jepang dilanda westernisasi yang penuh artifisial, yang
ditiru dari barat hanya cara berpakaian saja. Keresahan ini membuat tokoh
masyarakat Jepang bergerak membentuk Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang pada
tahun 1889. Ironisnya, bahkan hal semacam ini masih bisa ditemui di Indonesia
sekarang.
Dua
tahun berselang, Dohi Masakata, menerbitkan buku "Reformasi Adat di Jepang". Buku ini memperlihatkan kondisi
masyarakat Jepang yang pemalas, tidak antusias, mengandalkan orang lain, rajin
beribadah tetapi apatis terhadap permasalahan sosial, patriarkis, orang tua menjual
anak gadisnya demi hidup enak, tidak menghargai waktu, pelegalan prostitusi dan
berbagai mental yang menghambat menuju modernisasi yang benar (h.23).
Reformasi
yag ditawarkan Dugi Masakata adalah pembentukan suatu wadah sekala nasional.
Dewan ini nantinya yang akan melakukan penguatan opini publik tentang pentingnya reformasi
adat melalui data yang dipaparkan di majalah atau surat kabar. Masyarakt boleh
terlibat dengan mengusulkan pendapatnya (partisipatoris). Semua strategi ini
didasarkan pada nilai "self help", jika rakyat tidak membantu dirinya
sendiri maka tuhan-pun juga tidak akan membantu. Pemerintah sendiri memulai
kampanye semacam ini sejak 1909, dan terus berlanjut sampai tahun 1970-an.
Jepang yang sekarang adalah kristalisasi reformasi adat yang panjang (h.31).
Susy
Ong selanjutnyna membahas agama Budha cukup panjang. Mulai sebelum Restorasi
Meiji yang menjadikan Budha sebagai agama nasional, sampai era Meiji yang kebijakannya
banyak merugikan Budha. Era Meiji sendiri menekankan bahwa agama harus
bermanfaat secara duniawi. Kristen protestan yang masuk, kemudian ingin
membuktikan pada pemerintah bahwa mereka bisa bermanfaat dengan mendirikan
sekolah modern. Budha sendiri beradaptasi, mengadopsi beberapa adat kristen
agar bertahan dan tidak ditinggalkan pengikutnya, apalagi saat pemerintahan
Meiji menjadikan Shinto sebagai agama nasional. Perubahan agama Budha ini
mengharuskan sekte Nichiren dan Ormas Soka Gakkai yang beralih dari fokus
ritual akhirat menjadi memikirkan kesejahteraan umat di dunia (h.53).
Masyrakat
Jepang masih sering ditemui memeluk dua agama dalam sekali waktu. Hal ini juga
disebabkan konflik antar agama yang diintervensi pemerintah. Sehingga landasan
moral orang Jepang juga sering dipertanyakan barat. Hingga akhirnya Nitobe Inazo
pada 1900 menerbitkan buku Bushido: The
Soul of Japan. Buku ini mengisahkan sifat-sifat kesatria-patriotisme bangsa
samurai (kelas sosial paling tinggi di era feodal Jepang). Kisah ini sebenarnya
rekayasa Nitobe, meski begitu bukunya adalah modal penting untuk meraih
dukungan politik dari Inggris dan Amerika saat perang melawan Rusia (h.86).
Dengan
latar belakang perang pasifik, Jepang memposisikan diri sebagai pemimpin Asia.
Sebagai negara pemimpin, pemerintah berasumsi bahwa rakyat Jepang haruslah berkebudayaan
tinggi. Pada tahun 1941 pemerintah membuat buku pedoman etiket (tata krama).
Buku itu mengatur tentang bagaimana cara berdiri, berjalan, berpakaian, makan,
berhias bertamu dll. Kampanye yang terus menerus itulah yang akhirnya
melahirkan masyarakat Jepang yang sekarang, terkenal disiplin, rajin dan tepat
waktu (h. 111).
Reformasi
Pola Hidup yang dikampanyekan pemerintah tahun 1919, latar belakangnya adalah
meredam pengaruh sosialisme di masyarakat akar rumput, seiring berlangsungnya
Perang Dunia I. Memang ini bukan dibangun
dari kesadaran kritis masyarakat. Ini sama dengan penggambaran tokoh
Ninomiya. Sosok petani yang tidak mau menyalahkan pemerintah seburuk apapun
kondisi kehidupannya. Ninomiya adalah petani desa yang ulet dan rajin menolong.
Sosoknya bahkan dijadikan patung di sekolah-sekolah SD Jepang agar rakyat
meresapi semangatnya.
