Banyak orang yang merasa gundah tatkala
dihadapkan pada dinamika gerakan mahasiswa di bawah rezim ‘’reformasi’’.
Sebagian orang
gundah melihat gerakan mahasiswa yang semakin sepi dari aktivitas, daripada
terjun ke dalam dunia gerakan yang menyita energi, banyak mahasiswa yang masih
memilih hidup tanpa risiko dan lebih mengambil peran hidup bersantai di dalam
kampus, atau mungkin ‘berjualan proposal’ dengan segala dagangan lokakarya yang
ada di dalam ‘menara gading’ itu.
Namun kita juga
tak boleh menutup mata bahwa hari ini dijumpai banyak sekali gerakan mahasiswa
yang sama-sama mempunyai keberpihakan pada kaum mustad ‘afin. Terdapat
banyak sekali gerakan di masing-masing sektor, baik sektor HAM, agraria,
anti korupsi dan persoalan-persoalan konkret lainnya.
Setelah melewati
kurang lebih 21 tahun era
reformasi, ternyata masih banyak kita jumpai masalah-masalah yang belum
terselesaikan. Ditambah lagi
bibit-bibit
masalah yang semakin hari berpotensi menimbulkan permasalahan yang besar di
negara ini. Pertanyaan yang selalu saya pikirkan adalah,
apakah cita-cita reformasi selama ini semakin menjauh dari kebutuhan-kebutuhan
elektoral?
Singkatnya,
agaknya kemunculan gerakan-gerakan alternatif dalam kurun waktu 20 tahun
belakangan ini tentunya tidak terlepas dari latar belakang permasalahan di masyarakat kita. Banyaknya gerakan alternatif yang
mengatasnamakan kebutuhan elektorat tersebut adalah contoh-contoh gerakan
harapan rakyat yang ternyata meskipun jumlahnya semakin banyak, namun
tantangannya juga semakin besar.
Dengan begitu,
demokrasi di negeri kita sendiri juga belum selesai dengan berbagai masalah gerakan yang ada di grassroot seperti: gerakan anti-fasis,
anti-oligarki, hingga islam kiri dan lain-lain. Seperti yang diutarakan
Muhammad Taufik dalam buku Nalar Berdemokrasi :
“Di
Indonesia, demokrasi masih dalam proses berkembang menuju ke arah kedewasaan.
Optimisme memang ada, namun aral melintang untuk menempuh jalan itu betul-betul
sukar” (h.
48)
Demokrasi
dan Dilema Vigilante, salah satu sub bab dalam buku ini mengutarakan beberapa hal
yang mempunyai keterkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia: ekonomi. Suatu
entitas yang mempunyai implikasi terhadap kesejahteraan masyarakat dan menjadi
salah satu faktor yang menentukan sikap kita dalam berdemokrasi.
Pada
tulisan tersebut Taufik menggunakan semangat seorang peraih nobel ekonomi,
AmartyaSen.
“Dalam demokrasi,
kemiskinan dapat hilang… Meskipun klaim tersebut masih dapat
diragukan, setidaknya kita perlu mengapresiasi
upaya Sen untuk membangkitkan optimisme perihal dikotomi antara demokrasi dan kemiskinan” (h. 48)
Namun, pada lembaran
yang sama ada hal menarik ketika Taufik mengungkapkan paradoks ihwal dinamika
demokrasi di negeri ini. Walaupun optimisme dibangun atas dasar konsistensi
cita-cita demokrasi dari awal kemerdekaan, vigilante demokrasi yang berkedok
agama nyatanya
berujung pada persekusi-persekusi kebejatan moral masyarakat dan memicu
keresahan masyarakat.
Hal tersebut tidak
lepas dari kredo segelintir masyarakat yang mempercayai bahwa penegakan syariat
akan mengurangi kemaksiatan. Lantas jika dosa berkurang, ekonomi di negara ini
pasti akan dilancarkan oleh Tuhan?
Terlepas dari paradoks
yang terjadi di realita masyarakat, Taufik tidak lupa menyampaikan gagasannya
kepada generasi perubahan dan actor intermediary. Entitas seorang
yang menjadi penjembatan atas terbelahnya opini dan sikap masyarakat.
Pada bagian awal
bukunya, Muhammad Taufik menempatkan opininya mengenai kehidupan mahasiswa: Pers
Mahasiswa dan Dunia Mahasiswa. Satu hal yang dapat disimpulkan dari
peresensi adalah bagaimana seorang mahasiswa/i diharapkan tidak hanya melakukan
‘bunuh diri kelas’.
Lebih dari itu,
Taufik menggunakan teori social Ernesto Laclau yang memberikan sumbangan
pemikiran bahwa pentingnya penekanan terhadap data dan urgensi isu dalam
gerakan sosial juga turut berimplikasi terhadap corak dan pola gerakan
mahasiswa.
“Apabila
gerakan mahasiswa sepenuhnya mehirup bau masyarakat, akan sangat mungkin jika
isu-isu yang diangkat nantinya faktual, akurat dan dapat memberi tekanan khusus
bagi pihak terkait” (h.
4)
Kehidupan
berorganisasi di kampus memang penuh dinamika dan dilema. Hal yang cukup dilematis adalah ketika
mehasiswa dibenturkan dengan embel-embel berprestasi,
dan diksi ‘kekeluargaan’ ala kampus. Sementara diwaktu bersamaan segelintir mahasiswa yang
menyumbangkan kesadaran kritis terpaksa harus mendapat dekte serta diwajibkan mengikuti
aturan main dari birokrat kampus.
Bahkan dalam ruang akademik pun tidak jarang pihak birokrat kampus membatasi
bacaan-bacaan yang dilahap mahasiswanya. Kejadian seperti ini agaknya sangat
ironis di tengah budaya kritis yang sudah semakin langka dan mahal harganya.
Ruang-ruang
akademik yang diharapkan
mampu objektif, ternyata malah memberikan kungkungan kebebasan berpikir bagi mahasiswa. Diluar ruang
akademik, hal seperti ini juga pernah terjadi pada gerakan literasi jalanan
yang serba keterbatasan sekalipun. Beberapa gerakan literasi mengalami
persekusi serta perampasan terhadap beberapa jenis buku tertentu.
Lantas pertanyaanya
adalah, bagaimana mahasiswa tersebut mempu mengamini dan menerapkan gagasan
Ernesto Laclau yang mewajibkan pentingnya mahasiswa memberikan penekanan pada
data-data dan urgensi isu dalam gerakan sebelum mereka memberikan diagnosa
terhadap keadaan di realita masyarakat ? Jika persekusi dan dekte-dekte yang
kaku dari pihak birokrat kampus atau aparat negara selalu diturunkan generasi
ke generasi, bukankah hal ini sama halnya akan melahirkan generasi yang disebut
Paulo Freire sebagai generasi dengan kesadaran magis ?
Judul : Nalar Berdemokrasi
Penulis : Muhammad Taufik
Penerbit : Buku Revolusi (CV. Karya Jasa Sentosa)
Cetakan : Kedua, September 2020
Tebal : xxi + 139 halaman
ISBN : 978-623-91694-1-1
Peresensi : Khoiri Habib Anwari