”Memuliakan
manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan
dan menistakan penciptanya” Gus Dur
Di penghujung tahun 2020 negara
dan bangsa semakin banyak menuai kebisingan yang sulit terkendali, baik antar
sesama umat maupun antara umat dengan negara. Parahnya lagi dari kekisruhan tersebut ada beberapa yang
dilatarbelakangi dengan mengatasnamakan Agama. Johhh ra mashok tenan. Apakah kita yang
larut dalam konflik sudah benar menguasai konsep relasi antara agama dengan
kemanusiaan?
Barangkali kita ini sangat butuh untuk mengetahui
konsep tersebut, mbok
ya silakan dibaca buku dari Dr. H. Abdul Wahid ini yang judulnya
"Karena kau manusia, sayangi manusia (mewarisi perjuangan kemanusiaan Gus
Dur dan Gus mus). Mungkin akan dapat membantu seseorang memahami betapa
mudahnya kita beragama tanpa membuat kekacauan terlebih mencerabut akar
kemanusiaan.
Buku ini terdiri dari 3 bagian. Pertama megulas profil singkat Gus Dur dan Gus Mus. Kedua, bagian yang sangat
menarik. Pada bagian ini Abdul Wahid mampu mengelaborasi tentang pemikiran-pemikiran
dua tokoh nasionalis-religius tersebut dengan dibumbui kisah-kisah sufi-inspiratif
yang dapat diambil ibrahnya.
Sehingga membuat pembaca dapat
dengan mudah memahami sekaligus mudah mengingat pemaparan yang disajikan. Ketiga,
bagian terakhir merupakan cerita-cerita ringan kehidupan Gus Dur dan Gus Mus
yang selalu dipenuhi dengan Humor.
Semua
Yang Diberikan Oleh Agama Adalah Untuk Manusia
“Kehadiran agama tak lain untuk kepentingan
manusia, bukan kepentingan Tuhan, karena memang Tuhan tidak butuh bantuan
manusia”-Gus Dur (h. 45)
Semua
aturan yang dibuat oleh agama adalah demi kebaikan manusia, bukan demi kebaikan
Tuhan. Namun masih banyak manusia yang belum memahami hal ini. Mereka berpikir
bahwa adanya peraturan itu semata hanya untuk kepentingan Tuhan. Pada
kenyataanya ketika agama memberikan suatu hukum, maka sudah dipastikan bahwa
dalam hukum tersebut terdapat hikmah yang tidak diketahui sebelumnya oleh
manusia.
Manusia
hanya bisa menyimpulkan hikmah dari suatu hukum dengan keterbatasan logikanya,
dan parahnya ada bebrapa orang dengan logika yang minim tersebut langsung mengunci rapat keyakinan beragamanya,
tidak menerima alternatif pandangan lain.
Dalam
buku ini dikisahkan ketika nabi meneladankan bahwa sebaiknya ketika sedang
minum, maka duduklah. Pada mulanya manusia hanya memahami perintah tersebut sebatas
norma kesopanan. Belakangan, para ilmuwan sanggup mengulas lebih dalam hikmah duduk
ketika sedang minum, yakni berdampak positif terhadap kesehatan manusia. Mungkin
selain dari ilmu medis yang baru ditemukan masih ada lagi hikmah lain yang
belum kita ketahui. Namanya saja akal manusia, penuh dengan keterbatasan untuk
mengenali sesuatu secara dini.