Kisah
imajinasi Ninomiya dan buku Bushido: The
Soul of Japan mirip seperti klaim Mohammad Yamin tentang Gajah Mada dan
tanah air. Sepulang dari Trowulan untuk melihat sisa kerajaan Majapahit, di
Jakarta ia memvisualisasikan tampilan Gajajh Mada, sosok yang menyatukan
nusantara, daerah yang diklain M. Yamin menjadi cikal bakal Indonesia saat ini.
Salah
satu pola hidup yang berusaha keras utuk dirubah adalah budaya tepat waktu.
Sejak 1919 ada gerakan Better Life Union (BLU) yang terus mengkampanyekan
budaya disiplin. Kampanyenya di museum pendidikan tokyo pada 1920 juga menetapkan
tanggal 10 Juni sebagai hari peringatan waktu (h.176). Pola hidup masyarakat
Jepang yang jauh dari beradab membuat BLU membentuk 6 komisi demi percepatan
reformasi pola hidup. Komisi itu
mencakup bidang sandang, pangan, papan dan ritual tahunan.
Hancur
lebur saat kalah perang tahun 1945, membuat Jepang segera mengintropeksi sistem
pendidikannya. Tercatat sampai tahun 1950 ada 4 UU yang fokus menguatkan sistem
pendidikan nasional sebagai tindak lanjut deklarasi kebijakan pendidikan untuk
rekonstruksi nasional pada 15 September 1945 (h 200).
Sementara
sektor industri meski kehilangan banyak asset, sebenarnya sudah mulai
berkembang maju seiring perkembangan industri secara ilmiah mengenai cara-cara
mencapai prinsip efisiensi dalam bekerja. Sektor swasta sangat berperan
penting. Lebih dari itu, riset menegani pola kerja, pembanguunan tempat kerja
yang mereka kembangkan didasarkan pada hasil penelitian (berbasis pengetahuan
empiris). Maka tidak mengherankan jika APBN yang minus paska perang sudah
kembali normal bahkan mengalami pertumbuhan di tahun 1950an.
Selain
pendidikan, dan industri, sektor perbankan Jepang juga terus berkampanye hidup
hemat dan rajin menabung. Bahkan bu-ibu rumahtangga diajari satu per satu untuk
mencatat dan mengatur pengeluaran sehingga mampu menabung. Tabungan rakyat
sangat penting untuk menekan hiperinflasi paska perang, kebetulan gubernur bank
nasional Jepang waktu itu sempat belajar langsung di Jerman saat mereka kalah
paska Perang Dunia I (h. 206).
Reformasi
Pola Hidup paska Perang Dunia II lebih ke prinsip-prinsip demokrasi. Pemerintah
bersama relawan mengajak rakyat secara persuasif melalui dialog. Beda
dengan sebelum perang denga pendekatan
top-down dan penuh dengan ancaman. Meski begitu kampanye fase pertama
ini adalah bekal dimana fase ke dua menjadi lebih berhasil. Salah satu titik
baliknya adalah Olimpiade Tokyo 1964, dimana demi menjaga citra baik rakyat
Jepang menjadi disiplin, tepat waktu dan menjaga kebersihan. Secara akademis
reformasi pola hidup ini disoroti peneliti baru sekitar tahun 1980-an sering
jepang menjadi negara maju sejahtera dengan tingkat kriminalitas rendah (225).
Hasrat
belajar masyarakat juga menjadi penting, awal masa Meiji revolusi juga
disandarkan pada pentingnya membangun opini publik. Sementara opini pubik
tersebut ditranmisikan melalui berbagai media cetak. Penerimaan kebudayaan baru
dari luar, agama yang mau beradaptasi pada kemajuan zaman, meninggalkan tahayul
adalah tangga-tangga yang menempatkan Jepang diposisi deretan negara terkaya di
dunia. Sementara di Indonesia, tangga-tangga tersebut nampaknya masih punya
banyak hambatan di setiap anak tangganya.
Judul Buku : Seikatsu Kaizen (Reformasi Pola Hidup
Jepang:Panduang Menjadi Masyarakat Unggul dan Modern)
Penulis : Susy Ong
Penerbit : PT. Elex Media
Komputindo
Tahun/Cetakan : 2017/ pertama
Halaman : v+241
Peresensi : Ahmad Muqsith
Tulisan Ahmad Muqsith lainnya
Kapitalisme dalam Diskursus Agraria
Krisis Pangan Penyebab dan strategi Mengatasinya