Mengurai Spiral Kekerasan dalam Relasi Negara dengan Rakyatnya

 

Resensi Buku Spiral Kekerasan oleh Ahmad Muqsith

Mengurai Spiral Kekerasan dalam Relasi Negara dengan Rakyatnya

Resensi Buku Spiral Kekerasan karya Dom Helder Camara ini, bisa menjawab beberapa pertanyaan kelas menengah saat aksi massa trurn jalan. “Aparat pengamanan juga ada yang terluka, fasilitas umum juga dirusak, lantas siapa yang bertangungjawab?” Karena buku kecil yang saya masukkan sebagai kategori buku yang bisa dibaca sekali duduk ini, memang banyak membahas strategi aksi yang menjadikan pemerintah sebagai sasaran untut memenuhi tuntutannya.

Sebagai seorang uskup yang terkenal sederhana mengabdikan dirinya untuk kaum papa, siapa sangka Dom Helder Camara pernah memuja Diktator asal Portugal, Antonio de Oliveira Salazar. Uskup asal Brasil tersebut pernah terinspirasi dengan otoritarianisme yang berdalih ketertiban umum lebih penting dibanding kesejahteraan sosial.

Untunglah periode tersebut hanya berlangsung selama dua tahun. Martin Luther King jr dan Ghandi akhirnya menjadi inspirasinya berkarya selama sisa hidupnya. Membela kaum papa melalui aksi nirkekerasan.

Tesis Camara mengenai spiral kekerasan adalah 3 tahapan kekerasan. Kekerasan pertama adalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang membuat manusia terperosok dalam kondisi sub-human. Kekerasan kedua, pemberontakan sipil yang digawangi kaum tertindas dan angkatan muda yang menuntut tatanan dunia yang lebih adil. Terakhir, kekerasan represi pemerintah sebagai respon penertiban pemberontakan sipil.

Tiga tahapan kekerasan ini berputar dan tidak bisa terputus selama semua pihak masih mengandalkan aksinya pada kekerasan, maka hal tersebut dinamakan spiral kekerasan.

Terkait represi apparat keamanan Camara memberi fokus lebih. Ia melihat represi sebagai pintu masuk pemerintah mengkoptasi gerakan, sekalipun itu gerakan nirkekerasan. Hal ini berkaitan dengan alasan pemerintah mencari informasi, dimana anggota paling lemah dari gerakan diinterogasi sampai mengalami trauma fisik dan psikisnya, hingga akhirnya mereka memutuskan keluar dari gerakan perlawanan.

Kontrol media juga menjadi perhatian lebih. Merujuk kasus Ghandi misalnya, Camara  melihat bahwa aksi nirkekerasan baru bisa menjadi alternatif dari perlawanan bersenjata jika rezim penguasa mempunyai sedikit penghargaan terhadap hak asasi manusia. Sayangnya gerakan nirkekeraaan agar bisa menjadi kebenaran dan tekanan moral yang membebaskan butuh dukungan media. Sementara di negara otoriter, media selalu di bawah kendali mereka.

Di dunia ke-tiga, media hanyalah raksasa dengan kaki dari tanah liat, diberi fasilitas tas dan dengan fasilitas itu media dimanipulasi oleh negara (h. 55).

Hal yang membedakan Camara  dengan tokoh lainya adalah ulasannya mengenai relasi dunia pertama dengan belahan dunia ketiga. Relasi teraebut menurutnya timpang dalam aspek perdagangan internasional. Selama ini ketidakadilan perdagangan internasional hanya disikapi dengan pemberian bantuan dunia pertama kepada dunia ketiga.

Selama kebijakan struktur ekonomi-politik dunia pertama tidak ada yang merevisi, kondisi ketidakadilan masih akan selalu sama. Kritik ketidakadilan Camara membela pada dua entitas, pertama kelompok terpinggirkan di dunia ketiga. Kedua, kelompok paling terbelakang di dunia pertama.

Secara umum demi terwujudnya mimpi gerakan Action for Justice and Peace (AJP) yang ia inisiasi, ada beberapa entitas dimana ia menaruh harapannya kepada mereka.

Pertama pada persatuan agama-agama besar untuk melihat ketidakadilan secara lebih obyektif dan berani. Kedua, universitas yang menyediakan informasi dan penelitian mengenai sumber-sumber ketidakadilan. Ketiga, para pemuda.

Hal yang mengejutkan bagi saya, Camara begitu tinggi menaruh harap pada generasi muda dalam usaha nirkekerasan untuk memutus spiral kekerasan. Menurutnya anak dari penguasa dan sekelompok orang yang diuntungkan oleh ketidakadilan yang sedang terjadi tetap akan membela keadilan. Selain itu Camara yakin pemudalah yang punya hasrat tuntutan menghadirkan dunia yang lebih bersatu dan manusiawi (h.58). Pidatonya di Mancester pada Kongres Gerakan Mahasiswa Kristen Britania Raya 1969 memperkuat anggapan ini (h. 81).

Beberapa gagasanya terlihat kurang dalam secara teoritis jika dibanding pemikir nirkekerasan lainnya seperti Gene Sharp atau Johan Galtung. Hal itu wajar jika mengingat dia adalah seorang praktisi. Lebih dari itu, saya rasa karena memang Caamra sendiri yang ingin bukunya tidak dijadikan bahan debat akademis terlalu mendalam, melainkan dibaca, diberi pemaknaan dan menjadi inspirasi gerakan.

Meski ia menerima bahwa potensi pemuda melakukan aksi secara radikal menggunakan senjata untuk mewujudkan dunia adil sesuai mimpinya. Hal itu sebatas konsekuensi pejuang nirkekerasan yang menerima keragaman pendapat dan strategi aksi. Tetapi saya yakin, ia sadar betul, bahwa perlawanan semacam itu tidak akan bertahan lama dan hanya akan menguntungkan negara dalam spiral kekerasan.

Hal yang harus menjadi kesepakatan bersama, adalah pengakuan bahwa pusat dari spiral kekerasan tetaplah kemiskinan dan ketidakadilan (kekerasam jenis pertama). Maka sama dengan pernyataan Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Cara terbaik memotong spiral kekerasan hanyalah mewujudkan keadilan (Pancasila sila-5).

 

Judul                           : Spiral Kekerasan

Penulis                         : Dom Helder Camara

Penerjemah                  : Komunitas Apiru

Penerbit                       : Insist Press dan Pustaka Pelajar

Tahun terbit/ Cetakan : 2000/ Cetakan-I

Peresensi                     Ahmad Muqsith