Nah, keterbatasan
dari logika manusia inilah yang seharusnya disadari. Jika setiap manusia telah
paham dengan keterbatasan masing-masing, maka manusia tidak akan terjebak dalam
sebuah arogansi untuk saling menyalahkan dan menyesatkan. Menurut Gus Dur, (peraturan) apapun yang
dilakukan manusia, jika hal itu merugikan dan membahayakan manusia lain, atau
akan memberangus nilai-ilai kemanusiaan, meskipun mengtasnamakan Tuhan, harus
dicegah, dilawan, dan digagalkan. Lebih tegasnya lagi Gus Dur mengatakan,
“walaupun
atas nama agama (teramasuk Islam) setiap kegiatan yang menimbulkan kegiatan
kemanusiaan yang mengalami kemunduran haruslah dihilangkan” (h. .59)
Islam Itu
Wujud Dari Keramahan Bukan Dari Kemarahan
Dalam
buku ini juga disajikan ulasan tentang Islam Ramah dan Islam Marah dengan
dibumbui cerita seaktu Gus Dur mengikuti rapat kerja regional Timur Tengah di
Lebanon. Di sana ada seorang Ibu kelahiran Jerman yang menetap di Turki, ia
mengeluhkan bagaimana ia akan menulis untuk Jerman tentang keramahan Islam, kalau
berbeda pandangan saja bisa mati terbakar karenanya. keluhan dari Ibu tersebut
merujuk pada kejadian pembakaran intelektual secara hidup-hidup di salah satu
hotel Turki, temapat diadakannya seminar tentang keputusan Turki memilih
menjadi Negara Sekular
Dari
cerita di atas bisa dilihat bahwasannya Islam yang ramah yang seharusnya
menjadi pelindung kemanusiaan di tangan orang tertentu bisa menjadi islam yang
penuh marah-marah. Dalam keramahan tersimpan kekuatan, dan dalam kemarahan
tersimpan kerapuhan.
Keseluruhan
buku ini penuh dengan pendidikan akhlak. Selain mengajak untuk selalu berdamai
dengan perbedaan pendapat buku ini menyeru kita untuk saling memuliakan dan
menyayangi manusia dengan dalih karena kita pun juga manusia.
Dalam sub
bab ini kita dipersilakan untuk berpikir relasi Tuhan dengan manusia melalui roh.
Roh ini suci karena ditiupkan oleh-Nya, dengan begitu maka manusia sendiri
merupakan “bagian” (the part) dan secara fitrah, ia akan selalu merindukan
untuk bersatu dengan yang “keseluruhan” (the whole).
Oleh
karena itu dalam diri manusia sudah tersimpan potensi-potensi ketuhanan. Dengan
demikian setiap manusia diharapkan dapat memancarkan sifat-sifat ketuhanan
melalui dirinya. Allah Maha Penolong, Maaha Pemurah, Maha Kaya. Tetapi Allah
tidak memberikan langsung makanan kepada orang yang kelaparan, meminjamkan uang
untuk orang yang mebutuhkan, menyebrankan orang buta di jalan tanpa perantara.
Hal itu
bukan karena Allah tidak mampu, melainkan Dia menugaskan kita sebagai manusia
untuk menjadi “mitra-Nya” kita diciptakan untuk menjadi “wakil-Nya” di muka Bumi
ini (h. 111). Manusia yang menghargai kemanusiaan manusia lainnya, dengan
melayani, menyayangi, dan peka terhadap penderitaan mereka, berarti manusia
tersebut sudah mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.
Buku yang
memaparkan tentang betapa pentingnya kita menyayangi sesama manusia ini
mempunyai daya tarik tersendiri, gaya bahasa yang mudah dipahami serta isi dari
sub bab saling berkaitan membuat pembaca semakin semangat untuk membuka halaman
demi halaman selanjutnya.
Bagian
akhir buku berisi tentang humor renyah yang disajikan penulis dari kehidupan
dua tokoh utama buku ini. Bagi saya bagain tersebut membuat sedikit tidak
nyaman, karena untuk menemukan substansi yang ada kaitannya dengan judul buku
tidak saya temukan. Kendati demikian, tidak lantas menjadikan buku ini menjadi buku
yang kurang apik. Justru sangat direkomendasikan untuk dijadikan pedoman kita
dalam berinteraksi kepada sesama manusia.
Judul : Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia
(Mewarisi Perjuangan Kemanusiaan Gus Dur dan Gus Mus)
Pengarang : Dr. H. Abdul Wahid, M.Ag.
Penerbit : Diva Press
Tahun Terbit :2018
ISBN : 978-602-391-6
Tebal : 239 hlm
Peresensi : Ahdina Constantinia